BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Dalam Keluarga
1. Pengertian Pendidikan
Istilah Pendidikan
berasal dari kata "didik" dengan memberinya awalan "pe" dan
akhiran "kan", mengandung arti "perbuatan" (hal, cara dan
sebagainya).
Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu "
Paedagogie",
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris "
Education" yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan
dengan "Tarbiyah" yang berarti pendidikan.
Menurut M. Ngalim
Purwanto pengertian pendidikan adalah pimpinan yang diberikan secara sengaja
oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani),
agar berguna bagi dirinya dan masyarakat.
Ahmad D. Marimba
mengemukakan bahwa pengertian pendidikan adalah "Bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik
menuju terbentuknya kepribadian yang utama".
Sedangkan menurut
Drs. Amir Daien Indra Kusuma pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan
sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai
tingkat dewasa.
Dalam
perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang
dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan
dengan anak-anak
untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
2. Pengertian Keluarga
Menurut para
sosiolog keluarga secara umum adalah sebuah ikatan sosial yang terdiri dari
suami, istri dan anak-anak mereka, juga termasuk kakek nenek juga cucu-cucu dan
beberapa kerabat lainnya yang tinggal di rumah yang sama. Sedangkan keluarga
inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya.
Keluarga
bertanggung jawab mendidik anak-anak dengan benar dalam kreteria yang benar,
jauh dari penyimpangan. Terdapat tugas dan kewajiban dari keluarga.
Pertama,
Keluarga bertanggung jawab mnyelamatkan foktor-foktor ketenangan, cinta kasih
serta kedamaina dalam rumah dan menghilangkan segala macam keresahan, kebencian
serta organisme.
Kedua,
Keluarga harus mengawasi proses-proses pendidikan.
Adapun mengenai
fungsi dari keluarga sebagai berikut :
1. Keluarga berkewajiban memberi dan memuaskan kebutuhan jiwa raga
anak-anak dalam kehidupannya.
2. Keluarga bertanggungjawab melatih anak-anak untuk berkumpul dan
mengindentifikasi nilai-nilai serta kebiasaan masyarakat.
3. Keluarga bertanggung jawab melengkapi anak-anak dengan berbagai
sarana komposisi personal dalam masyarakat.
4. Keluarga bertanggungjawab menjamin ketenangan, perlindunganm
serta simpati pada anak-anak sampai mereka dewasa.
5. Keluarga harus memberikan porsi yang besar pada pendidikan
akhlak, emosi, serta agama
anak di
sepanjang usia berbeda-beda.
3. Pendidikan Dalam Keluarga
Setiap orang tua
tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna.
Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat,
kuat, berketrampilan, cerdas, pandai dan beriman. Dalam taraf yang sederhana,
orang tua tidak ingin anaknya lemah,
sakit-sakitan, menganggur, bodoh dan nakal. Pada tingkat yang paling sederhana
orang tua tidak menghendaki anaknya nakal dan menganggur. Dan terakhir pada
taraf paling minimal ialah jangan nakal. Kenakalan akan menyebabkan orang tua
mendapat malu dan kesulitan.
Untuk mencapai
tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini
ditetapkan secara kodrati ; artinya orang tua tidak dapat berbuat lain mereka
harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga. Mengapa? Karena
mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu,
mau tidak mau mereka harus menjadi penanggung jawab pertama dan utama. kaedah
ini diakui oleh semua agama dan semua sistem nilai yang dikenal manusia.
Sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua
mengetahui sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam keluarga.
Pengetahuan itu sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun bagi orang tua dalan
menjalankan tugasnya.
Tujuan pendidikan
dalam keluarga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi
seluruh aspek perkembangan anaknya yaitu jasmani, akal, dan rohani. Tujuan lain
ialah membantu sekolah atau lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak
didiknya.
Mengingat
pentingnya keluarga yang demikian itu, maka Islam memandang keluarga adalah
lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka dan bahagianya
anggota keluarga tersebut baik di dunia maupun akhirat.
Dilihat dari
ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Dan amanah itu wajib dipertanggung
jawabkan. Secara umum tanggung jawab itu adalah kewajiban untuk
menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dalam keluarga, secara mendasar
terpikul oleh orang.
Tanggung jawab
tersebut, baik diakui secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hati
atau tidak, namun hal itu merupakan fitrah yang telah ditentukan oleh Allah SWT
kepada setiap orang tua.
Keluarga merupakan
pusat pendidikan yang pertama dan utama. Di dalam keluarga inilah anak pertama
kalinya mendapatkan didikan dan bimbingan, karena sebagian besar pendidikannya
pun banyak diterima dari lingkungan keluarga. Sehingga pendidikannya pun banyak
diterima dari lingkungan keluarga tersebut.
Hal yang demikian
adalah wajar, karena keluarga khususnya orang tua adalah orang yang paling
dekat dan paling bersahabat, bahkan semenjak anak masih ada dalam kandungan
mereka sudah menjalin kasih sayang secara batin yang merupakan landasan utama
dalam proses pendidikan.
Kunci pendidikan
dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan
kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah
yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang sebagai penanaman
nilai-nilai yang kelak mewarnai perkembangan hidup selanjutnya. Bahkan dapat
dikatakan bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan kunci bagi pendidikan
secara keseluruhan.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting terutanma pendidikan Islam,
yang mutlak harus dilakukan oleh kedua orang tuanya sejak dini sampai dewasa.
Lebih-lebih kalau
kita ingat, bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama,
bahkan juga berfungsi sebagai peletak dasar pembentukan pribadi anak.
Mengingat
pentingnya peraanan orang tua dalam pendidikan keluarga, di mana semua
pengetahuan dan pengalaman yang diterimanya (oleh anak) baik melalui
penglihatan, pendengaran, ataupun tingkah laku yang berasal dari orang tua akan
mempengaruhi dan mewarnai terhadap pembentukan pribadi anak, maka setiap kata,
sikap dan tingkah laku orang tua merupakan cermin si anak dan akan mewarnai
kahidupannya.
Demikian pula dengan Bias Gender yang ada
dalam keluarga ataupun masyarakat secara luas akan sangat berdampak bagi
psikologis anak dalam kehidupannya di masa yang akan datang.
Dengan demikian
untuk keberhasilan pendidikan dalam keluarga harus didukung oleh suasana yang
kondusif dari keluarga atau orang tua itu sendiri, serta lingkungan dan teman
pergaulan anak.
4. Kewajiban Orangtua dalam Memberikan Pendidikan dan
Keteladanan Kepada Anak-anaknya
- Kewajiban
Orangtua dalam Memberikan Pendidikan
Terbentuknya
keluarga dengan sendirinya timbul karena adanya kewajiban untuk memelihara
kehidupan bersama dalam keluarga. Orang tua (ayah ibu) adalah sumber pertama
dan utama yang harus memberikan pendidikan kepada anak. Kehidupan dan nasib
seorang anak sangat bergantung pada pendidikan dan pemeliharaan orang tua.
Setiap anak memang
terlahir dari rahim seorang ibu, tetapi itu bukan berarti bahwa hanya ibunya
yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap segala hal yang menyangkut
pengasuhan anak. Di pundak ayah, memang letak kewajiban memenuhi kebutuhan materialnya,
tetapi bukan berarti menjadikannya lepas tanggungjawab untuk mendidik anaknya.
Dalam hal ini rosullullah SAW juga menegaskan bahwa kedua orang tualah yang
sangat berperan "mewarnai" jiwa anak:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَ الفِطْرَة فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya :
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orangtuanyalah yang
menjadikan dia Yahudi, atau Nasrani ataupun Majusi "(H.R Ahmad,
Thabranai dan Al-Baihaqi)
Kedua orang tua memiliki andil untuk mendidik
dan merawat anak-anaknya, karena keduanya sama-sama memiliki andil dalam
menghadirkan keberadaan anak di dunia. Dan keduanyalah yang memberikan pengaruh
yang kuat terhadapnya. Allah SWT juga telah memerintahkan dua orang tua untuk
mendidik anak-anak mereka dan mengembangkan tanggungjawab kepada mereka. Allah
SWT berfirman:
يَآأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارَا وَقُوْدُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ
اللهَ مَا اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
Artinya: "
Hai
orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, sedang para penjaganya adalah malaikat yang
kasar an keras, serta tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperntahkan."
(Q.S: at-Tahrim:6)
Dari firman Allah
dan Sabda Rosullullah diatas jelas sekali bahwa yang bertanggungjawab dalam
pendidikan anak dalam keluarga adalah orang tua (ayah dan ibu). Diakui secara
sadar atau diterima dengan sepenuh hati atau tidak, hal itu adalah merupakan
"Fitrah" yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua.
Mereka tidak bisa mengelakkan tanggungjawab itu karena merupakan amanah Allah
SWT yang dibebankan kepada mereka.
Kewajiban bagi
keluarga dalam hal ini kedua orang tua adalah menyelenggarakan dan melaksanakan
pendidikan kearah kedewasaan anak. Seperti yang telah dikatakan oleh Ki Hajar
Dewantara, bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang baik bagi
pendidikan sosial. Beliau mengatakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan
yang sempurna bagi pendidikan kecerdasan dan budi pekerti ketimbang
pendidikan-pendidikan yang lain (selain keluarga).
Orang tua
merupakan pendidik pemula bagi persoalan yang menyangkut diri anak dan juga
tempat mengadu segala persoalannya. Pendidikan oleh orang tua berlangsung
relatif panjang. Oleh karena itu, mereka sangat menentukan kepribadian anak.
Tanggungjawab
orang tua pada pendidikan anak berlangsung sejak anak masih dalam kandungan
hingga tumbuh menjadi dewasa dan mampu mengembangkan diri pribadinya. Tanggung
jawab tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu aspek moral, aspek intelektual
dan aspek sosial.
- Kewajiban
Orangtua dalam Memberikan Keteladanan Kepada Anak-anaknya
Setiap orang tua
pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Orang tua yang berprofesi
sebagai pencuri, penjahat, pelacur, koruptor ataupun profesi jelek yang lain,
pasti tidak memiliki keinginan anaknya menjalani profesi yang serupa. Akan
tetapi pasti menginginkan anaknya akan menjadi orang yang lebih baik dari
dirinya.
Mendidik anak
seharusnya merupakan wahana orang tua untuk konsisten terhadap apa yang
dikatakannya. Satukanlah kata dengan perbuatan. Orang tua tidak bisa menyuruh
dan terus menegaskan kepada anak-anaknya sementara dirinya hanya sesekali
menjalankannya. Sebagai orang tua harus memperbaiki dirinya terlebih dahulu.
Antara seorang
Ayah dan Ibu harus seiring sejalan dalam
memberikan teladan bagi anak-anaknya. Bila salah satu diantaranya belum
konsisten terhadap suatu ajakan kebaikan, maka sudah menjadi keharusan salah
satunya untuk berusaha memperbaiki diri pasangannya, agar seiring sejalan.
Orang tua harus
menanamkan nilai-nilai aqidah dan akhlaq yang benar untuk anak-anaknya dengan
memberi contoh nyata dalam perilaku. Rumah dengan segala aktivitas orang tua
harus merupakan cermin bagi anak-anaknya. Rumah yang penuh kasih sayang, cinta
antara sesama anggota, saling menghormati dan menghargai antara yang tua dan
yang muda akan menegakkan keharmonisan dalam rumah tangga, serta menjadi tonggak
keberhasilan dalam mendidik anak-anak. Seorang Ibu yang memberi tauladan dengan
memberikan kasih sayang dan curahan perhatian kepada anak-anaknya, menghormati
sang ayah, akan ditiru oleh putra-putrinya. Seorang ayah yang penuh kasih
sayang terhadap anak-anaknya, tidak meremehkan ibu dan anak-anaknya, bahkan
sangat menghargai mereka akan menimbulkan sikap senada yang terpatri dalam diri
anak.
B. Gender dalam
Keluarga
1. Pengertian Gender
Sebenarnya untuk
memahami gender, perlu di bedakan antara gender dan seks. Istilah gender
berasal dari bahasa Inggris Gen, kemudian di transfer ke dalam bahasa Indonesia
menjadi gender. Menurut Faqih
seks adalah jenis kelamin, sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari sisi biologis, keduanya tidak dapat dipertukarkan, artinya jenis
kelamin itu melekat secara kodrati dan memiliki fungsi tersendiri. Misalnya
bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki
penis, memiliki jakala (
kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan
perempuan memiliki alat reproduksi serta rahim, memiliki vagina dan memiliki
alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis
kelamin perempuan maupun laki-laki selamanya. Secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan gender
adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruk secara
sosial, karena pengaruh kultural, agama dan politik. Sifat ini tidak bersifat
kodrati melekat pada jenis kelamin tertentu, tetapi sifat itu bisa
dipertukarkan.
Perbedaan sifat
gender itu bisa berubah sewaktu-waktu
dan bersifat kondisional. Misalnya anggapan laki-laki rasional dan
perempuan emosional, laki-laki kuat dan perempuan lemah, laki-laki perkasa dan
perempuan lemah lembut. Sifat-sifat itu bisa berubah dan tidak melekat secara
permanen. Pada masa tertentu dan tidak sedikit laki-laki lemah lembut,
emosional, sedangkan ada perempuan perkasa dan rasional. Misalnya dalam
masyarakat matriarkhal tidak sedikit perempuan yang lebih kuat dengan laki-laki
dengan keterlibatan mereka dalam peperangan.
Dalam
menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah,
terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender.
Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat,
di mana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial
justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan
Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan
sebagai "kodrat wanita" adalah konstruksi sosial dan kultural atau
gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan
merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering
dianggap sebagai "kodrat wanita". Padahal kenyataannya, bahwa kaum
perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola
kebersihan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat
tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat
kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis
pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering
disebut "kodrat wanita" atau "takdir Tuhan atas wanita"
dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya
adalah gender.
Sifat gender yang
terkonstruk, tersosialisasi cukup lama ini akan membentuk watak dan
perilaku
sesuai dengan yang dikonstruk
masyarakat, maka akan menimbulkan peran-peran domestik; sebagai ibu rumah
tangga yang hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur, dan laki-laki diberi
kebebasan untuk masuk di wilayah publik. Dari sinilah muncul ketidakadilan
gender, karena diakibatkan pembagian peran yang tidak adil, sehingga muncul
diskriminasi, stereotype tertentu pada pihak perempuan.
Justru kondisi
yang lebih parah adalah ketika perempuan membentuk visi, pandangan akan dirinya
seperti itulah sebenarnya peran dan tugas perempuan sesuai dengan konstruk
sosial yang harus diterima sepanjang zaman, padahal sifat gender itu bisa
ditukarkan sesuai dengan keinginan masing-masing individu, baik laki-laki
maupun perempuan.
Karena proses
sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya
menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan
lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh
masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.
2. Perbedaan dan Ketidakadilan Gender
Sejarah perbedaan
gender (
gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan
terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan
kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara
.
Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya mengkristal menjadi
dogma yang dianggap ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tak bisa
diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat
laki-laki dan kodrat perempuan.
Perbedaan gender (
gender
differences) ternyata memunculkan perbedaan peran gender (
gender roles)
yang akhirnya melahirkan ketidakadilan gender (
gender inequalities).
Identifikasi bahwa laki-laki itu kuat dan rasional telah menimbulkan kesan
bahwa dia lebih cocok untuk bekerja di luar rumah, pantas untuk memimpin dan
lain-lain. Sebaliknya pandangan bahwa perempuan itu lemah lembut atau sabar
telah memunculkan anggapan bahwa perempuan cocok untuk tinggal di rumah
mengurus anak-anak dan rumah tangga. Inilah sumber yang diduga menjadi penyebab
lahirnya ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan.
Sebaliknya,
melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara
evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis
kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum kali-laki kemudian
terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke
sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih
kuat dan lebih besar. Sebaliknya, kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak
bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh pada perkembangan emosi
dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan
fisik dan biologis
.
Dalam perspektif
budaya, setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya : laki-laki atau
perempuan. Sejak lahir setiap orang sudah ditentukan peran dan atribut
gendernya masing-masing. Jika seorang lahir sebagai laki-laki maka diharapkan
dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya, jika seseorang
lahir sebagi perempuan maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai
perempuan
.
Perbedaan gender
sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak melahirkan ketidakadilan
gender (gender inequalities). Namun kenyataannya, perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi orang perempuan. Sehingga ada
hak-hak bagi orang perempuan yang seharusnya bisa diterima menjadi tidak
terpenuhi. Baik hak untuk berperan di dalam berpolitik, hak-hak dalam bidang
pekerjaan serta hak dan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan.
3. Pandangan Agama tentang kedudukan Laki-laki dan Perempuan
Agama merupakan
pandangan hidup yang paling fundamental bagi manusia. Ia memiliki pengaruh
fungsional terhadap struktur sosial masyarakat. Bahkan oleh pemeluknya, ajaran
agama ditafsirkan sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai alat legitimasi
terhadap struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Termasuk salah
satunya adalah struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan
.
Dalam membahas
pengaruh agama terhadap anggota masyarakat yang mendukungnya, perlu dibedakan –
paling tidak secara analitis – antara dalil-dalil atau nilai-nilai yang
terkandung didalamnya dengan penginterpretasian dan penerapannya. Nilai-nilai
keagamaan atau dalil-dalil yang terkodifikasi dalam kitab suci bisa memberi
peluang bagi penginterpretasian yang berbeda-beda.
Dan memang tidak
dapat dipungkiri bahwa peran agama juga turut serta melanggengkan hegemoni ini,
dengan pola teks-teks tafsir yang didukung oleh kekuatan legitimasi theologis
(pembenaran ajaran agama) sebagai representasi ajaran Tuhan, sehingga dapat
dipastikan bahwa teks-teks tafsir yang muncul dari tradisi dan budaya
masyarakat yang patriarkhi, kemudian menjadi dogma yang dianut dan dipelihara
oleh masyarakat secara turun menurun. Sehingga pada gilirannya sepanjang
perjalanan sejarah kemanusiaan perempuan hanya menjadi obyek yang
terdiskriminasikan bahkan tereksploitasi, baik secara sosial, budaya, politik
maupun ekonomi
.
Menurut sebagian
besar tradisi agama dunia, perempuan diberi peran sekunder dan subordinat.
Tetapi dalam tiga dasawarsa terakhir sebagian besar tradisi agama menarik
sarjana feminis yang berpendapat bahwa bukan teks agama yang menjadi sebab
masalah melainkan penafsirannya. Kaum feminis Kristen, Yahudi dan Islam
meneliti kembali ayat suci mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa agamanya
menawarkan kemungkinan pembebasan dan perbaikan dalam posisi perempuan. Tetapi
tradisi dan sejarah telah menumbangkan potensi ini dan menggunakan agama untuk
menekan perempuan
.
Dengan datangnya
Islam, posisi perempuan secara radikal terdifinisikan kembali. Islam melarang
praktek penguburan bayi wanita dan memperbaiki hak-hak kelahiran wanita
Keadilan menurut
Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, yang jika dilihat
dari sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karena itu, siapapun yang
lebih banyak melakukan kewajiban atau yang memikul kewajiban lebih besar,
dialah yang memiliki hak dibanding yang lain. Sementara ini, banyak anggapan
bahwa beban suami atau beban produksi untuk mencari nafkah lebih berat dari
beban istri (beban reproduksi: mengandung, melahirkan dan menyusui). Oleh
karena tidak ada yang dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan
kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.
Dalam surat al-Isra' ayat 70
dinyatakan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى
آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنِ
الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَتَقْنَا تَفْضِيْلاً.
Artinya : "Dan
sesungguhnya telah Kami mulyakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan
dan dilautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan".
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa kata Bani (anak-anak) Adam Mencakup Pria dan wanita, keduanya
sama-sama dimulyakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin; keduanya sama-sama
memiliki hak dan kewajibannya.
Dalam hal ini Al-Qur'an
sebagai kitab suci umat Islam dengan tegas menyatakan bahwa kaum perempuan
memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Sebagaimana laki-laki memiliki
hak atas perempuan, perempuan memiliki hak atas kaum laki-laki. Sebagaimana
perempuan memiliki kewajiban terhadap laki-laki, laki-lakipun memiliki
kewajiban terhadap perempuan
.
Karena itu, Islam mengangkat mereka ke status yang layak sebagai manusia yang
bermartabat sebagaimana laki-laki. Untuk selanjutnya laki-laki dan wanita
dipandang sejajar dari segi kemanusiaannya. Alqur'an menyatakan:
يَآايُّهَا الناَّسُ
اِنَّاخَلَقْناَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
(القرآن:الحجرات
13)
Artinya :
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13 )
Penjelasan lebih
lanjut dikemukakan oleh Hamim
.
Menurutnya, prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki ini dapat
dilihat, misalnya, dalam tradisi sufi yang mengajarkan bahwa derajat
al-insan
al- kamil (manusia sempurna) tidak menjadi wilayah kaum laki-laki saja,
karena perempuan juga memiliki kapasitas untuk mengakses derajat tersebut.
Dengan demikian
menurut Engineer
,
tidak diragukan lagi bahwa ada dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan
perempuan dalam Al-Qur'an. Ada
berbagai alasan untuk ini.
Pertama, Al-Qur'an memberikan tempat yang
sangat tinggi terhadap seluruh manusia yang mencakup laki-laki dan perempuan.
Kedua, sebagai masalah norma, Al-Qur'an membela prinsip kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak berarti ketidaksetaraan dalam
status jenis kelamin. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi
sosial.
Yanggo
menjelaskan persamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki menurut Al-Qur'an
antara lain:
1) Dari segi pengabdian. Islam tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan dalam pengabdian.perbedaan yang jadi ukurannya hanyalah
ketaqwaannya.
2) Dari segi status kejadian. Al-Qur'an menerangkan bahwa
perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dalam derajat yang sama.
3) Dari segi mendapat godaan. Di dalam Al-Qur'an disebutkan
bahwa godaan dan rayuan iblis berlaku bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana
halnya Adam dan Hawa'.
4) Dari segi kemanusiaan. Al-Qur'an menolak pandangan yang
membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
5) Dari segi pemilikan dan pengurusan harta. Al-Qur'an
menghapuskan semua tradisi yang diberlakukan atas perempuan berupa larangan
atau pembatasan hak untuk membelanjakan harta yang mereka miliki.
6) Dari segi warisan. Al-Qur'an memberikan hak waris kepada
laki-laki dan perempuan.
7) Persamaan hukum tentang perceraian.
Dalam hal
kepemimpinan, Al-Qur'an menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki
hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Salah satu kisah yang sangat terkenal
dalam Al-Qur'an adalah tentang seorang ratu (Al-Qur'an, an- Naml : ayat 22-23)
yang digambarkan sebagai seorang perempuan yang menggunakan kekuasaan dengan
sebaik-baiknya untuk membimbing rakyatnya agar patuh pada nabi Sulaiman. Ia adalah
Ratu Saba', yang menjadi model peranan amat positif dari seorang perempuan yang
menjadi kepala negara
.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقاَلَ اَحَطْتُ بِماَلَمْ
تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ بِنَبَاٍ يَقِيْنٍ (22) اِنّىِ وَجَدْتُ
امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَئٍْ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
(23) (القرأن: النمل 22-23)
Artinya :
"Maka tidak lama kemudian
(datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "aku telah mengetahui sesuatu yang
kamu belum mengetahui dan kubawa kepadamu dari negeri Saba'
suatu berita penting yang diyakini"(22). Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar(23).(An-Naml 22-23 )
Sejarah
kepemimpinan Aisyah – istri Nabi Muhammad SAW – dalam dunia politik ikut
memperkuat maksud dibalik cerita tentang Ratu saba' di atas. Puncak
kepemimpinan Aisyah adalah ketika dalam perang jamal beliau memimpin sendiri
pasukannya melawan Ali bin Abi Tholib, yang tiada lain adalah menantunya
sendiri. Meskipun pada akhirnya ia dan pasukannya dikalahkan, tetapi ia
berhasil menunjukkan pada umat bahwa seorang perempuan bisa menjadi pemimpin
masyarakat.
Perempuan yang
bekerja, baik dalam lapangan ekonomi maupun sosial – seperti halnya
laki-laki – menurut ajaran Islam, sebenarnya tidakalah menjadi masalah. Dalam
Al-Qur'an, Hadits, maupun Fiqh – yang merupakan sumber ajaran Islam – tidak
satupun ada penjelasan yang menafikan kerja dan profesi perempuan dalam segala
sektor kehidupan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial
.
Peluang
perempuan dalam mendapat pendidikan, terlalu banyak ayat al Qur'an dan hadits Nabi
Saw. Yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut
ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari al Qur'an adalah
perintah membaca atau belajar
إِقْْرَأْ بِاسْـمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ ......
Artinya : "Bacalah
demi Tuhanmu yang telah menciptakanmu …………
… "(Q.S. Al 'Alaq, 1)
Kesitimewaan
manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah
karena makhluk ini memiliki penegahuan . (Q.S. 2 : 31-34). Baik laki-laki
maupun perempuan diperintahkan untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin, mereka
semua dituntut untuk belajar :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْـلِمٍ وَ الْمُسْـلِمَةٍ (الحديث)
Artinya : "menuntut ilmu itu
wajib bagi muslim dan muslimah".
Para
perempuan di zaman Rasul menyadari betul kewajiban ini, sehingga mereka memohon
kepada Rasul Saw. Agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus
untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan tersebut tentu
dikabulkan oleh Rasul SAW.
Al Qur'an
memberikan pujian kepada para Ulul Al Albab (intelektual) yang selalu berdzikir
dan berfikir sekaligus memikirkan tentang telah diciptakannya langit dan bumi,
pergantiannya siang dan malam, perputarannya matahari dan rembulan yang selalu
aktif dan hanyalah Allah SWT. Yang Maha Pencipta. Dzikir dan pemikiran
menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia
alam raya, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan.
Mereka yang disebut
Ulul Al Albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan.
Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang Ulul Al Albab yang
dikemukakan diatas setelah Al Qur'an menguraikan tentang sifat-sifat mereka,
ditegaskan bahwa :
فََاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ
أَنِّي لآَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَمِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى....
Artinya : "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaum lelaki
maupun perempuan…" (Q.S. 3:195)
Ini berarti bahwa
kaum perempuan dapat berfikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang
mereka hayati dari dzikir kepada Allah Swt. serta apa yang mereka ketahui dari
alam ini . pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebeas
untuk mempelajarti apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan
masing-masing.
Dalam
kehidupan berkeluarga, tidak ada satupun penjelasan dalam Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa status laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Seorang suami
tidak lebih dominan dibanding istri. Demikian juga anak laki-laki tidak lebih
utama dari anak perempuan. Memang ada sebuah penjelasan dalam Al-Qur'an tentang
hubungan suami-istri yang tertulis pada surat
an-Nisa' ayat 34, yang sebetulnya penuh dengan berbagai penafsiran.
Ayat yang
menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah "pemimpin" bagi perempuan
(istri) ini adalah bersifat kontekstual, dan bukan normatif
.
Artinya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan konteks masyarakat pada saat itu.
Kondisi masyarakat saat itu sangat diwarnai oleh budaya patriarkhi. Bila
dipahami lebih jauh, ayat tersebut menggambarkan bahwa waktu itu laki-laki
(suami) menjadi pemimpin bagi perempuan (istri) disebabkan kelebihan yang
dimiliki laki-laki dan karena laki-laki yang memberi nafkah pada perempuan.
Ayat tersebut tidak berlaku secara normatif, dalam arti untuk semua tempat dan
waktu.
Segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan berkeluarga adalah tanggung jawab suami-istri secara
bersama-sama untuk mengaturnya. Subhan
menggambarkan, hidup berkeluarga itu ibarat seekor burung yang sedang terbang
dengan kedua sayapnya. Kedua sayap itu bagaikan suami-istri. Bila salah satu
sayap itu tidak berfungsi maka burung itu tidak bisa terbang. Demikian juga
keluarga.
Kedudukan anak
laki-laki dan perempuan dalam keluarga menurut Al-Qur'an adalah sama.
Bahkan semua laki-laki dan perempuan ditingkat manapun tidak berbeda. Menurut
Umar
ada beberapa variaber yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa
prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur'an. Variaber tersebut adalah :
1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah.
2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah (penguasa) di bumi.
3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan
Tuhannya.
4) Adam (sebagai simbol laki-laki) dan Hawa (sebagai simbol
perempuan) terlibat secara aktif dalam dramis kosmis.
5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Dengan demikian,
Al-Qur'an yang merupakan kitab suci pemeluk agama Islam, sebenarnya
menganugerahkan status yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam
pengertian normatif, namun juga mengakui superioritas laki-laki dalam konteks
sosial tertentu. Namun para teolog yang menafsirkan ajaran Al-Qur'an tersebut
telah mengabaikan konteks sosial yang dimaksud, sehingga menjadikan laki-laki
sebagai makhluk superior. Pemahaman seperti ini kemudian mewarnai berbagai
penafsiran terhadap ajaran yang terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan
dalam kitab suci tersebut
.
Dengan bahasa yang
berbeda, Engineer mengungkapkan bahwa kitab suci Al-Qur'an itu bersifat
normatif
sekaligus
pragmatis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman
sekarang. Ajaran-ajaran yang demikian seharusnya tidak diperlakukan sebagai
ajaran yang normatif. Ajaran ini harus dilihat dalam konteks di mana ajaran
tersebut harus diterapkan
.
Jika demikian,
menurut Rahmat
,
pemahaman keagamaan yang ada selama ini memberikan andil yang tidak
kecil terhadap pelanggaran ide normatif Islam itu sendiri. Oleh karena itu jelas
diperlukan kerendahan hati untuk mencermati ulang penafsiran yang dirasakan
tidak mampu menjaga hak-hak kaum perempuan.
Pendapat tersebut
didukung pula oleh Faqih
.
Baginya, diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam
penafsiran
agama. Maka diperlukan suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi,
investigasi, analisis sosial, pendidikan, serta aksi untuk membahas issu
perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan perlawanan
kepada kaum perempuan guna mengembangkan
tafsiran ajaran agama yang
tidak bias laki-laki.
4. Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Gender
- Keluarga
awal kesetaraan lelaki dan perempuan
Mengungkap
kesetaraan dalam keluarga adalah bermula untuk menghadapi berbagai aspek,
termasuk Demokrasi, Sosial Kemasyarakatan, sekaligus membentuk kesetaraan
diantara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan
bermula dari keluarga, mungkin pendapat ini baru kita dengar, akan tetapi bisa
untuk penganalisaan lebih cermat bahwa segala sesuatunya dimulai dari keluarga.
Keluarga yang membentuk segala-galanya sebagai awal dari kepribadian. Maka dari
itu harus menjadi perhatian kita untuk membina keluarga. Keluarga yang dimaksud
adalah seorang Bapak, Ibu dan anak. Banyak orang berpendapat bahwa keluarga
sangat tergantung pada Bapak/Suami. Memang kita menerima seutuhnya apa yang
tertera dalam Al Qur'an, Allah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَي
النِّسَـاء ........
Artinya : "Seorang
laki-laki adalah pemimpin bagi seorang perempuan ……" (Q.S. 4 : 34)
Pemimpin yang
dimaksud bukan penguasa yang kaku dan tabu, pemimpin yang dimaksud adalah untuk
menjadi acuan pokok dalam pembinaan meterial maupun spiritual sekaligus akhlaq.
Seringkali kita
lihat apa yang terjadi dalam lingkup keluarga sangat memusatkan segalanya
terhadap seorang bapak yang pada akhirnya ada suatu kebanggaan tersendiri
mempunyai seorang anak laki-laki.
Mengenai makna
anak perempuan dan laki-laki dapat dilihat pengaruh nilai-nilai budaya tentang
gender, apakah yang terwujud adalah sistem patriarkal atau tidak, namun banyak
terkait pada nilai itu. Dalam masyarakat yang sistem kekerabatannya
patrilineal, sering dapat diamati adanya rumusan yang eksplisit memberi
penilian yang lebih positif pada anak laki-laki dibandingkan anak perempaun.
Dengan peran
laki-laki sebagai pemimpin adalam rumah tangga dan peran perempuan untuk hamil,
melahirkan dan menyusui (keistimewaan kodrati), maka atas dasar keistimewaan
kodrati tersebut, Islam mewajibkan laki-laki sebagai suami untuk memnuhi
kewajiban istri dan anak-anaknya. Tetapi ini bukan berarti perempuan sebagai
istri tidak berkewajiban secara moral membantu suami mencari nafkah.
Islam
menggariskan prinsip kesejajaran dan kenitraan atas dasar musyawarah dan tolong
menolong serta disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga. Jadi prinsip
kemitraan harus dicontohkan dalam kehidupan suami istri. Tidaklah aib atau
terlarang dalam pandangan agama, seorang perempuan/ istri melakukan suatu
pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Dan atas dasar itu pula tidak dapat
dinilai kecuali terpuji seorang suami yang membantu istrinya dalam urusan rumah
tangga.
Keluarga adalah
salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan
proses-proses naturalisasi sosial, membentuk kepribadian-kepribadian, serta
memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang terus bertahan selamanya.
Dengan kata lain, keluarga merupakan benih awal penyusunan kematangan individu
dan struktur kepribadian. Dalam banyak kasus, anak-anak mengikuti orang tua
dalam berbagai kebiasaan dan prilaku. Jadi orang tua sangat diperluakan peran
aktifnya dalam mendidik anak-anaknya
.
Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak
pertama-tama mendapatkan pendidikan dan pembimbingan. Dan dikatakan sebagai
lingkungan yang utama karena sebagian besar kehidupan anak berada dalam
lingkungan keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak
adalah dari keluarga.
Samsul Nizar
mengatakan bahwa keluarga (lingkungan rumah tangga), pada umumnya merupakan
lembaga pertama dan utama dibenak anak. Hal ini disebabkan, karena kedua orang
tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan, bimbingan,
perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dengan
anak-anaknya, merupakan basis yang sangat ampuh bagi pertumbuhan dan
perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik
.
Zakiah Darajad
mengatakan, pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga bukan berpangkal tolak
dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan
karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami
membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan ini terwujud berkat adanya
pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang
tua dan anak didik
.
Secara sosiologis
keluarga merupakan bagian dari masyarakat, dalam hal ini peran keluarga sangat
penting terutama dalam pembentukan perkembangan diri anak, khususnya orang tua
mempunyai pengaruh yang sangat besar di mana ia berperan sebagai pendidik
pertama dan utama. Untuk itu diharapkan orang tua harus mampu mendidik
anak-anaknya, dan keberhasilan anak dalam masa depannya tergantung dari
bagaimana cara orang tua memberikan pendidikan.
Keluarga adalah
sebagai persekutuan hidup terkecil dari masyarakat dan negara luas. Pangkal
ketentraman dan kedamaian hidup adalah terletak dalam keluarga.
Keluarga
merupakan salah satu pendidik yang memiliki arti penting bagi proses pendidikan
anak. Makna tersebut yaitu:
a. Keluarga merupakan wadah pertama dan utama, anak diukir
kepribadiannya, menemukan "aku" nya, mengenal kata-kata, tata nilai
dan norma kehidupan, berkomunikasi dengan orang lain dan sebagainya, yang
kesemuanya dimulai dari keluarga.
b. Dalam keluarga terdapat hubungan emosional yang kuat dan erat
antar anggota keluarga, pendidikan berlangsung sepanjang waktu dan merupakan peletak
pondasi pertama dalam membentuk kepribadian anak
.
Mengingat
pentingnya keluarga yang demikian itu, maka Islam memandang keluarga bukan
hanya persekutuan terkecil saja, tetapi lebih dari itu sebagai lembaga hidup
manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka dan bahagianya anggota keluarga
tersebut baik di dunia maupun akherat.
Dilihat dari
ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Dan amanah itu wajib di
pertanggungjawabkan. Secara umum tanggung jawab itu adalah kewajiban orang tua
untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dalam keluarga.
Peran keluarga
bagi anak sangatlah besar, dan orang tua punya tanggung jawab untuk menuntun
dan mengembangkan pribadi serta rasa kemasyarakatan yang ada pada diri anak,
seperti melakukan komunikasi dan bergaul. Harmonisasi hubungan keluarga perlu
dijaga agar anak merasa tentram dan damai dalam keluarga tersebut. Sebaliknya,
jika terjadi disharmonisasi dalam keluarga, maka akan mempengaruhi jiwa anak
dan menimbulkan keresahan batinnya.
Sedangkan untuk menciptakan suasana yang baik adalah dengan menciptakan
terwujudnya saling pengertian, saling menghargai, saling mempercayai dan saling
menyayangi diantara seluruh anggota keluarga. Dengan demikian akan dapat
dihindarkan dari berbagai masalah-masalah negatif yang akan mengganggu
ketentraman keluarga tersebut.
Keluarga
merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama. Di dalam keluarga inilah
pertama kali anak mendapatkan didikan dan bimbingan, karena sebagian besar
pendidikannya banyak diterima dari lingkungan keluarga. Sehingga pendidikannya
pun banyak diterima dari lingkungan keluarga tersebut.
Hal yang demikian
adalah wajar, karena keluarga khususnya orang tua adalah orang yang paling
dekat dan paling bersahabat, bahkan semenjak anak masih ada dalam kandungan
mereka sudah menjalin kasih sayang secara batin yang merupakan landasan utama
dalam proses pendidikan.
Kunci pendidikan
dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan
kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah
yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang sebagai penanaman
nilai-nilai yang kelak mewarnai perkembangan hidup selanjutnya. Bahkan dapat di
katakan bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan kunci bagi pendidikan
secara keseluruhan.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting karena dalam keluargalah
pendidikan dasar kepribadian akan dapat ditanamkan. Dan disini peran serta
orang tua sangatlah dibutuhkan.
Mengingat
pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan keluarga, dimana semua
pengetahuan dan pengalaman yang diterimanya (oleh anak) baik melalui
penglihatan, pendengaran, ataupun tingkah laku yang berasal dari orang tua akan
mempengaruhi dan mewarnai terhadap pembentukan pribadi anak, maka setiap kata,
sikap dan tingkah laku orang tua merupakan cermin si anak dan akan mewarnai
kahidupannya.
Demikian pula
dalam penamanan kesetaraan gender dalam keluarga, orang tua adalah faktor
terpenting yang dapat mempengaruhi pola pikir anak yang nantinya akan ia
kembangkan dimasa-masa yang akan datang.
Dalam pendidikan gender, orang tua
memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya,
karena apabila dalam satu keluarga tersebut terjadi bias gender maka hal ini
akan sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anaknya dimasa yang akan datang.
Ketidakadilan
gender dalam keluarga sering kali termanifestasi dalam berbagai bentuk,
diantaranya adalah marginalisasi (peminggiran) perempuan, subordinasi
(penomorduaan) perempuan, stereotipe (pelabelan negatif) terhadap perempuan,
kekerasan (violence) terhadap perempuan serta beban kerja lebih banyak dan
panjang (doble burden)
.
Dan anak akan sangat peka terhadap reaksi sosial yang ditimbulkan oleh kedua
orang tuanya tersebut.
Oleh karena itu
apabila dalam keluarga sering kali terjadi ketidakadilan gender maka cara
berfikir, bertindak dan berlaku seorang anak dalam kehudupan sehari-hari akan
sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang pernah dialaminya.
Bila pandangan orang tua tersebut adalah
bias gender, maka anak-anak yang menjadikannya panutan, juga akan memiliki
pandangan yang sama. Hal ini akan mengakibatkan ketidakadilan gender di
keluarga dan masyarakat akan terus
bertahan. Sebaliknya, bila orang tua memiliki pandangan tentang hubungan gender
secara adil, maka peluang bagi terciptanya kesetaraan gender semakin terbuka,
paling tidak dalam lingkup komunitasnya. Bagaimanapun orang tua mempunyai
peranan yang sangat besar dalam merubah pola pikir anak dalam kesetaraan gender di keluarga dan masyarakat
secara luas. Disinilah peran keluarga sebagai lembaga pendidikan berbasis
gender dapat diterapkan secara maksimal dan keluarga juga punya peran penting
untuk mewujudkan keadilan sosial, termasuk didalamnya adalah keadilan gender.
b.
Keadilan dan kesetaraan
antara anak laki-laki dan anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dalam
keluarga
Para pakar
berpendapat, secara psikologi anak jiwanya sangat tajam, apa yang mereka terima
sejak dini di dalam keluarganya akan tertanam dalam banak fikirannya. Keluarga
dalam mendidik anak laki-laki dan perempuan umumnya diarahkan melalui mainan
dan ketrampilannya, sehingga apa yang telah dibidangi oleh anak sejak kecil,
seolah-olah itulah suatu tugas kewajiban bagi anak selanjutnya.
Di dalam mendidik anak, sering kali kita
memisahkan antara lelaki dan perempuan, misalnya anak laki-laki tidak boleh masak memasak, atau seorang Ibu
tidak pernah memperkenalkan kepada anak laki-laki sepaya labih tahu apa yang
menjadi kebiasaan atau pekerjaan rumah, yang sering kali hanya dikerjakan oleh
seorang Ibu.
Dan sebaliknya seorang Ayah dan seorang
Ibu juga tidak pernah memperkenankan anak perempuan untuk mempunyai sikap yang
sama sebagaiman yang menjadi tugas kebiasaan seorang anak laki-laki, misalnya
seorang anak perempuan dilarang main mobil-mobilan, pesewat terbang, main
layang-layang atau pistol-pistolan dan lain-lain.
Dengan pola-pola pendidikan yang dibentuk
sejak anak masih balita, maka anak akan menyikapi bahwa apa yang tidak
diperkenankan dan apa yang diperkenankan pada mereka maka anak kelak akan
membatasi kegiatannya sesuai dengan apa yang mereka peroleh ketika masih aktif
(kecil)
Hal ini menyebabkan anak perempuan
terfokus pada pekerjaan domestik (dalam rumah tangga) sedangkan anak laki-laki
pada pekerjaan publik (luar rumah). Apalagi soal pendidikan yang mengutamakan
anak laki-laki dari pada anak perempuan (pada tingkat ekonomi keluarga yang
lemah), karena "orang tua tidak dapat melakukan investasi dalam pendidikan
anak perempuan mereka, karena tenaga anak perempuan dibutuhkan di rumah.
Pola ini turut menetukan ketimpangan pendidikan anak perempuan dan laki-laki.
Berbuat adil dan bijaksana terhadap semua
anak adalah wajib bagi orang tua. Ayah atau Ibu tidak boleh membeda-bedakan
sikap terhadap anaknya. Mengabaikan yang lebih lemah (fisik/kemampuan) dan
memprioritaskan yang lebih kuat (fisik ataupun prestasi). Orang tua jangan
memberi perhatian yang lebih terhadap yang satu dibanding yang lain, jangan
pula mengasihi serta mencintai anaknya yang satu lebih dari yang lain.
Dan juga
orang tua jangan membedakan anatara anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak laki-laki memang berbeda dengan anak perempuan, dan itu memang fitroh,
Allah Swt. menciptakannya seperti itu. Mereka memang berbeda, tetapi bukan
untuk dibeda-bedakan. Orang tua harus mendidik mereka secara sama untuk menjadi
anak yang sholeh dan sholehah.
Perlakuan orang tua yang tidak adil
terhadap anak-anaknya akan membawa dampak yang negatif dalam perkembangan
jiwanya. Anak akan merekam perlakuan yang berbeda dari orang tua dengan
perasaan tertekan, bahwa dia tidak lebih berharga dari saudaranya.
Pada dasarnya semua pekerjaan dan
perbuatan yang mulia disisi Allah Swt. tidak ada perbedaan diantara lelaki dan
perempuan. Oleh karenanya kepincangan yang tidak sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Islam, maka mengakibatkan kepincangan dalam beragama dan
keluarga.
Dintara keduanya dituntut oleh Allah Swt.
dengan pengabdian dan tugas yang sama.
حَدَّثَنَا
اِسْمَعِيْلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ
عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَااَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وسلَّمَ قال اَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ َو كُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ.....
Artinya : "Setiap kamu adalah
pemimpin dan masing-masing akan ditunut dengan pertanggungjawabannya (diantara
laki-laki dan perempuan) atas kepemimpinannya……". (Hadits Bukhori dari
Muslim r.a.)
Mengingat tugas yang sama maka kesetaraan
bermula dari berbagai hal yang sekitarnya dapat dilakukan oleh masing-masing
jenis, laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Al Qur'an, Allah Swt. berfirman :
يآيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَأُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا....
Artinya : "
Hai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan dan Aku jadikan kamu bersuku-suku berbangsa-bangsa supaya kalian
saling mengenal..." (Q.S.49:13)
Dari kata-kata supaya saling mengenal
diantara laki-laki dan perempuan dan diantara kulit putih dan hitam, ayat
dimaksud adalah supaya memahami diantara hak-hak dari tugas yang menjadi
kewajiban diantara kedua jenis itu, diantara keduanya saling mengisis
kekurangan dan membantu kekurangan dari masing-masing pihak