Selasa, 03 April 2012

Berpikir Filsafat Dalam Hidup


Barangkali mungkin selama ini kita tidak sadar sudah berpikir secara filosifi atau berfilsafat. Seringkali kita ketika dihadapkan dalam suatu masalah, terkadang mencoba untuk menggali dengan mencari solusi. Dari akarnya. Apa, dan bagaimana? Mengapa itu bisa terjadi? Proses mencari jawaban dari permasalahan itu bisa jadi disebut sebagai berpikir filsafat. Filsafat dalam pengertiannya adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan untuk mencari hakikat kebenaran (Jujun Suriasimantri.1979:42)

ketika terjadi suatu proses berpikir dalam diri kita, maka disitulah adanya penalaran secara logis. mencari pengetahuan untuk menentukan kebenaran bukan dengan perasaan.
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak kesemuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga filsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri. Apakah sebernarnya yang kita ketahuai tentang ilmu? Apakah cirri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dengan pengetahuan yang lainnya, yang bukan ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kreteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa kita perlu mempelajari ilmu? Apakah kegunaan yang sebenarnya?
Demikian juga berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui. Apakah ilmu tidak mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya saya ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah ilmu berhenti? Kemanakah saya harus berpaling di batas ketidak tahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? (mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu)
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sendang terngadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi, atau seseorang yang berdiri di puncak tinggi. Memandang ke Ngarai dan lembah dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan alam yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas melihat ilmu hanya sebatas satu sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu yang dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Sering kita melihat ilmuwan picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu social. Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi. Seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral agama dan nilai estetika. Mereka para ahli yang dibawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing. Sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang : lho kok masih ada langit lain diatas tempurung kita. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu. Simpul sokrates ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa?
Kerendahan Socrates ini bukanlah verbalisme yang sekedar basa basi, seorang yang berpikir filsafat selain terngadah ke bintang-bintang juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu bisa disebut benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik, yang awal sekaligus akhir. Lalu bagamana menentukan titik awal yang benar?
Sejak awal terciptanya bumi dan alam semesta ini, tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba tetapi bisa di buktikan secara logis melalui pemikiran filsafat. Penciptaan bumi seisinya sejak dahulu sudah dikaji oleh orang-orang yunani, atas keraguan mereka terhadap alam semesta, mereka tidak puas hanya melihat saja. Melainkan punya keinginan rasa ingin tahu yang tinggi. kenapa alam semesta ini bisa tercipta? Bagaimana proses lahirnya? Berangkat dari latar belakang itu maka mereka mencoba untuk merenung mencari jawaban atas kegelisahan tentang penciptaan alam semesta. Dari situlah muncul teori-teori mengenai penciptaan alam semesta. Adanya tokoh seperti Thales yang mengatakan bahwa alam semesta dan seisinya adalah terbuat dari air (640-546 s.M).  Kemudian anaksimandros dia berbeda pendapat bahwa alam semesta ini  terbuat dari api. Tak lama kemudian muncullah tokoh-tokoh filsafat lainnya seperti Ariestoteles (382-322 s.M) Tokoh pelopor logika dan juga seorang ilmuan yang menelaah biologi, psikologi dan ilmu politik. Pytagoras (572-497 s.M) seorang filosof ahli matematika Yunani kuno dan pendiri mazhab filsafat Pytagorreasnisme yang mengajarkan bahwa bilangan merupakan subtansi dari semu benda. Ia menganggap dirinya hanya seorang pencinta keaarifan atau philosophos. Plato (428-348 s.M) seorang filsuf besar yunani kuno mengembangkan filsafat spekulatif mengenai dunia ide yang sempurna dan abadi. Baginya filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif terhadap pandangan kebenaran yang menyeluruh.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger news

Blogroll

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal