BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Baru-baru ini kita mengenal sebuah istilah baru dalam dunia
jurnalisitk dengan sebutan; jurnalistik da’wah atau jurnalistik Islami. Istilah
yang dipopulerkan oleh Asep Syamsul M. Romly, dalam bukunya “Jurnalistik
Dakwah; Visi dan Misi Dakwah bil Qalam” menjelaskan tentang sebuah keharusan
da’wah yang diorganisir lewat media tulis menulis seperti buku, surat kabar,[1]
majalah, dan lain-lain. Aktifitas jurnalistik yang dilakukan oleh seorang
muslim seharusnya adalah aktifitas da’wah itu sendiri. Oleh karenanya,
Jurnalistik Islami dapat dirumuskan sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai kebenaran yang
sesuai dengan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam.[2]
Istilah lain yang kemudian dimunculkan adalah da’wah bil
qalam. Asep Kusnawan dalam bukunya “Berdakwah Melalui Tulisan” menyebutkan
istilah itu dengan merujuk kepada setiap aktifitas yang berbasis penulisan di
media apapun. Ia melihat bahwa da’wah melalui tulisan merupakan bagian integral
dari bidang kajian dakwah. Ia adalah salah satu unsur dakwah yaitu media
dakwah. Karena ia merupakan media maka ukuran utama penggunaannya adalah
keefektifan dan keefesienan. Semakin efektif dan efesien suatu media, maka ia
akan semakin dipertimbangkan orang lain untuk menjadi pilihan. Oleh karena
itulah tulisan dipandang sebagai sesuatu yang efektif untuk menyampaikan pesan
da’wah.
B.
Rumusan Masalah
· Bagaimana kinerja
jurnalisme (pers) dalam media massa ?
· Bagaimana paranan
Ideologi jurnalis muslim dewasa ini ?
· Apakah perlu jurnalis
muslim menerapkan etika Islam dalam kinerjanya ?
· Apakah Media kampus layak
menjadi sarana Dakwah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Jurnalisme Indonesia
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat
bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan
dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes
Gutenberg. Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda.
Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat
perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan
Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih
kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media
yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan
Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah
Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek
televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan
teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak
terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo
merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Titik kebebasan pers
mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa
yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi
profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode
Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.
B.
Kinerja Jurnalistik
“Apa alat yang dapat membantuku untuk
mengkonstruksi pengetahuan? Menulis. Menulis? Ya. Ketika aku menulis, aku harus
mengingat apa saja yang ingin aku tulis. Dan tak hanya mengingat, aku pun harus
mengait-ngaitkan apa saja yang ingin aku tulis. Bayangkan jika apa yang kutulis
itu adalah mengetahuan baru yang sedang aku pelajari. Betapa menulis itu
menjadikan aku sebagai seorang arsitek yang sedang membangun sebuah gedung yang
bermanfaat dan bermakna”.[3]
Pekerjaan jurnalistik adalah menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan pengetahuan yang sudah dipahami untuk
menghasilkan informasi (pengetahuan) baru yg bermanfaat. Mendapatkan informasi
atau berita itu bisa mudah bisa sulit. Yang pasti sulit yaitu mendapatkan
berita yang bermutu. Untuk itulah media biasanya menyeleksi ketat apa yang akan
disampaikan. Ada istilah di dunia jurnalistik bahwa ‘bad news is a good news’.
Berita yang sangat buruk adalah berita yang sangat baik. Orang masih suka
membaca berita seburuk apapun asal bukan ia sendiri yg tertimpa.
Ada kriteria berita yang biasanya dianggap
layak jual dikarenakan sifat berita yang sangat menarik perhatian pembaca:
v
sangat berpengaruh pada nasib pembaca
v
sangat beda atau unik
v
sangat ekstrim atau menonjol
v
berita terbaru / up todate
v
berita pesohor / selebritis
Berita-berita tersebut akan selalu menarik
perhatian masyarakat pembaca di tengah begitu banyak sumber informasi bersaing
memperebutkan perhatian. Dengan persaingan yang ketat seringkali pers terjebak
pada orientasi yang salah. Yaitu orientasi keuntungan semata dengan
mengorbankan etika. Pers sebagai industri, bisa saja menyampaikan keburukan,
kebohongan, pornografi, kekerasan, kemurtadan dan penipuan dengan alasan untuk
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan gampang! Untuk itu diperlukan etika
jurnalistik atau rambu-rambu pers. Bagi pencari berita ada rambu mencari berita
valid:
• Ask the right question
• Ask the right source
• Write the news right
Rumus
menggali detil berita: 5 W + 1 H
• What : Apa objek, nama,
istilah, korban,
• Where : Di mana posisi,
alamat, lokasi, keberadaan
• When : Kapan waktu, hari,
tanggal, tahun, sebelum/sesudah, kronologi
• Who : Siapa subyek, nama,
oknum, otoritas, yang berwenang,
• Why : Mengapa alasan,
penyebab, latar belakang, motif
C.
Ideologi Jurnalis Muslim
Jika
kita mencoba menelaah pengertian Ideologi maka akan banyak pengertian yang akan
ditemui dan telah didefenisikan oleh para pakar disetiap masing-masing disiplin
keilmuan. Sekurang-kurangnya makna Ideologi adalah suatu proses yang dicetuskan
secara sadar oleh mereka yang disebut pemikir dengan kesadaran palsu yang mampu
menggerakkan sebuah tindakan yang nyata, ideologi sering diposisikan sebagai
referensi utama dalam melakukan sebuah tindakan secara sadar dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Dalam pandangan marx dan engels bahwa ideologi adalah bentuk
kesadaran yang mengungkapkan komitmen mendasar dari suatu kelas sosial.[4]
Dalam
hal ini berkenaan dengan proses komunikasi massa, dimana ideologi bermain pada
wilayah pesan-pesan media (content). Transformasi (pertukaran) nilai-nilai,
budaya, norma, hukum, poliik, pendidikan dsb sangat memungkinkan terjadi dalam
masyarakat dimana media tersebut bermukim. Mengingat peran media massa yang
begitu besar membawa dampak perubahan social (kemajuan maupun kemundurun), maka
ideologi seorang jurnalis muslim yang membawa pesan-pesan moralitas agama harus
lebih ditonjolkan dalam mekanisme media massa demi meminimalis dampak negatif
produk media massa.
