Jumat, 06 April 2012

PENDIDIKAN KELUARGA BERBASIS GENDER DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT



BAB II
KAJIAN TEORI

A.     Pendidikan Dalam Keluarga
1.      Pengertian Pendidikan
Istilah Pendidikan berasal dari kata "didik" dengan memberinya awalan "pe" dan akhiran "kan", mengandung arti "perbuatan" (hal, cara dan sebagainya).[1] Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Paedagogie", yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris "Education" yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan "Tarbiyah" yang berarti pendidikan.[2]
Menurut M. Ngalim Purwanto pengertian pendidikan adalah pimpinan yang diberikan secara sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani), agar berguna bagi dirinya dan masyarakat.[3]
Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pengertian pendidikan adalah "Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama".[4]
Sedangkan menurut Drs. Amir Daien Indra Kusuma pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa.[5]
Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[6] Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak  untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
2.      Pengertian Keluarga
Menurut para sosiolog keluarga secara umum adalah sebuah ikatan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka, juga termasuk kakek nenek juga cucu-cucu dan beberapa kerabat lainnya yang tinggal di rumah yang sama. Sedangkan keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya. [7]
Keluarga bertanggung jawab mendidik anak-anak dengan benar dalam kreteria yang benar, jauh dari penyimpangan. Terdapat tugas dan kewajiban dari keluarga.
Pertama, Keluarga bertanggung jawab mnyelamatkan foktor-foktor ketenangan, cinta kasih serta kedamaina dalam rumah dan menghilangkan segala macam keresahan, kebencian serta organisme. Kedua,                                           Keluarga harus mengawasi proses-proses pendidikan. [8]
Adapun mengenai fungsi dari keluarga sebagai berikut :
1.       Keluarga berkewajiban memberi dan memuaskan kebutuhan jiwa raga anak-anak dalam kehidupannya.
2.       Keluarga bertanggungjawab melatih anak-anak untuk berkumpul dan mengindentifikasi nilai-nilai serta kebiasaan masyarakat.
3.       Keluarga bertanggung jawab melengkapi anak-anak dengan berbagai sarana komposisi personal dalam masyarakat.
4.       Keluarga bertanggungjawab menjamin ketenangan, perlindunganm serta simpati pada anak-anak sampai mereka dewasa.
5.       Keluarga harus memberikan porsi yang besar pada pendidikan akhlak, emosi, serta agama  anak di sepanjang usia berbeda-beda.[9]
3.      Pendidikan Dalam Keluarga
Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketrampilan, cerdas, pandai dan beriman. Dalam taraf yang sederhana, orang tua tidak ingin anaknya  lemah, sakit-sakitan, menganggur, bodoh dan nakal. Pada tingkat yang paling sederhana orang tua tidak menghendaki anaknya nakal dan menganggur. Dan terakhir pada taraf paling minimal ialah jangan nakal. Kenakalan akan menyebabkan orang tua mendapat malu dan kesulitan.
Untuk mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati ; artinya orang tua tidak dapat berbuat lain mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga. Mengapa? Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus menjadi penanggung jawab pertama dan utama. kaedah ini diakui oleh semua agama dan semua sistem nilai yang dikenal manusia. Sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam keluarga. Pengetahuan itu sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun bagi orang tua dalan menjalankan tugasnya.[10]
Tujuan pendidikan dalam keluarga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya yaitu jasmani, akal, dan rohani. Tujuan lain ialah membantu sekolah atau lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak didiknya.[11]
Mengingat pentingnya keluarga yang demikian itu, maka Islam memandang keluarga adalah lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka dan bahagianya anggota keluarga tersebut baik di dunia maupun akhirat.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Dan amanah itu wajib dipertanggung jawabkan. Secara umum tanggung jawab itu adalah kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dalam keluarga, secara mendasar terpikul oleh orang.
Tanggung jawab tersebut, baik diakui secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hati atau tidak, namun hal itu merupakan fitrah yang telah ditentukan oleh Allah SWT kepada setiap orang tua.
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama. Di dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan didikan dan bimbingan, karena sebagian besar pendidikannya pun banyak diterima dari lingkungan keluarga. Sehingga pendidikannya pun banyak diterima dari lingkungan keluarga tersebut.
Hal yang demikian adalah wajar, karena keluarga khususnya orang tua adalah orang yang paling dekat dan paling bersahabat, bahkan semenjak anak masih ada dalam kandungan mereka sudah menjalin kasih sayang secara batin yang merupakan landasan utama dalam proses pendidikan.
Kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang sebagai penanaman nilai-nilai yang kelak mewarnai perkembangan hidup selanjutnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan kunci bagi pendidikan secara keseluruhan.[12]
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting terutanma pendidikan Islam, yang mutlak harus dilakukan oleh kedua orang tuanya sejak dini sampai dewasa.
Lebih-lebih kalau kita ingat, bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama, bahkan juga berfungsi sebagai peletak dasar pembentukan pribadi anak.
Mengingat pentingnya peraanan orang tua dalam pendidikan keluarga, di mana semua pengetahuan dan pengalaman yang diterimanya (oleh anak) baik melalui penglihatan, pendengaran, ataupun tingkah laku yang berasal dari orang tua akan mempengaruhi dan mewarnai terhadap pembentukan pribadi anak, maka setiap kata, sikap dan tingkah laku orang tua merupakan cermin si anak dan akan mewarnai kahidupannya.
Demikian pula dengan Bias Gender yang ada dalam keluarga ataupun masyarakat secara luas akan sangat berdampak bagi psikologis anak dalam kehidupannya di masa yang akan datang.
Dengan demikian untuk keberhasilan pendidikan dalam keluarga harus didukung oleh suasana yang kondusif dari keluarga atau orang tua itu sendiri, serta lingkungan dan teman pergaulan anak.

4.       Kewajiban Orangtua dalam Memberikan Pendidikan dan Keteladanan Kepada Anak-anaknya
  1. Kewajiban Orangtua dalam Memberikan Pendidikan
Terbentuknya keluarga dengan sendirinya timbul karena adanya kewajiban untuk memelihara kehidupan bersama dalam keluarga. Orang tua (ayah ibu) adalah sumber pertama dan utama yang harus memberikan pendidikan kepada anak. Kehidupan dan nasib seorang anak sangat bergantung pada pendidikan dan pemeliharaan orang tua.
Setiap anak memang terlahir dari rahim seorang ibu, tetapi itu bukan berarti bahwa hanya ibunya yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap segala hal yang menyangkut pengasuhan anak. Di pundak ayah, memang letak kewajiban memenuhi kebutuhan materialnya, tetapi bukan berarti menjadikannya lepas tanggungjawab untuk mendidik anaknya. Dalam hal ini rosullullah SAW juga menegaskan bahwa kedua orang tualah yang sangat berperan "mewarnai" jiwa anak:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَ الفِطْرَة فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya : "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, atau Nasrani ataupun Majusi "(H.R Ahmad, Thabranai dan Al-Baihaqi)[13]
             Kedua orang tua memiliki andil untuk mendidik dan merawat anak-anaknya, karena keduanya sama-sama memiliki andil dalam menghadirkan keberadaan anak di dunia. Dan keduanyalah yang memberikan pengaruh yang kuat terhadapnya. Allah SWT juga telah memerintahkan dua orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dan mengembangkan tanggungjawab kepada mereka. Allah SWT berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارَا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, sedang para penjaganya adalah malaikat yang kasar an keras, serta tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperntahkan." (Q.S: at-Tahrim:6)[14]
Dari firman Allah dan Sabda Rosullullah diatas jelas sekali bahwa yang bertanggungjawab dalam pendidikan anak dalam keluarga adalah orang tua (ayah dan ibu). Diakui secara sadar atau diterima dengan sepenuh hati atau tidak, hal itu adalah merupakan "Fitrah" yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggungjawab itu karena merupakan amanah Allah SWT yang dibebankan kepada mereka.[15]
Kewajiban bagi keluarga dalam hal ini kedua orang tua adalah menyelenggarakan dan melaksanakan pendidikan kearah kedewasaan anak. Seperti yang telah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan yang baik bagi pendidikan sosial. Beliau mengatakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sempurna bagi pendidikan kecerdasan dan budi pekerti ketimbang pendidikan-pendidikan yang lain (selain keluarga).[16]
Orang tua merupakan pendidik pemula bagi persoalan yang menyangkut diri anak dan juga tempat mengadu segala persoalannya. Pendidikan oleh orang tua berlangsung relatif panjang. Oleh karena itu, mereka sangat menentukan kepribadian anak.
Tanggungjawab orang tua pada pendidikan anak berlangsung sejak anak masih dalam kandungan hingga tumbuh menjadi dewasa dan mampu mengembangkan diri pribadinya. Tanggung jawab tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu aspek moral, aspek intelektual dan aspek sosial.
  1. Kewajiban Orangtua dalam Memberikan Keteladanan Kepada Anak-anaknya
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Orang tua yang berprofesi sebagai pencuri, penjahat, pelacur, koruptor ataupun profesi jelek yang lain, pasti tidak memiliki keinginan anaknya menjalani profesi yang serupa. Akan tetapi pasti menginginkan anaknya akan menjadi orang yang lebih baik dari dirinya.
Mendidik anak seharusnya merupakan wahana orang tua untuk konsisten terhadap apa yang dikatakannya. Satukanlah kata dengan perbuatan. Orang tua tidak bisa menyuruh dan terus menegaskan kepada anak-anaknya sementara dirinya hanya sesekali menjalankannya. Sebagai orang tua harus memperbaiki dirinya terlebih dahulu.
Antara seorang Ayah dan Ibu  harus seiring sejalan dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya. Bila salah satu diantaranya belum konsisten terhadap suatu ajakan kebaikan, maka sudah menjadi keharusan salah satunya untuk berusaha memperbaiki diri pasangannya, agar seiring sejalan.
Orang tua harus menanamkan nilai-nilai aqidah dan akhlaq yang benar untuk anak-anaknya dengan memberi contoh nyata dalam perilaku. Rumah dengan segala aktivitas orang tua harus merupakan cermin bagi anak-anaknya. Rumah yang penuh kasih sayang, cinta antara sesama anggota, saling menghormati dan menghargai antara yang tua dan yang muda akan menegakkan keharmonisan dalam rumah tangga, serta menjadi tonggak keberhasilan dalam mendidik anak-anak. Seorang Ibu yang memberi tauladan dengan memberikan kasih sayang dan curahan perhatian kepada anak-anaknya, menghormati sang ayah, akan ditiru oleh putra-putrinya. Seorang ayah yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, tidak meremehkan ibu dan anak-anaknya, bahkan sangat menghargai mereka akan menimbulkan sikap senada yang terpatri dalam diri anak.
B.  Gender dalam Keluarga
1.       Pengertian Gender
Sebenarnya untuk memahami gender, perlu di bedakan antara gender dan seks. Istilah gender berasal dari bahasa Inggris Gen, kemudian di transfer ke dalam bahasa Indonesia menjadi gender. Menurut Faqih[17] seks adalah jenis kelamin, sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari sisi biologis, keduanya tidak dapat dipertukarkan, artinya jenis kelamin itu melekat secara kodrati dan memiliki fungsi tersendiri. Misalnya bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi serta rahim, memiliki vagina dan memiliki alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis kelamin perempuan maupun laki-laki selamanya. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruk secara sosial, karena pengaruh kultural, agama dan politik. Sifat ini tidak bersifat kodrati melekat pada jenis kelamin tertentu, tetapi sifat itu bisa dipertukarkan.
Perbedaan sifat gender itu bisa berubah sewaktu-waktu  dan bersifat kondisional. Misalnya anggapan laki-laki rasional dan perempuan emosional, laki-laki kuat dan perempuan lemah, laki-laki perkasa dan perempuan lemah lembut. Sifat-sifat itu bisa berubah dan tidak melekat secara permanen. Pada masa tertentu dan tidak sedikit laki-laki lemah lembut, emosional, sedangkan ada perempuan perkasa dan rasional. Misalnya dalam masyarakat matriarkhal tidak sedikit perempuan yang lebih kuat dengan laki-laki dengan keterlibatan mereka dalam peperangan.
Dalam menjernihkan perbedaan antara seks dan gender ini, yang menjadi masalah adalah, terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai "kodrat wanita" adalah konstruksi sosial dan kultural atau gender. Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai "kodrat wanita". Padahal kenyataannya, bahwa kaum perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal, apa yang sering disebut "kodrat wanita" atau "takdir Tuhan atas wanita" dalam kasus mendidik anak dan mengatur kebersihan rumah tangga, sesungguhnya adalah gender.
Sifat gender yang terkonstruk, tersosialisasi cukup lama ini akan membentuk watak dan perilaku  sesuai dengan yang dikonstruk masyarakat, maka akan menimbulkan peran-peran domestik; sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur, dan laki-laki diberi kebebasan untuk masuk di wilayah publik. Dari sinilah muncul ketidakadilan gender, karena diakibatkan pembagian peran yang tidak adil, sehingga muncul diskriminasi, stereotype tertentu pada pihak perempuan.[18]
Justru kondisi yang lebih parah adalah ketika perempuan membentuk visi, pandangan akan dirinya seperti itulah sebenarnya peran dan tugas perempuan sesuai dengan konstruk sosial yang harus diterima sepanjang zaman, padahal sifat gender itu bisa ditukarkan sesuai dengan keinginan masing-masing individu, baik laki-laki maupun perempuan.
Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikonstruksi atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.

2.       Perbedaan dan Ketidakadilan Gender
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara[19]. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya mengkristal menjadi dogma yang dianggap ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.
Perbedaan gender (gender differences) ternyata memunculkan perbedaan peran gender (gender roles) yang akhirnya melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Identifikasi bahwa laki-laki itu kuat dan rasional telah menimbulkan kesan bahwa dia lebih cocok untuk bekerja di luar rumah, pantas untuk memimpin dan lain-lain. Sebaliknya pandangan bahwa perempuan itu lemah lembut atau sabar telah memunculkan anggapan bahwa perempuan cocok untuk tinggal di rumah mengurus anak-anak dan rumah tangga. Inilah sumber yang diduga menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan.[20]
Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum kali-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh pada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis[21].
Dalam perspektif budaya, setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya : laki-laki atau perempuan. Sejak lahir setiap orang sudah ditentukan peran dan atribut gendernya masing-masing. Jika seorang lahir sebagai laki-laki maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya, jika seseorang lahir sebagi perempuan maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai perempuan[22].
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun kenyataannya, perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi orang perempuan. Sehingga ada hak-hak bagi orang perempuan yang seharusnya bisa diterima menjadi tidak terpenuhi. Baik hak untuk berperan di dalam berpolitik, hak-hak dalam bidang pekerjaan serta hak dan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan.[23]

3.       Pandangan Agama tentang kedudukan Laki-laki dan Perempuan
Agama merupakan pandangan hidup yang paling fundamental bagi manusia. Ia memiliki pengaruh fungsional terhadap struktur sosial masyarakat. Bahkan oleh pemeluknya, ajaran agama ditafsirkan sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Termasuk salah satunya adalah struktur sosial yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan[24].
Dalam membahas pengaruh agama terhadap anggota masyarakat yang mendukungnya, perlu dibedakan – paling tidak secara analitis – antara dalil-dalil atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya dengan penginterpretasian dan penerapannya. Nilai-nilai keagamaan atau dalil-dalil yang terkodifikasi dalam kitab suci bisa memberi peluang bagi penginterpretasian yang berbeda-beda.
Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa peran agama juga turut serta melanggengkan hegemoni ini, dengan pola teks-teks tafsir yang didukung oleh kekuatan legitimasi theologis (pembenaran ajaran agama) sebagai representasi ajaran Tuhan, sehingga dapat dipastikan bahwa teks-teks tafsir yang muncul dari tradisi dan budaya masyarakat yang patriarkhi, kemudian menjadi dogma yang dianut dan dipelihara oleh masyarakat secara turun menurun. Sehingga pada gilirannya sepanjang perjalanan sejarah kemanusiaan perempuan hanya menjadi obyek yang terdiskriminasikan bahkan tereksploitasi, baik secara sosial, budaya, politik maupun ekonomi[25].
Menurut sebagian besar tradisi agama dunia, perempuan diberi peran sekunder dan subordinat. Tetapi dalam tiga dasawarsa terakhir sebagian besar tradisi agama menarik sarjana feminis yang berpendapat bahwa bukan teks agama yang menjadi sebab masalah melainkan penafsirannya. Kaum feminis Kristen, Yahudi dan Islam meneliti kembali ayat suci mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa agamanya menawarkan kemungkinan pembebasan dan perbaikan dalam posisi perempuan. Tetapi tradisi dan sejarah telah menumbangkan potensi ini dan menggunakan agama untuk menekan perempuan[26].
Dengan datangnya Islam, posisi perempuan secara radikal terdifinisikan kembali. Islam melarang praktek penguburan bayi wanita dan memperbaiki hak-hak kelahiran wanita[27]
Keadilan menurut Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara sah, yang jika dilihat dari sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karena itu, siapapun yang lebih banyak melakukan kewajiban atau yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak dibanding yang lain. Sementara ini, banyak anggapan bahwa beban suami atau beban produksi untuk mencari nafkah lebih berat dari beban istri (beban reproduksi: mengandung, melahirkan dan menyusui). Oleh karena tidak ada yang dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.
Dalam surat al-Isra' ayat 70 dinyatakan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنِ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَتَقْنَا تَفْضِيْلاً.
Artinya : "Dan sesungguhnya telah Kami mulyakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan dan dilautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan".[28]

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kata Bani (anak-anak) Adam Mencakup Pria dan wanita, keduanya sama-sama dimulyakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin; keduanya sama-sama memiliki hak dan kewajibannya.
Dalam hal ini Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam dengan tegas menyatakan bahwa kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan, perempuan memiliki hak atas kaum laki-laki. Sebagaimana perempuan memiliki kewajiban terhadap laki-laki, laki-lakipun memiliki kewajiban terhadap perempuan[29]. Karena itu, Islam mengangkat mereka ke status yang layak sebagai manusia yang bermartabat sebagaimana laki-laki. Untuk selanjutnya laki-laki dan wanita dipandang sejajar dari segi kemanusiaannya. Alqur'an menyatakan:
يَآايُّهَا الناَّسُ اِنَّاخَلَقْناَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
(القرآن:الحجرات 13)
Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13 )[30]
Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Hamim[31]. Menurutnya, prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki ini dapat dilihat, misalnya, dalam tradisi sufi yang mengajarkan bahwa derajat al-insan al- kamil (manusia sempurna) tidak menjadi wilayah kaum laki-laki saja, karena perempuan juga memiliki kapasitas untuk mengakses derajat tersebut.
Dengan demikian menurut Engineer[32], tidak diragukan lagi bahwa ada dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur'an. Ada berbagai alasan untuk ini. Pertama, Al-Qur'an memberikan tempat yang sangat tinggi terhadap seluruh manusia yang mencakup laki-laki dan perempuan. Kedua, sebagai masalah norma, Al-Qur'an membela prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak berarti ketidaksetaraan dalam status jenis kelamin. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial.
Yanggo[33] menjelaskan persamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki menurut Al-Qur'an antara lain:
1)      Dari segi pengabdian. Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam pengabdian.perbedaan yang jadi ukurannya hanyalah ketaqwaannya.
2)      Dari segi status kejadian. Al-Qur'an menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dalam derajat yang sama.
3)      Dari segi mendapat godaan. Di dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa godaan dan rayuan iblis berlaku bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana halnya Adam dan Hawa'.
4)      Dari segi kemanusiaan. Al-Qur'an menolak pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
5)      Dari segi pemilikan dan pengurusan harta. Al-Qur'an menghapuskan semua tradisi yang diberlakukan atas perempuan berupa larangan atau pembatasan hak untuk membelanjakan harta yang mereka miliki.
6)      Dari segi warisan. Al-Qur'an memberikan hak waris kepada laki-laki dan perempuan.
7)      Persamaan hukum tentang perceraian.
Dalam hal kepemimpinan, Al-Qur'an menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Salah satu kisah yang sangat terkenal dalam Al-Qur'an adalah tentang seorang ratu (Al-Qur'an, an- Naml : ayat 22-23) yang digambarkan sebagai seorang perempuan yang menggunakan kekuasaan dengan sebaik-baiknya untuk membimbing rakyatnya agar patuh pada nabi Sulaiman. Ia adalah Ratu Saba', yang menjadi model peranan amat positif dari seorang perempuan yang menjadi kepala negara[34].
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقاَلَ اَحَطْتُ بِماَلَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ بِنَبَاٍ يَقِيْنٍ (22) اِنّىِ وَجَدْتُ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَئٍْ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ (23) (القرأن: النمل 22-23)
Artinya : "Maka tidak lama  kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahui dan kubawa kepadamu dari negeri Saba' suatu berita penting yang diyakini"(22). Sesungguhnya aku  menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar(23).(An-Naml 22-23 )[35]
Sejarah kepemimpinan Aisyah – istri Nabi Muhammad SAW – dalam dunia politik ikut memperkuat maksud dibalik cerita tentang Ratu saba' di atas. Puncak kepemimpinan Aisyah adalah ketika dalam perang jamal beliau memimpin sendiri pasukannya melawan Ali bin Abi Tholib, yang tiada lain adalah menantunya sendiri. Meskipun pada akhirnya ia dan pasukannya dikalahkan, tetapi ia berhasil menunjukkan pada umat bahwa seorang perempuan bisa menjadi pemimpin masyarakat.
Perempuan yang bekerja, baik dalam lapangan ekonomi maupun sosial – seperti halnya laki-laki – menurut ajaran Islam, sebenarnya tidakalah menjadi masalah. Dalam Al-Qur'an, Hadits, maupun Fiqh – yang merupakan sumber ajaran Islam – tidak satupun ada penjelasan yang menafikan kerja dan profesi perempuan dalam segala sektor kehidupan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial[36].
Peluang perempuan dalam mendapat pendidikan,  terlalu banyak ayat al Qur'an dan hadits Nabi Saw. Yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari al Qur'an adalah perintah membaca atau belajar
إِقْْرَأْ بِاسْـمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ......
Artinya : "Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakanmu …………… "(Q.S. Al 'Alaq, 1)[37]
Kesitimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki penegahuan . (Q.S. 2 : 31-34). Baik laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْـلِمٍ وَ الْمُسْـلِمَةٍ (الحديث)
Artinya : "menuntut ilmu itu wajib bagi muslim dan muslimah".
Para perempuan di zaman Rasul menyadari betul kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Rasul Saw. Agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan tersebut tentu dikabulkan oleh Rasul SAW.
Al Qur'an memberikan pujian kepada para Ulul Al Albab (intelektual) yang selalu berdzikir dan berfikir sekaligus memikirkan tentang telah diciptakannya langit dan bumi, pergantiannya siang dan malam, perputarannya matahari dan rembulan yang selalu aktif dan hanyalah Allah SWT. Yang Maha Pencipta. Dzikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan.
Mereka yang disebut Ulul Al Albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang Ulul Al Albab yang dikemukakan diatas setelah Al Qur'an menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskan bahwa :
فََاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لآَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَمِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى....
Artinya : "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kaum lelaki maupun perempuan…" (Q.S. 3:195)[38]
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berfikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari dzikir kepada Allah Swt. serta apa yang mereka ketahui dari alam ini . pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebeas untuk mempelajarti apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing.[39]
Dalam kehidupan berkeluarga, tidak ada satupun penjelasan dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa status laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Seorang suami tidak lebih dominan dibanding istri. Demikian juga anak laki-laki tidak lebih utama dari anak perempuan. Memang ada sebuah penjelasan dalam Al-Qur'an tentang hubungan suami-istri yang tertulis pada surat an-Nisa' ayat 34, yang sebetulnya penuh dengan berbagai penafsiran.
Ayat yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah "pemimpin" bagi perempuan (istri) ini adalah bersifat kontekstual, dan bukan normatif [40]. Artinya, ayat ini diturunkan berkaitan dengan konteks masyarakat pada saat itu. Kondisi masyarakat saat itu sangat diwarnai oleh budaya patriarkhi. Bila dipahami lebih jauh, ayat tersebut menggambarkan bahwa waktu itu laki-laki (suami) menjadi pemimpin bagi perempuan (istri) disebabkan kelebihan yang dimiliki laki-laki dan karena laki-laki yang memberi nafkah pada perempuan. Ayat tersebut tidak berlaku secara normatif, dalam arti untuk semua tempat dan waktu.
Segala hal yang berkaitan dengan kehidupan berkeluarga adalah tanggung jawab suami-istri secara bersama-sama untuk mengaturnya. Subhan[41] menggambarkan, hidup berkeluarga itu ibarat seekor burung yang sedang terbang dengan kedua sayapnya. Kedua sayap itu bagaikan suami-istri. Bila salah satu sayap itu tidak berfungsi maka burung itu tidak bisa terbang. Demikian juga keluarga.
Kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga menurut Al-Qur'an adalah sama. Bahkan semua laki-laki dan perempuan ditingkat manapun tidak berbeda. Menurut Umar[42] ada beberapa variaber yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur'an. Variaber tersebut adalah :
1)      Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah.
2)      Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah (penguasa) di bumi.
3)      Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dengan Tuhannya.
4)      Adam (sebagai simbol laki-laki) dan Hawa (sebagai simbol perempuan) terlibat secara aktif dalam dramis kosmis.
5)      Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
Dengan demikian, Al-Qur'an yang merupakan kitab suci pemeluk agama Islam, sebenarnya menganugerahkan status yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengertian normatif, namun juga mengakui superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Namun para teolog yang menafsirkan ajaran Al-Qur'an tersebut telah mengabaikan konteks sosial yang dimaksud, sehingga menjadikan laki-laki sebagai makhluk superior. Pemahaman seperti ini kemudian mewarnai berbagai penafsiran terhadap ajaran yang terkait dengan hubungan laki-laki dan perempuan dalam kitab suci tersebut[43]. 
Dengan bahasa yang berbeda, Engineer mengungkapkan bahwa kitab suci Al-Qur'an itu bersifat normatif sekaligus pragmatis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman sekarang. Ajaran-ajaran yang demikian seharusnya tidak diperlakukan sebagai ajaran yang normatif. Ajaran ini harus dilihat dalam konteks di mana ajaran tersebut harus diterapkan[44].
Jika demikian, menurut Rahmat [45], pemahaman keagamaan yang ada selama ini memberikan andil yang tidak kecil terhadap pelanggaran ide normatif Islam itu sendiri. Oleh karena itu jelas diperlukan kerendahan hati untuk mencermati ulang penafsiran yang dirasakan tidak mampu menjaga hak-hak kaum perempuan.
Pendapat tersebut didukung pula oleh Faqih [46]. Baginya, diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Maka diperlukan suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi, investigasi, analisis sosial, pendidikan, serta aksi untuk membahas issu perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki.

