Jumat, 06 April 2012

Tasawuf



Penentangan Tasawuf Terhadap Syariat Islam
            Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat Lahiriah dan Batiniah. Dalam dimensi kehidupan yang berupa batiniahlah kemudian lahir tasawuf. Kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, yait Al-qur’an, Al-sunnah, dan praktik kehidupan Nabi dan sahabatnya. Al-qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan upaya saling mencintai ( mahabbah) antara manusia dengan Tuhan, perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan kepada Allah, petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada dan keyakinan bahwa Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang di kehendaki-Nya.
            Selanjutnya, Al-qur’an mengingatkan manusia agar tidak di perbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda, dan senantiasa bersikap sabar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
            Sejalan dengan apa yang di bicarakan Al-qur’an, Al-sunnah pun banyak berbocara tentang kehidupan batin dan ruhani. Misalnya teks hadits berikut yang dipahami dengan pendekatan tasawuf :
كُنْتَ كُنْزًا مَخْفِيًّا فَأَ حْبَبْتُ اَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُوْنِىْ.
            “ Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenalku”.
            Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa alam semesta termasuk kita, adalah cermin dan bayangan Tuhan. Dalam konteks ini, Tuhan bisa juga di kenal melalui fenomena alam semesta. Dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat di dayahgunakan untuk mengenal-Nya. Apapun yang ada di alam raya ini pada akhirnya akan kembali kepada-Nya, Simak hadits berikut :
            “ Seorang hamba sebaiknya senantiasa mendekatkan diri kepadaku, dengan amalan-amalan  sunnat sehingga aku mencintainya. Maka apabila mencintainya, maka jadilah aku pendengaranya yang dia pakai untuk mendengar, matanya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dipakai untuk berbicara, dan tangannya yang dipakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha. Maka dengankulah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju, dan berjalan.
            Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan yang dikenal dengan istilah al-fana, yaitu fana-nya makhluk yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai dzat yang di cintai.
            Sejak sebelum diangkat manjadi Nabi, Muhammad telah tampak sosoknya sebagai seorang sufi. Beliau seringkali mengasingkan diri dan bertafakkur du gua hira’ menjelang datangnya wahyu, Muhammad menjauhi pola hidup kebendaan di waktu itu orang arab terbenam, didalamnya orang-orang arab memakai segala cara untuk mendapatkan harta misalnya melakukan praktik perdagangan segala cara untuk mandapatkan harta misalnya melakukan praktik pedagangan yang menipu.
            Selama di gua hira’, Muhammad bertafakkur, beribadah dan hidup sebagai orang zahid. Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tembelan, hanya makan dan minum yang benar-benar halal, dan selalu beribadah keapada  Allah. Melihat pola hidup Rasulullah  yang sederhana dan zahid maka siti Aisyah, istri beliau bertanya “ Mengapa engkau berbuat begini ya Rosulullah?”, Rasul menjawab “ Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi orang yang bersyukur kepada Allah?”.
            Ada beberapa sahabat yang mengikuti praktik tasawuf sebagai yang diamalkan Rasulullah, Ustman bin Affan misalnya, dia banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan membaca Al-qur’an dibaca kemanapun dia pergi.
            Situasi masyarakat arab pada masa itu sebenarnya ikut mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah Islam tersebar kesegala penjuru pemerintahannya kokoh dan masyarakatnya makmur, lalu muncullah pola hidup mewah, glamor, dan berfoya-foya. Dalam keadaan demikian, muncullah sekelompok masyarakat yang melakukan protes dengan cara hidup zahid seperti di perlihatkan oleh Hasan Bisri kepada umat Islam mendapat simpatik dari banyak orang dan timbulah pola hidup tawasuf.
            Salah seorang tokoh ulama besar yang amat menyesalkan gaya hidup bagian besar umat Islam yang mulai memperebutkan harta dunia tanpa mengindahkan batal dan haram adalah seorang ta’biin yaitu Hasan al-Bisri. Sebagai reaksi yang menunjukkan kekecewaan Hasan Bisri terhadap perubahan gaya hidup kaum muslim beliau mengatakan “ Dulu kami menjumpai beberpa kaum dimana terhadap hal-hal yang di halalkan kepada mereka saja lebih zuhud daripada kamu tehadap hal-hal yang diharamkan kepadamu, ungkapan tersebut menunjukkan beberapa jauh perubahan gaya hidup kaum muslimin setelah berkembangnya gaya hidup istana Bani Umaiyah, laksana bumi dan langit. Dari kalangan orang-orang yang mempertahankan sikap hidup zuhud inilah munculnya segolongan unnat Islam yang terpengaruh oleh cita ajaran musrik yang berusaha mencari hubungan langsung untuk bisa bertatap muka secara pribadi dengan Tuhannya.
            Prinsip-prinsip ajaran tasawuf dalam banyak hal memang amat positif dan memancarkan spiritualitas yang hebat yang mendukung jiwa memang amat positif dan memancarkan spritualitas yang hebat yang mendukung jiwa dan akhlak yang mulia. Namun, juga mengandung racun yang menumbuhkan berbagai macam bid’ah yang tidak mungkin di hindarkan.
Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama,  mereka adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut  kelompok formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan  fuqaha.  Kedua,  bahwa  tasawuf  itu   hanyalah   suatu kecenderungan  spiritual  yang  membentuk  etika  moral  dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya  kita  katakan seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama   dalam   kehidupannya   sehari-hari.   Ibnu   Khaldun mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf  adalah  kedisiplinan
beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah  (untuk mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak
diperbudak   harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi  pada kalangan   kaum   muslim  angkatan  pertama.  Pada  angkatan
berikutnya   (abad   2    H)    dan    seterusnya,    secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan  duniawi  menjadi  lebih  berat.   Ketika   itulah angkatan  pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra  “cerita  seribu satu  malam”  dimasa  kejayaan  kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga  mengalami  perkembangan  yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.
 Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan prinsip-prinsip  ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang  sudah  berkembang  selama  tiga abad  -dengan  munculnya  disiplin  ilmu Tasawuf- terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk  penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger news

Blogroll

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal