Penentangan
Tasawuf Terhadap Syariat Islam
Secara
umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat Lahiriah dan Batiniah.
Dalam dimensi kehidupan yang berupa batiniahlah kemudian lahir tasawuf.
Kehidupan tasawuf mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam,
yait Al-qur’an, Al-sunnah, dan praktik kehidupan Nabi dan sahabatnya. Al-qur’an
antara lain berbicara tentang kemungkinan upaya saling mencintai ( mahabbah)
antara manusia dengan Tuhan, perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan
diri dan memohon ampunan kepada Allah, petunjuk bahwa manusia akan senantiasa
bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada dan keyakinan bahwa Tuhan dapat
memberikan cahaya kepada orang yang di kehendaki-Nya.
Selanjutnya,
Al-qur’an mengingatkan manusia agar tidak di perbudak oleh kehidupan dunia dan
harta benda, dan senantiasa bersikap sabar untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Sejalan
dengan apa yang di bicarakan Al-qur’an, Al-sunnah pun banyak berbocara tentang
kehidupan batin dan ruhani. Misalnya teks hadits berikut yang dipahami dengan
pendekatan tasawuf :
كُنْتَ
كُنْزًا مَخْفِيًّا فَأَ حْبَبْتُ اَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى
عَرَفُوْنِىْ.
“
Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenalku”.
Hadits
tersebut memberi petunjuk bahwa alam semesta termasuk kita, adalah cermin dan
bayangan Tuhan. Dalam konteks ini, Tuhan bisa juga di kenal melalui fenomena
alam semesta. Dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat di
dayahgunakan untuk mengenal-Nya. Apapun yang ada di alam raya ini pada akhirnya
akan kembali kepada-Nya, Simak hadits berikut :
“
Seorang hamba sebaiknya senantiasa mendekatkan diri kepadaku, dengan
amalan-amalan sunnat sehingga aku
mencintainya. Maka apabila mencintainya, maka jadilah aku pendengaranya yang
dia pakai untuk mendengar, matanya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya
yang dipakai untuk berbicara, dan tangannya yang dipakai untuk mengepal dan
kakinya yang dia pakai untuk berusaha. Maka dengankulah dia mendengar, melihat,
berbicara, berpikir, meninju, dan berjalan.
Hadits
tersebut memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri
manusia bisa lebur dalam diri Tuhan yang dikenal dengan istilah al-fana, yaitu
fana-nya makhluk yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai dzat yang di cintai.
Sejak
sebelum diangkat manjadi Nabi, Muhammad telah tampak sosoknya sebagai seorang
sufi. Beliau seringkali mengasingkan diri dan bertafakkur du gua hira’
menjelang datangnya wahyu, Muhammad menjauhi pola hidup kebendaan di waktu itu
orang arab terbenam, didalamnya orang-orang arab memakai segala cara untuk
mendapatkan harta misalnya melakukan praktik perdagangan segala cara untuk
mandapatkan harta misalnya melakukan praktik pedagangan yang menipu.
Selama
di gua hira’, Muhammad bertafakkur, beribadah dan hidup sebagai orang zahid.
Beliau hidup sederhana, terkadang mengenakan pakaian tembelan, hanya makan dan
minum yang benar-benar halal, dan selalu beribadah keapada Allah. Melihat pola hidup Rasulullah yang sederhana dan zahid maka siti Aisyah,
istri beliau bertanya “ Mengapa engkau berbuat begini ya Rosulullah?”, Rasul
menjawab “ Apakah engkau tidak ingin agar aku menjadi orang yang bersyukur
kepada Allah?”.
Ada
beberapa sahabat yang mengikuti praktik tasawuf sebagai yang diamalkan
Rasulullah, Ustman bin Affan misalnya, dia banyak menghabiskan waktu untuk
beribadah dan membaca Al-qur’an dibaca kemanapun dia pergi.
Situasi
masyarakat arab pada masa itu sebenarnya ikut mempersubur lahirnya tasawuf. Setelah
Islam tersebar kesegala penjuru pemerintahannya kokoh dan masyarakatnya makmur,
lalu muncullah pola hidup mewah, glamor, dan berfoya-foya. Dalam keadaan
demikian, muncullah sekelompok masyarakat yang melakukan protes dengan cara
hidup zahid seperti di perlihatkan oleh Hasan Bisri kepada umat Islam mendapat
simpatik dari banyak orang dan timbulah pola hidup tawasuf.
Salah
seorang tokoh ulama besar yang amat menyesalkan gaya hidup bagian besar umat
Islam yang mulai memperebutkan harta dunia tanpa mengindahkan batal dan haram
adalah seorang ta’biin yaitu Hasan al-Bisri. Sebagai reaksi yang menunjukkan
kekecewaan Hasan Bisri terhadap perubahan gaya hidup kaum muslim beliau
mengatakan “ Dulu kami menjumpai beberpa kaum dimana terhadap hal-hal yang di
halalkan kepada mereka saja lebih zuhud daripada kamu tehadap hal-hal yang
diharamkan kepadamu, ungkapan tersebut menunjukkan beberapa jauh perubahan gaya
hidup kaum muslimin setelah berkembangnya gaya hidup istana Bani Umaiyah,
laksana bumi dan langit. Dari kalangan orang-orang yang mempertahankan sikap
hidup zuhud inilah munculnya segolongan unnat Islam yang terpengaruh oleh cita
ajaran musrik yang berusaha mencari hubungan langsung untuk bisa bertatap muka
secara pribadi dengan Tuhannya.
Prinsip-prinsip
ajaran tasawuf dalam banyak hal memang amat positif dan memancarkan
spiritualitas yang hebat yang mendukung jiwa memang amat positif dan
memancarkan spritualitas yang hebat yang mendukung jiwa dan akhlak yang mulia.
Namun, juga mengandung racun yang menumbuhkan berbagai macam bid’ah yang tidak
mungkin di hindarkan.
Mengenai kelompok
tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok
spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua
kelompok lainnya yang disebut kelompok formal
dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri
dari ulama-ulama mutakallim
(ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama
muhaddits dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf
itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual
yang membentuk etika moral dan lingkungan sosial
khusus. Sehingga seharusnya kita katakan seorang
muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu pula seorang
mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.
Ajaran
Tasawuf pada dasarnya merupakan
bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak
awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik
diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.
Keadaan
tersebut berkelanjutan hingga mencapai
puncak perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga
abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di
kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat
simak dalam karya sastra “cerita seribu satu malam”
dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan
tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.
Pada tingkat
perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim
dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan
fuqaha dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam
mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah
berkembang selama tiga abad -dengan munculnya
disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran,
yaitu produk penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqiqah.
0 komentar:
Posting Komentar