4.       Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Gender
  1. Keluarga awal kesetaraan lelaki dan perempuan
Mengungkap kesetaraan dalam keluarga adalah bermula untuk menghadapi berbagai aspek, termasuk Demokrasi, Sosial Kemasyarakatan, sekaligus membentuk kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan bermula dari keluarga, mungkin pendapat ini baru kita dengar, akan tetapi bisa untuk penganalisaan lebih cermat bahwa segala sesuatunya dimulai dari keluarga. Keluarga yang membentuk segala-galanya sebagai awal dari kepribadian. Maka dari itu harus menjadi perhatian kita untuk membina keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah seorang Bapak, Ibu dan anak. Banyak orang berpendapat bahwa keluarga sangat tergantung pada Bapak/Suami. Memang kita menerima seutuhnya apa yang tertera dalam Al Qur'an, Allah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَي النِّسَـاء ........
Artinya : "Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seorang perempuan ……" (Q.S. 4 : 34)[47]
Pemimpin yang dimaksud bukan penguasa yang kaku dan tabu, pemimpin yang dimaksud adalah untuk menjadi acuan pokok dalam pembinaan meterial maupun spiritual sekaligus akhlaq.
Seringkali kita lihat apa yang terjadi dalam lingkup keluarga sangat memusatkan segalanya terhadap seorang bapak yang pada akhirnya ada suatu kebanggaan tersendiri mempunyai seorang anak laki-laki.
Mengenai makna anak perempuan dan laki-laki dapat dilihat pengaruh nilai-nilai budaya tentang gender, apakah yang terwujud adalah sistem patriarkal atau tidak, namun banyak terkait pada nilai itu. Dalam masyarakat yang sistem kekerabatannya patrilineal, sering dapat diamati adanya rumusan yang eksplisit memberi penilian yang lebih positif pada anak laki-laki dibandingkan anak perempaun.
Dengan peran laki-laki sebagai pemimpin adalam rumah tangga dan peran perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui (keistimewaan kodrati), maka atas dasar keistimewaan kodrati tersebut, Islam mewajibkan laki-laki sebagai suami untuk memnuhi kewajiban istri dan anak-anaknya. Tetapi ini bukan berarti perempuan sebagai istri tidak berkewajiban secara moral membantu suami mencari nafkah.
Islam menggariskan prinsip kesejajaran dan kenitraan atas dasar musyawarah dan tolong menolong serta disesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga. Jadi prinsip kemitraan harus dicontohkan dalam kehidupan suami istri. Tidaklah aib atau terlarang dalam pandangan agama, seorang perempuan/ istri melakukan suatu pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Dan atas dasar itu pula tidak dapat dinilai kecuali terpuji seorang suami yang membantu istrinya dalam urusan rumah tangga.[48]
Keluarga adalah salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses-proses naturalisasi sosial, membentuk kepribadian-kepribadian, serta memberi berbagai kebiasaan baik pada anak-anak yang terus bertahan selamanya. Dengan kata lain, keluarga merupakan benih awal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Dalam banyak kasus, anak-anak mengikuti orang tua dalam berbagai kebiasaan dan prilaku. Jadi orang tua sangat diperluakan peran aktifnya dalam mendidik anak-anaknya[49].
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan pembimbingan. Dan dikatakan sebagai lingkungan yang utama karena sebagian besar kehidupan anak berada dalam lingkungan keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dari keluarga.
Samsul Nizar mengatakan bahwa keluarga (lingkungan rumah tangga), pada umumnya merupakan lembaga pertama dan utama dibenak anak. Hal ini disebabkan, karena kedua orang tuanyalah orang yang pertama dikenal dan diterimanya pendidikan, bimbingan, perhatian dan kasih sayang yang terjalin antara kedua orang tua dengan anak-anaknya, merupakan basis yang sangat ampuh bagi pertumbuhan dan perkembangan psikis serta nilai-nilai sosial dan religius pada diri anak didik[50].
Zakiah Darajad mengatakan, pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan ini terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak didik[51].
Secara sosiologis keluarga merupakan bagian dari masyarakat, dalam hal ini peran keluarga sangat penting terutama dalam pembentukan perkembangan diri anak, khususnya orang tua mempunyai pengaruh yang sangat besar di mana ia berperan sebagai pendidik pertama dan utama. Untuk itu diharapkan orang tua harus mampu mendidik anak-anaknya, dan keberhasilan anak dalam masa depannya tergantung dari bagaimana cara orang tua memberikan pendidikan.
Keluarga adalah sebagai persekutuan hidup terkecil dari masyarakat dan negara luas. Pangkal ketentraman dan kedamaian hidup adalah terletak dalam keluarga.[52]
Keluarga merupakan salah satu pendidik yang memiliki arti penting bagi proses pendidikan anak. Makna tersebut yaitu:
a.       Keluarga merupakan wadah pertama dan utama, anak diukir kepribadiannya, menemukan "aku" nya, mengenal kata-kata, tata nilai dan norma kehidupan, berkomunikasi dengan orang lain dan sebagainya, yang kesemuanya dimulai dari keluarga.
b.       Dalam keluarga terdapat hubungan emosional yang kuat dan erat antar anggota keluarga, pendidikan berlangsung sepanjang waktu dan merupakan peletak pondasi pertama dalam membentuk kepribadian anak[53].
Mengingat pentingnya keluarga yang demikian itu, maka Islam memandang keluarga bukan hanya persekutuan terkecil saja, tetapi lebih dari itu sebagai lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka dan bahagianya anggota keluarga tersebut baik di dunia maupun akherat.
Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah. Dan amanah itu wajib di pertanggungjawabkan. Secara umum tanggung jawab itu adalah kewajiban orang tua untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya dalam keluarga.
Peran keluarga bagi anak sangatlah besar, dan orang tua punya tanggung jawab untuk menuntun dan mengembangkan pribadi serta rasa kemasyarakatan yang ada pada diri anak, seperti melakukan komunikasi dan bergaul. Harmonisasi hubungan keluarga perlu dijaga agar anak merasa tentram dan damai dalam keluarga tersebut. Sebaliknya, jika terjadi disharmonisasi dalam keluarga, maka akan mempengaruhi jiwa anak dan menimbulkan keresahan batinnya.[54] Sedangkan untuk menciptakan suasana yang baik adalah dengan menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menghargai, saling mempercayai dan saling menyayangi diantara seluruh anggota keluarga. Dengan demikian akan dapat dihindarkan dari berbagai masalah-masalah negatif yang akan mengganggu ketentraman keluarga tersebut.[55]
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama. Di dalam keluarga inilah pertama kali anak mendapatkan didikan dan bimbingan, karena sebagian besar pendidikannya banyak diterima dari lingkungan keluarga. Sehingga pendidikannya pun banyak diterima dari lingkungan keluarga tersebut.
Hal yang demikian adalah wajar, karena keluarga khususnya orang tua adalah orang yang paling dekat dan paling bersahabat, bahkan semenjak anak masih ada dalam kandungan mereka sudah menjalin kasih sayang secara batin yang merupakan landasan utama dalam proses pendidikan.
Kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang sebagai penanaman nilai-nilai yang kelak mewarnai perkembangan hidup selanjutnya. Bahkan dapat di katakan bahwa pendidikan agama dalam keluarga merupakan kunci bagi pendidikan secara keseluruhan.[56]
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting karena dalam keluargalah pendidikan dasar kepribadian akan dapat ditanamkan. Dan disini peran serta orang tua sangatlah dibutuhkan.
Mengingat pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan keluarga, dimana semua pengetahuan dan pengalaman yang diterimanya (oleh anak) baik melalui penglihatan, pendengaran, ataupun tingkah laku yang berasal dari orang tua akan mempengaruhi dan mewarnai terhadap pembentukan pribadi anak, maka setiap kata, sikap dan tingkah laku orang tua merupakan cermin si anak dan akan mewarnai kahidupannya.
Demikian pula dalam penamanan kesetaraan gender dalam keluarga, orang tua adalah faktor terpenting yang dapat mempengaruhi pola pikir anak yang nantinya akan ia kembangkan dimasa-masa yang akan datang.
Dalam pendidikan gender, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya, karena apabila dalam satu keluarga tersebut terjadi bias gender maka hal ini akan sangat berpengaruh pada pola pikir anak-anaknya dimasa yang akan datang.
Ketidakadilan gender dalam keluarga sering kali termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah marginalisasi (peminggiran) perempuan, subordinasi (penomorduaan) perempuan, stereotipe (pelabelan negatif) terhadap perempuan, kekerasan (violence) terhadap perempuan serta beban kerja lebih banyak dan panjang (doble burden)[57]. Dan anak akan sangat peka terhadap reaksi sosial yang ditimbulkan oleh kedua orang tuanya tersebut.
Oleh karena itu apabila dalam keluarga sering kali terjadi ketidakadilan gender maka cara berfikir, bertindak dan berlaku seorang anak dalam kehudupan sehari-hari akan sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang pernah dialaminya.
Bila pandangan orang tua tersebut adalah bias gender, maka anak-anak yang menjadikannya panutan, juga akan memiliki pandangan yang sama. Hal ini akan mengakibatkan ketidakadilan gender di keluarga dan masyarakat  akan terus bertahan. Sebaliknya, bila orang tua memiliki pandangan tentang hubungan gender secara adil, maka peluang bagi terciptanya kesetaraan gender semakin terbuka, paling tidak dalam lingkup komunitasnya. Bagaimanapun orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam merubah pola pikir anak dalam  kesetaraan gender di keluarga dan masyarakat secara luas. Disinilah peran keluarga sebagai lembaga pendidikan berbasis gender dapat diterapkan secara maksimal dan keluarga juga punya peran penting untuk mewujudkan keadilan sosial, termasuk didalamnya adalah keadilan gender.
b.      Keadilan dan kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dalam keluarga
Para pakar berpendapat, secara psikologi anak jiwanya sangat tajam, apa yang mereka terima sejak dini di dalam keluarganya akan tertanam dalam banak fikirannya. Keluarga dalam mendidik anak laki-laki dan perempuan umumnya diarahkan melalui mainan dan ketrampilannya, sehingga apa yang telah dibidangi oleh anak sejak kecil, seolah-olah itulah suatu tugas kewajiban bagi anak selanjutnya.
Di dalam mendidik anak, sering kali kita memisahkan antara lelaki dan perempuan, misalnya anak laki-laki  tidak boleh masak memasak, atau seorang Ibu tidak pernah memperkenalkan kepada anak laki-laki sepaya labih tahu apa yang menjadi kebiasaan atau pekerjaan rumah, yang sering kali hanya dikerjakan oleh seorang Ibu.
Dan sebaliknya seorang Ayah dan seorang Ibu juga tidak pernah memperkenankan anak perempuan untuk mempunyai sikap yang sama sebagaiman yang menjadi tugas kebiasaan seorang anak laki-laki, misalnya seorang anak perempuan dilarang main mobil-mobilan, pesewat terbang, main layang-layang atau pistol-pistolan dan lain-lain.[58]
Dengan pola-pola pendidikan yang dibentuk sejak anak masih balita, maka anak akan menyikapi bahwa apa yang tidak diperkenankan dan apa yang diperkenankan pada mereka maka anak kelak akan membatasi kegiatannya sesuai dengan apa yang mereka peroleh ketika masih aktif (kecil)
Hal ini menyebabkan anak perempuan terfokus pada pekerjaan domestik (dalam rumah tangga) sedangkan anak laki-laki pada pekerjaan publik (luar rumah). Apalagi soal pendidikan yang mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan (pada tingkat ekonomi keluarga yang lemah), karena "orang tua tidak dapat melakukan investasi dalam pendidikan anak perempuan mereka, karena tenaga anak perempuan dibutuhkan di rumah.[59] Pola ini turut menetukan ketimpangan pendidikan anak perempuan dan laki-laki.
Berbuat adil dan bijaksana terhadap semua anak adalah wajib bagi orang tua. Ayah atau Ibu tidak boleh membeda-bedakan sikap terhadap anaknya. Mengabaikan yang lebih lemah (fisik/kemampuan) dan memprioritaskan yang lebih kuat (fisik ataupun prestasi). Orang tua jangan memberi perhatian yang lebih terhadap yang satu dibanding yang lain, jangan pula mengasihi serta mencintai anaknya yang satu lebih dari yang lain.
Dan juga  orang tua jangan membedakan anatara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki memang berbeda dengan anak perempuan, dan itu memang fitroh, Allah Swt. menciptakannya seperti itu. Mereka memang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Orang tua harus mendidik mereka secara sama untuk menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Perlakuan orang tua yang tidak adil terhadap anak-anaknya akan membawa dampak yang negatif dalam perkembangan jiwanya. Anak akan merekam perlakuan yang berbeda dari orang tua dengan perasaan tertekan, bahwa dia tidak lebih berharga dari saudaranya.[60]
Pada dasarnya semua pekerjaan dan perbuatan yang mulia disisi Allah Swt. tidak ada perbedaan diantara lelaki dan perempuan. Oleh karenanya kepincangan yang tidak sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Islam, maka mengakibatkan kepincangan dalam beragama dan keluarga.
Dintara keduanya dituntut oleh Allah Swt. dengan pengabdian dan tugas yang sama.
حَدَّثَنَا اِسْمَعِيْلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَااَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ قال اَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ َو كُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.....

Artinya : "Setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing akan ditunut dengan pertanggungjawabannya (diantara laki-laki dan perempuan) atas kepemimpinannya……". (Hadits Bukhori dari Muslim r.a.)[61]
Mengingat tugas yang sama maka kesetaraan bermula dari berbagai hal yang sekitarnya dapat dilakukan oleh masing-masing jenis, laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Al Qur'an, Allah Swt. berfirman :
يآيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَأُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا....
Artinya : " Hai sekalian manusia sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kamu bersuku-suku berbangsa-bangsa supaya kalian saling mengenal..." (Q.S.49:13)[62]
Dari kata-kata supaya saling mengenal diantara laki-laki dan perempuan dan diantara kulit putih dan hitam, ayat dimaksud adalah supaya memahami diantara hak-hak dari tugas yang menjadi kewajiban diantara kedua jenis itu, diantara keduanya saling mengisis kekurangan dan membantu kekurangan dari masing-masing pihak


[1]  Poerdaminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976, hal. 250
[2]  Ramayulis, Ilmu Pndidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002, hal. 01
[3]  Purwanto, M. Ngalim. 1988. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Karya, CV. hal. 5
[4]  Marimba, Ahmad D. 1989. Pengntar Filsafat Penddidikan Islam, Bandung: Al-Ma'arif. hal. 19
[5]  Indrakusuma, Amir Danien. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan.  Surabaya: FIP IKIP Malang. Usaha Nasional. hal.27
[6] Sudirman, N, et, al, Ilmu Pendidikan, Bandung : CV. Remaja Karya, 1987, hal. 04
[7] Baqir Syarif, Seni mendidik Islami, Jakarta, Pustaka Zahro, 2003, hal 46
[8]  Ibid, hal.47-48
[9]   Baqir Syarif , Opcit, hal. 50
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal.155
[11] Ibid, 155
[12] HM. Arifin, Hubungan timbal balik pendidikan di Lingkungan sekolah dan Keluarga, Bulan bintang, Jakarta, 1975, hal. 71
[13]  Ahmad bin Hanbal, Musnat Ahmad bin Hanbal, Juz 4, hal. 24
[14]  Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : PT. Serajaya Santra, 1989, hal. 951
[15]  Zakiyah Darajat,dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997,hal:35
[16]  Zainuddin, dkk. Seluk Bekuk Pendidikan dari Al-Ghozali,Jakarta: Bumi Aksara, 1991,hal.71
[17]  Mansour Faqih, Analisis Jender&Transformasi Sosial,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999,hal.7-
[18]  Faiqoh,Nyai Agen Perubahan di Pesantren,Jakarta:Kucica,2003,hlm.62
[19] Mansour Faqih.Op.Cit.,hlm.9; Pingky Saptandari, Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Konteks Hak dan Kewajibansuami istri,Makalah Pada Seminar Nasional"Bedah Kitab Uqud al-Lujjain"di PP Putri Al-Lathifiyah II BU Tambakberas Jombang,2000,hal.3
[20]  Bani Syarif Maula,Kepemimpinan dalam Keluarga:Perspektif Fiqh dan Analisis Gender, dalam Jurnal Musawa, Jogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Edisi Maret 2004
[21]  Faiqoh.Op.Cit.hlm:63
[22]  Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender,Jakarta:Paramadina,1999,hlm.74
[23] Marlinda Irwanti Pornomo, Keluarga Awal    Kesetaraan dan Kemitraan lelaki &Perempuan, Banda Aceh:  Biro Pemberdayaan Perempuan SETDAPROV Nanggro Aceh Darussalam, 2002, hal. 8-20
[24]  Ahmad Mutholi'in.Op.Cit.hlm:44
[25] Fatima Mernissi,Beyond The Veil:Seks Dan Kekuasaan,Surabaya:al-Fikr,1997,hlm.34
[26] Julia Cleves Mosse,Gender dan Pembangunan,Yogyakarta:Rifka Annisa' Women's Crisis Centre&Pustaka Pelajar,1996,hlm85-86
[27] Dr.Haifaa A.Jawad, Perlawanan Wanita Sebuah Pendekatan Otentik Religius, Malang:  Cendekia Paramulya, 2002. hlm.15
[28]  Departemen Agama RI, Op.Cit, hal. 435
[29]Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur'an,Yogyakarta: LKIS, 1999, hlm. 133
[30] Departemen Agama RI, Op.Cit, hal. 847
[31]Toha Hamim,Peran dan Pengaruh Lingkungan Dalam Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri,Makalah Pada Seminar Nasional"Bedah Kitab Uqud al-Lujjain"di PP Putri Al-Lathifiyah II BU Tambakberas Jombang,2000
[32] Asghar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2000,hlm.67
[33] Huzaemah Tahido Yanggo, Pandangan Islam tentang Gender(dalam mansour Faqih dkk.,Membincang Feminisme:Diskursus Gender Perspektif Islam),Surabaya:Risalah Gusti,1996,hlm.152
[34] Fatima Mernissi & Riffat Hasan,Setara Dihadapan Allah,Yogyakarta:LSPPA,1996,hlm.184
[35] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 595-596

[36] Hussein Muhammad, Fiqih perempuan, yogyakarta; LKIS, 2001,hlm.119
[37] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 1079

[38] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 110
[39]  Marlinda Irwanti Pornomo, Op.Cit hal. 22
[40] Zaitunah Subhan. op.cit. hlm: 109
[41] Ibid.hlm 154
[42] Nasaruddin Umar, op.cit, hlm : 247-265
[43]Ahmad Mutholi'in. op.cit. hlm : 45
[44]Asghar Ali Engineer. Op.cit. hlm : 236
[45]Imdadun Rahmat, Mengembalikan hak kaum perempuan (dalam Taswirul Afkar, Gerakan Perempuan Dalam Islam ),Jakarta:LAKPESDAM &LTN NU,1999,hlm:1
[46] Mansour Faqih. Op.cit. hlm : 134
[47] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 123

[48] Marlinda Irwanti Pornomo, Op.Cit, hal. 41-42.
[49] Baqir Syarif Al-Qarasi, Op.Cit, hal.46
[50] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,2001, hlm.125
[51] Zakiah darajad,Ilmu Pendidikan Islam, jakarta: Bumi aksara, 1996, hlm.35
[52] HM. Arifin, Op.Cit, hlm. 71
[53] Zainuddin,dkk., Op.Cit, hlm.71
[54]  Ibid, hlm.71
[55] Zakiyah Darajad, Op.Cit.hlm: 47    
[56]  HM. Arifin.Op Cit.hlm.72
[57] Ahmad Mutholi'in, Op.Cit, hal. 33
[58] Marlinda Irwanti Pornomo, Op.Cit, hal. 45
[59] Ibid, hal. 46.
[60] Nurun Najwah, Relasi Ideal Suami Istri, PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP, 2002 ,  hal. 32
[61] Imam Bukhori, Kitab Shohih Muslim juz 7, Dar al-Fikr, hal 104
[62] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 847

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger news

Blogroll

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal