Konsep Pengasuhan (PARENTING)
Parsant
dalam parenting memiliki beberapa definisi-ibu, ayah, seseorang yang akan
membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent
adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan
anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap
tahapan perkembangannya.
Pengasuh
erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga/ rumah tangga dan komunitas
dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan
fisik, mental, dan social anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta
bagi anggota keluarga lainnya (ICN 1992 dalam Engel et al. 1997).
Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang
bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup
dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa
(pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan
anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan
pengasuhan social.
Pengasuhan
fisik mencakup semua aktifitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup
dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan,
kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa
metabolisme dalam tubuhnya. Pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak
mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing
dari teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini
mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu,
mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan
dan untuk mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak
mempunyai kemampuan yang stabildan konsisten dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistic atas
hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu, pengasuhan sosial
bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan
berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan
sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam
pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya.pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan
kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun
sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus
diembannya (Hughoghi, 2004).
Sementara
itu, menurut Jerome Kagan seorang psikolog perkembangan mendefinisikan
pengasuhan (parenting) sebagai serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada
anak, yang mencakup apa yang harus dilakukan oleh orang tua/ pengasuh agar anak
mampu bertanggung jawab dan memberikan kontribusi sebagai anggota masyarakat
termasuk juga apa yang harus dilakukan orang tua/ pengasuh ketika anak
menangis, marah, berbohong, dan tidak melakukan kewajibannya dengan baik
(Berns, 1997). Berns (1997) menyebutkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah
proses interaksi yang berlangsung terus-menerus dan mempengaruhi bukan hanya
bagi anak juga bagi orang tua. Senada dengan Berns, Brooks (2001) juga
mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian
aksi dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak.
Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orang tua
mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi
antara orang tua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial
dimana anak dibesarkan.
Beberapa
definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa konsep pengasuhan
mencakup beberapa pengertian pokok, antara lain: (i) pengasuhan bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik,
mental maupun sosial, (ii) pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang
terus menerus antara orang tua dengan anak, (iii)pengasuhan adalah sebuah
proses sosialisasi, (iv) sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi proses
pengasuhan tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan.TEORI
STRUKTURAL FUNGSIONAL DALAM PENGASUHAN
Pendekatan
struktural fungsional dalam mengkaji kehidupan keluarga dipelopori oleh William
F. Ogburn dan Talcott Parson pada awal abad ke-20 dengan landasan filosofis
utama adalah mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman
tersebut merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menyebabkan
pula terjadinya keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur
sebuah system. Perbedaan fungsi tersebut menurut pendekatan structural
fungsional tidak untuk memenuhi kepentingan individuyang bersangkutan melainkan
untuk mencapai tujuan kolektif. Secara filosofis, pendekatan structural
fungsional bersumber dari filsafat platonic yang mengakui kebenaran adanya pembagian
tugas (Megawangi, 1999)
A.
Pandangan
Keluarga Menurut Malinowski Pendekatan Terhadap Antropologi dan Sosial
Pada tahun 1914 ia pergi ke Papua (saat ini disebut Papua New Guinea) dan melakukan penelitian yang mula-mula di Mailu, selanjutnya di daerah Dobu dan akhirnya di Kepulauan Trobriand. Pada saat itu ia memproleh kesempatan untuk melakukan mengobservasi dan penelitan sencara mendalam di kepulauan Trobriand selama dua tahun. Sesudah kembali ke Inggris ia menulis hahasil penelitiannya tersebut dari berbagai aspek mengenai kehidupan orang di kepulauan Trobriand. Buku pertama hasil karangannya yaitu Argounauts of the Western Facific(1922) dan yang kedua yaitu Crime and Custom in savage society.Hasil karyanya ini banyak menarik perhatian dunia ilmu khususnya dunia ilmu antropologi dan etnologi. Buku pertamanya ini menceritakan tentang sistem perdagangan di kepulauan Trobriand. Di mana dalam bahasa setempat tersebut dengan kula. Kula merupakan suatu sistem perdagangan yang dilakukan dengan cara barter di mana saat pertukaran barang-barang ( kerajinan, makanan dan alat-alat rumah tangga ) berlangsung selalu diadakan juga pertukaran benda-benda perhiasan yang dianggap penting dan memiliki nilai. Benda yang dianggap sangat berharga tadi yaitu kalung kerang ( sulave ) dan gelang kerang ( mwali ). Kalung kerang ( sulave ) yaitu sebuah kalung yang terbuat dari kulit tiram dan susunannya sesuai dengan arah jarum jam. Sedangakan gelang ( mwali ) yaitu sebuah gelang putih yang susunannya berlawanan dengan arah jarum jam (Roger M. Keesing 1981:196).
Benda-benda ini biasanya dipertukarkan ke suatu pulau dan kepulau lainnya sesuai dengan arah jarum jam untuk sulave dan sementara mwali dipertukarkan berlawanan dengan arah jarum jam. Perjalanan kula biasanya hanya dilakukan oleh kaum pria. Pertukaran kula juga merupakan hal yang menunjukkan status kelas sosial, gengsi dan untuk memperebutkan kedudukan. Semua tentang kula tadi diterangkan oleh Malinowski dengan menggunakan gaya bahasa yang sengat bagus dan mudah dipahami oleh orang. Di mana Malinowski menggambarkan semua yang berkaitan atau yang berhubungan dengan kula tersebut. Sehingga orang yang membaca karyanya tersebut benar-benar ikut merasakan keadaan di Trobriand tersebut. Cara yang digunakan oleh Malinowski ini merupakan cuatu cara baru dan unik. Sehingga cara mengarang etnografi yang dibuat Malinowski tersebut menjadi sebuah metode etnogfari yang berintegrasi secara fungsional. Pemikiran Malinoski ini menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap yang kemudian ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi(Koentjaraningrat 1982: 167) yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2.Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan.
3.Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosila pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Mengenai masalah tersebut Malinowski menjelaskan bahwa berbagai sistem tukar menukar yang ada di dalam masyarakat primitif merupakan alat yang mengikat antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini Malinowski mengambil contoh dari masyarakat Trobriand. Malinowski juga mengatakan bahwa sistem menyumbang akan menimbulkan kewajiban seseorang untuk membalasnya. Hal ini lah yang mengaftikan kehidupan masyarakat di mana Malinowski menyebutnya prinsip timbal balik atau principle of reciprocity. Malinowski memberikan ilustrasi seperti yang ada di masyarakat trobriand. Di mana di masyarakat trobriand terjadi sistem penukaran barang dan benda. Di mana hal ini lah yang mengaktifkan hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Pemikiran Malinowski tentang kebudayaan. Bronislaw Malinowski mengajukan beberapa unsur pokok kebudayaan yang meliputi:
1.Sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyatakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya
2.Organisasi ekonomi.
3.Mechanism and agencies of education yaitu alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas untuk pendidikan. Misalnya keluarga, keluarga merupakan termasuk lembaga pendidik yang utama selain dari lembaga-lembaga resmi yang ada.
4.Organisasi kekuatan ( the organization of force ). Bronislaw Malinowski sebagai penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan untuk keperluan masyarakat.
Menurut Malinowski segala aktivitas dari unsur kebudayaan tersebut bermaksut untuk memenuhi kebutuhan manusia serta untuk memuaskan segala kebutuhan manusia
Pada tahun 1914 ia pergi ke Papua (saat ini disebut Papua New Guinea) dan melakukan penelitian yang mula-mula di Mailu, selanjutnya di daerah Dobu dan akhirnya di Kepulauan Trobriand. Pada saat itu ia memproleh kesempatan untuk melakukan mengobservasi dan penelitan sencara mendalam di kepulauan Trobriand selama dua tahun. Sesudah kembali ke Inggris ia menulis hahasil penelitiannya tersebut dari berbagai aspek mengenai kehidupan orang di kepulauan Trobriand. Buku pertama hasil karangannya yaitu Argounauts of the Western Facific(1922) dan yang kedua yaitu Crime and Custom in savage society.Hasil karyanya ini banyak menarik perhatian dunia ilmu khususnya dunia ilmu antropologi dan etnologi. Buku pertamanya ini menceritakan tentang sistem perdagangan di kepulauan Trobriand. Di mana dalam bahasa setempat tersebut dengan kula. Kula merupakan suatu sistem perdagangan yang dilakukan dengan cara barter di mana saat pertukaran barang-barang ( kerajinan, makanan dan alat-alat rumah tangga ) berlangsung selalu diadakan juga pertukaran benda-benda perhiasan yang dianggap penting dan memiliki nilai. Benda yang dianggap sangat berharga tadi yaitu kalung kerang ( sulave ) dan gelang kerang ( mwali ). Kalung kerang ( sulave ) yaitu sebuah kalung yang terbuat dari kulit tiram dan susunannya sesuai dengan arah jarum jam. Sedangakan gelang ( mwali ) yaitu sebuah gelang putih yang susunannya berlawanan dengan arah jarum jam (Roger M. Keesing 1981:196).
Benda-benda ini biasanya dipertukarkan ke suatu pulau dan kepulau lainnya sesuai dengan arah jarum jam untuk sulave dan sementara mwali dipertukarkan berlawanan dengan arah jarum jam. Perjalanan kula biasanya hanya dilakukan oleh kaum pria. Pertukaran kula juga merupakan hal yang menunjukkan status kelas sosial, gengsi dan untuk memperebutkan kedudukan. Semua tentang kula tadi diterangkan oleh Malinowski dengan menggunakan gaya bahasa yang sengat bagus dan mudah dipahami oleh orang. Di mana Malinowski menggambarkan semua yang berkaitan atau yang berhubungan dengan kula tersebut. Sehingga orang yang membaca karyanya tersebut benar-benar ikut merasakan keadaan di Trobriand tersebut. Cara yang digunakan oleh Malinowski ini merupakan cuatu cara baru dan unik. Sehingga cara mengarang etnografi yang dibuat Malinowski tersebut menjadi sebuah metode etnogfari yang berintegrasi secara fungsional. Pemikiran Malinoski ini menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap yang kemudian ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi(Koentjaraningrat 1982: 167) yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2.Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan.
3.Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosila pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Mengenai masalah tersebut Malinowski menjelaskan bahwa berbagai sistem tukar menukar yang ada di dalam masyarakat primitif merupakan alat yang mengikat antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini Malinowski mengambil contoh dari masyarakat Trobriand. Malinowski juga mengatakan bahwa sistem menyumbang akan menimbulkan kewajiban seseorang untuk membalasnya. Hal ini lah yang mengaftikan kehidupan masyarakat di mana Malinowski menyebutnya prinsip timbal balik atau principle of reciprocity. Malinowski memberikan ilustrasi seperti yang ada di masyarakat trobriand. Di mana di masyarakat trobriand terjadi sistem penukaran barang dan benda. Di mana hal ini lah yang mengaktifkan hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Pemikiran Malinowski tentang kebudayaan. Bronislaw Malinowski mengajukan beberapa unsur pokok kebudayaan yang meliputi:
1.Sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyatakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya
2.Organisasi ekonomi.
3.Mechanism and agencies of education yaitu alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas untuk pendidikan. Misalnya keluarga, keluarga merupakan termasuk lembaga pendidik yang utama selain dari lembaga-lembaga resmi yang ada.
4.Organisasi kekuatan ( the organization of force ). Bronislaw Malinowski sebagai penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur kebudayaan untuk keperluan masyarakat.
Menurut Malinowski segala aktivitas dari unsur kebudayaan tersebut bermaksut untuk memenuhi kebutuhan manusia serta untuk memuaskan segala kebutuhan manusia
B.
Feminisme
liberal dan keluarga
Para teoritisi
feminis telah mendekati isu mengenai keluarga dengan berbagai asumsi,
kesimpulan dan tindakan. Feminism liberal memfokuskan pada masuknya wanita ke
dalam pasar tenaga kerja upahan, dan kemampuan untuk bersaing dengan laki-laki
di dalam lingkungan ini. Teori feminis liberal tidaklah memperhatikan nilai
penempatan wanita di dalam keluarga sebagai isu ekonomi, tetapi terutama
memfokuskan pada perubahan-perubahan peran jenis kelamin. Jadi,
teoritis-teorotis feminis liberal menguji perkembangan sifat-sifat keluarga
egalitarian atau demokratik. Mereka memasukkan isu tentang tenaga kerja yang
tidak dibayar dirumah terutama sebagai
suatu tawar menawar individual untuk pembagian waktu yang lebih senggang dengan
pasangan-pasangannya. Nilai ekonomi tenaga kerja yang tidak dibayar, yang
ditetapkan oleh struktur patriarki dan atau kapitalisme, sebagaian besar
diabaikan.
Pusat perhtian kaum feminis liberal
adalah pada pasar tenaga kerja, yang dianggap hanya berfungsi diluar rumah,
pada buruh upahan. Agenda kaum feminis liberal menekankan masuknya
wanitakedalam pasar tenaga kerjadan kemampuan mereka untuk bersaingdidalamnya,
tetapi juga menegaskan penerimaan wanita terhadap struktur normatif patriarkis
laki-laki. Peninjauan kembali dan penilaian terhadap norma-norma dan
ideal-ideal lelaki, agar lebih berhasil dalam persaingan dipasar tenaga kerja
kapitalis/patriarkis, lebih diutamakan. Hal ini ditunjukkan dalam
penyelenggaraan lokakarya-lokakarya “pakaian untuk sukses” bagi wanita yang
memusuhi atau bersaing didalam pasar tenaga kerja atau penekanan pada akses
individual dan keluarga dalam kualitas pemeliharaan anak-anak. Didalam
keluarga, kaum feminis liberal memfokuskan pada reproduksi dan perawatan
anak-anak sebagai rintangan-rintangan kepada pekrjaan upahan. Beberapa kalangan
feminis liberal menuntut akses kearah kebebasan dalam pemeliharaan anak-anak
dan reproduksi dengan mengabaikan kondisi-kondisi ekonomi para pekerja perawat/
anak dan remaja, atau para ibu asuh yang memberikan jasa perawatan bayi.
Seluruh rangkaian aktivisme feminis
telah difokuskan kembali pada hak-hak reproduksi dalam tantangannya baru-baru
ini terhadap Roe v . Wade; tetapi kaum feminis liberal hanya memberikan sedikit
perhatian atas isu-isu yang memadai itu, yakni control kelahiran yang ketat,
dan pemaksaan sterilisasi terhadap wanita miskin dan wanita kulit berwarna di
Amerika Serikat. Secara politis atau teoritis, mereka tidak mampu memperkirakan
norma-norma etnosentris di dalam gerakan keluarga berencana yang mengabaikan
tingkat kematian balita dan harapan reproduksi wanita di negara-negara dunia
ketiga, serta kaitannya dengan otonomi dan kedudukan sosial.
Dalam
tiga decade terakhir, kaum feminism mempergunakan prinsi-prinsip liberal untuk
mendapatkan ketentuan-ketentuan perundangan dan peradilan, yang mrnghapuskan
pembagian kerja secara seksual ( misalnya, pernyataan-pernyataan mengenai
hak-hak individual) ( Shanley, 1983). Penekanan ini memberikan kepada wanita
“kesempatan untuk berpartisipasi di dalam masyarakat sebagaimana strukturnya
sekarang ini, tetapi tidak secara langsung mengubah aspek-aspek struktur yang
berlawanan dengan kesejahteraan keluarga ( Shanley, 1983:358). Reformasi
perundang-undangan tidak akan perlu mengubah peran-peran keluarga. Menurut
Einstein (1983), ideology individualisme liberal akan bertentangan dengan hak
istimewa dan keuntungan ekonomi laki-laki; dan pertentangan ini akan merupakan
inti kebijaksanaan politik “pro-keluarga”.
C.
Feminisme
Radikal dan Keluarga
Feminism
radikal memfokuskan pada sistem patriarkis di dalam keluarga yang merembes ke
seluruh keluarga kebudayaan Barat. Wanita menukar mereka dengan perlidungan
dari patriarkis dan dunia yang seringkali bersifat bengis. Penurunan status
wanita ke status seksual dan pemilikan kekayaan yang dikontrol laki-laki,
dilakukan melalui konstruksi sosial keluarga, dan yang lebih baru, melalui
“restu” negara (Borris dan Bordaglio, 1983)
Keluarga
dilihat sebagai suatu institusi yang menindas, tempat wanita menyumbang pada
penindasan terhadap mereka sendiri sebagai suatu kelompok, melalui sosialisasi
sebagai objek-objek seks, dan persamaan simbolis mereka sebagai “mami’ (Mom’) dengan patriotisme “pastel apel” (“apple pie”patriotism). Dworkin (1983)
mencatat bahwa hal itu kerap merupakan tawar-menawar yang mematikan, menyumbang
pada tingkat yang tinggi dalam perlakuan kejam terhadap istri (spose abuse), pembunuhan dalam keluarga
(marital homicide), dan perkosaan
dalam keluarga (marital rape). Di
dalam keluarga patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja wanita secara
formal dan informal; adanya perlawanan dari wanita, memiliki
konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan sosial bagi mereka sendri dan anak-anak
mereka. Badan-badan negara yang menjaga kerukunan keluarga “dengan biaya
tertentu”, serta perjuangan untuk mengubah perundangan, prosedur-prosedur
peradilan, dan campur tangan polisi yang menyokong laki-laki, merupakan bukti
bahwa negara menentang ekinomi dan keselamatan wanita (Grossholtz, 1983).
Suzanne
Pharr ( 1984 ) menyusun pembahasan mengenai keluarga dalam konteks norma-norma
heteroseks. Ia menegaskan bahwa sistem pembatasan peran jenis kelamin pada
keluarga inti, diperkuat melalui penerapan sanksi-sanksi terhadap para lesbian
dan laki-laki gay. Ketakutan akan
hilangnya dukungan ekonomi atau emosional karena menolak norma-norma keluarga
heteroseksual yang dominan, mengikat wanita pada status quo. Degradasi sosial yang ditimpakan kepada kaum lesbian
dan gay oleh patriarki dan institusi-institusi heteroseksis, meniadakan
realitas mengenai rumah tangga lesbian gay sebagai struktur-struktur “keluarga”
dengan kekayaan emosional serta keabsahan konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan
sosial
Beberapa
bentuk perlawanan terhadap keluarga heteroseksis patriarkis, adalah mungkin.
Pemisahan wanita dari rumah-rumah yang penuh kekerasan, sudah merupakan suatu
kenyataan pada beberapa komunitas, melalui pelayanan-pelayanan perumahan yang
aman dan bantuan pembelian, yang memberikan sumber-sumber penghasilan bagi
perorangan otonomi ekonomi. Tuntutan atas keabsahan rumah tangga lesbian dan gay dengan pertanggung jawaban ekonomi
dan keorangtuaan, kini dikenal pada beberapa peraturan perkotaan yang
memberikan hak-hak perumahan, asuransi, dan pekerjaan bagi anggota-anggota
rumah tangga lesbian dan gay.
Kaum
feminis cultural menganjurkan penciptaan suatu keragaman struktur-struktur
keluarga dengan meninjau kembali keluarga-keluarga heteroseksual, memperbnyak
keluarga yang berorang tua tunggal, dan memasukkan keluarga-keluarga
lesbian/gay. Mereka memfokuskan pada proses-proses keluarga egalitarian,
pengasuhan, atau keluarga komunal. Alternative-alternatif tersebut sesuai
dengan apa yang Bernard( 1981) serukan sebagai “mitos-mitos pngendalian”
keluarga, termasuk pembatasan-pembatasan hukum, reproduksi dan produksi yang
dikaitkan pada norma-norma keluarga. Ia menggambarkan perubahan-perubahan historis
dalam ideology kultral “lingkungan keluarga wanita”, dan mengajarkan suatu sub
dunia keluarga wanita yang baru, yang dihuni oleh:
Wanita
energik yang masih muda, yang kewajiban-kewajibannya sebagai ibu menipis, yang
makin bertambah keterlibatannya dalam aktivitas-aktivitas pendidikan, karya
politik, dan sejenisnya, serta makin ditundukkan oleh kesadaran peningkatan
pengalaman-pengalaman dalam suatu perspektif tentang dunia mereka yang boleh
jadi mengorientasikan kembali pandangan mereka terhadap diri sendiri serta
dunia mereka (Bernard, 1981;169)
Ia
kemudian melihat dunia perjandaan dan perceraian sebagai kenyataan-kenyataan
yang makin bertambah sering terjadi pada wanita tersebut.
Para
teoritisi pascamodernis akan menganjurkan untuk menganalisis salah satu dari
(1) kategori-kategori historis dan cultural seperti “keluarga”; atau (2)
konsekuensi-konsekuensi struktur keluarga bagi pengasuhan bayi atau
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang didominasi wanita (Bordo, 1990). Mereka
membantah bahkan menentang metateori dan model-model semacam itu, karna
mengaburkan “kebenaran” atau “kebenaran-kebenaran” yang potensial. Bordo,
sebaliknya, menegaskan bahwa sebagian besar analisis feminis yang kritis dari
kategori-kategori tersebut, baru mulai dikenal karena adanya kritik modernis
sosial: “terlalu cepat untuk membiarkan mereka (institusi-intitusi sosial)
lepas dari kaitannya, melalui heterogenitas dan instabilitas
pascamodern”(Bordo, 1990;153). Ringkasannya, kritik pascamodernis boleh jadi
membawa kita pada penafsiran kembali wawasan teori-teori
mengenai”fungsi-fungsi” keluarga baik dari perspektif konservatif maupun
perspektif radikal. Bagaimanapun, reformasi sikap-sikap patriarkis atau
penolakan pascamodernis terhadap pola-pola cultural, tak mungkin dapat menanggapi
isu-isu mengenai kelangsungan hidup perekonomian keluarga wanita miskin dan
wanita kulit berwarna atau untuk menghadapi pola kekerasan di dalam
struktur-struktur keluarga patriarkis.
D.
Keluarga
Sebagai Institusi Sosial
Keluarga
adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya
berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan
manusia yang Universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam
kehidupan individu. Keluarga dapat digolongkan kedalam kelompok primer, selain
karena para anggotanya saling mengadakan kontak langsung juga karena adanya
keintiman dari para anggotanya.
Seperti
lembaga sosial lain, pranata keluarga adalah suatu sistem norma dan tata cara
yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Beberapa pranata
sosial dasar yang berhubungan dengan keluarga inti adalah sebagai berikut :
1. Pranata
kencan
2. Pranata
peminangan
3. Pranata
pertunangan
4. Pranata
perkawinan[1]
Mengenai
keempat pranat dasar ini tidak semua suku bangsa di dunia ini megenalnya
berbagai pranata seperti disebutkan diataas, melainkan ada yang hanya mengenal
tiga atau dua dari keempat pranata dasar terebut.
Pranata
kencan (dating)
Kencan merupakan
perjanjian sosial yang secara kebeetulan dilakukan oleh dua orang individu yang
berlainan jenis untuk mendapatkan kesenangan. Pada umumnya kencan ini mengawali
suatu perkawinan dalam keluarga. Jadi fungsi kencan yang sebenarnya adalah agar
supaya kedua belah pihak saling kenal-mengenal, selain itu juga member
kesempatan pada kedua belah pihak untuk menyelidiki kepribadian dri mereka
masing-masing sebelum mereka berdua mengikatkan diri pada suatu perkawinan.
Sistem ini tidak diikuti oleh semua keluarga didunia. Pada suatu keluarga yang
menganut sistem perkawinan ditentukan dan diatur oleh anggota-anggota keluarga
yang tua, maka kencan tidak diperlukan atau bhkan dilarang sama sekali sebab
yang menjadi pertimbangan utama dalam keluarga adalah kepentingan kelompok.
Kencan disini tidk ditujukan sampai pada suatu perkawinan.
Pranata
peminangan (courtship)
Kencaan
merupakan langkah pertama dalam rangkaian untuk menetapkan peranan utama
keluarga. Apabila kencan sudah mantab, maka dapat dilanjutkan dengan
peminangan. Jadi, peminangan merupakan kelanjutan dari kencan dan diartikan
sebagai pergaulan yang tertutup dari dua individu yang bertujuan untuk menikah.
Selama taraf peminangan, mereka dapat memperbandingkan dengan teliti
perangainya, kepentinganya dan cita-citanya. Jadi fungsi peminangan adalah
untuk menguji kesejajaran pasangan dalam segala hal seperti yang telah
disebutkan diatas, dan ujian ini diharapkan tidak akan mengancam
perkawinan yang akan datang. Dengan
demikian kata lain fungsi menguji dalam peminangan disini agar kedua belah
pihak dapat berhasil saling menyesuaikan diri sebelum pada perkawinan.
Pranata pertunngan (mate-selection)
Antara
peminangan dan perkawinan dikenal adanya
lembaga pertunangan. Pertunangan dapat diartikan sebagai perkenalan secara
formal antara dua orang individu yang berniat akan menikah dan diumumkan secara
resmi. Jadi, pertunangan merupakan kelanjutan daripada peminangan sebelum
perkawinan. Pada umumnya pranata pertunagan ini lebih dikenal dinegara-negara
eropa dan amerika serikat, sedang dinegara asia biasanya hanya dilakukan
dikalangan tertentu saja.
Pranata
perkawinan (marriage)
Pranata terakhir
yang berhubungan dengan keluarga inti, yaitu perkawinan. Arti sesungguhnya dari
perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban
yang baru, serta pengakuan akan status baru oleh orang lain. Perkawinan
merupakan persatuan dari dua atau lebih individu yang berlainan jenis seks
dengan persetujuan masyarakat.
Secara rinci,
fungsi dasar perkawinan adalah sebagai berikut:
1.
Perkawinan merupakan jalan untuk mengawali
perwujudan dorongan seks dalam masyarakat. Karena tanpa pengawasan dan
pembatasanakan mengakibatkan pertentangan sosial. Misalnya, pergaulan bebas
tanpa adanya ikatan perkawinan akan ditentang oleh masyarakat.
2.
Perkawinan akan menjamin kelangsungan hidup
kelompok. Dengan adanya perkawinan diharapkan untuk dapatnya menghasilkan
keturunan, sehingga akan dapat menjamin kelangsungan hidup kelompok atau
keluarga.
3.
Perkawinan merupakan suatu cara yang istimewa
dimana orang-orang tua dalam masyarakat akan dapat mempertanggungjawabkan atas
anak-anaknya, baik mengenai pemeliharaan, pndidikan dan perlindungan atas semua
keluarganya.
[1]
J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana,2007), hal 227
0 komentar:
Posting Komentar