Adalah
tantangan besar bagi seorang jurnalis muslim dalam memerankan profesinya
ditengah arus transformasi yang begitu gencar dan mengglobalisasi. Peran
jurnalisme (pers) tidaklah mudah apalagi jurnalis yang notabenenya seorang
muslim, selain menjalankan profesionalitasnya juga dituntun untuk menyiarkan
dakwah Islamiyah ( dakwahkan’ ideologinya ) . Dalam hal ini pesan pesan
moral agama dapat menjadi dasar pijakan dalam kinerjanya. Secara garis besarnya
Ideologi Jurnalis Muslim dapat di uraikan menjadi lima bahagian yakni :
Ø
Tabayyun : Check and recheck, validitas berita dengan tabayyun
Ø
‘Adl : Keadilan, berita harus cover both side
Ø
Shiddiq : Kejujuran, qulil haqqu walau kaana murron
Ø
Manfaah : Asas manfaat, antakulu khiron au liyasmuth
Ø
Istiqomah : Konsistensi dan integritas, lima takulu maala taf ‘aluun?[5]
D. Etika jurnalis muslim
Kalau berbicara tentang etika, yang terbayang oleh kita
adalah kata sopan santun. Bila dikaitkan dengan komunikasi massa, maknanya
menjadi bagaimana tata cara sopan santun diterapkan dalam penyiaran acara dari
media komunikasi massa. Sebenarnya adab sopan santun itu dimiliki oleh semua
orang, hanya kadang-kadang hal itu tertutup oleh kepentingan pribadi yang sulit
untuk digeser, sehingga yang muncul lebih dominan adalah hal-hal yang lebih
bermuatan komersil tanpa mau melihat sisi lainnya.
Onong Uchjana Effendy, Mochtar Lubis mengartikan etika
(etos) secara luas, yakni dalam maknanya sebagai sistem tata nilai moral,
tanggungjawab, dan kewajiban.[6]
Jadi etika merupakan suatu perilaku yang mencerminkan i’tikad baik untuk
melakukan suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan.
Bagi umat Islam, etika yang dijadikan dasar adalah
nilai-nilai moral yang terdapat dalam kitab suci Alquran dan Sunnah Rasul.
Sebenarnya kalau kita mau jujur, Alquran sebagai wahyu Allah telah memberikan
prinsip-prinsip dasar yang melandasi etika komunikasi, termasuk komunikasi
massa.
Pada dasarnya semua agama memiliki tujuan yang sama bila
berbicara tentang etika. Karena tentu saja tidak ada satu agama pun yang
mentolerir, baik itu perlakuan kasar, kata-kata kotor, tindakan yang asusila
atau perbuatan apa saja yang membuat orang lain tidak nyaman. Pendek kata agama
mengajarkan bagaimana manusia itu dapat meraih kehidupan yang tenang, tentram,
dan damai dengan sesamanya.
Dikatakannya, bahwa dalam konteks komunikasi massa, maka
berbohong merupakan sifat tercela, karena sangat berbahaya. Kebohongan dalam
komunikasi massa akan menyesatkan masyarakat disebabkan telah menyerap
informasi yang salah. Tentu komunikasi seperti ini menyalahi etika komunikasi
dan ajaran Islam.
Kini orang cenderung lebih suka memilih stasiun televisi
yang menayangkan film tentang binatang atau tentang ilmu pengetahuan daripada
harus menonton acara musik, entah itu musik pop atau dangdut yang penampilannya
seronok. Jadi, semestinya para pengelola stasiun televisi bisa lebih peka
melihat gejala seperti ini dengan memikirkan lebih serius untuk membuat
tayangan yang lebih berbobot, lebih agamis, juga berani untuk merubah paradigma
lama yang hanya mengutamakan segi komersil semata.
E. Media Kampus Sebagai Sarana
Dakwah
Media
kampus merupakan media yang ada di kampus sebagai sarana komunikasi dan
pengembangan intelektualitas. Media kampus dibagi menjadi dua yakni media yang
dikelola oleh staff pengajar dan humas kampus. Hal ini biasanya berbentuk
jurnal, majalah bulanan, radio kampus, TV kampus, hingga situs web. Sedangkan
yang kedua, media yang dikelola oleh mahasiswa (pers mahasiswa) biasanya
berbentuk buletin dan newsletter. Namun istilah kedua media diatas sering
tumpang tindih dengan pers kampus.
Dalam perjalananya
kedua media ini yakni media kampus dan pers mahasiswa ‘bersaing’ untuk saling
menunjukkan eksistensinya. Namun diakui pers mahasiswa lebih agresif, progresif
dan dinamis dalam menguasai ‘ruang pikir’ mahasiswa dikampus yang bersangkutan.
Hal ini disebabkan karena pers mahasiswa dilandasi idealisme dan nilai – nilai
perjuangan. Media kampus sebenarnya mempunyai peran yang penting yakni secara
internal, ia adalah ruang bagi interaksi antar civitas akademika. Sementara
secara eksternal, ia merupakan bagian dari strategi pencitraan kampus
bersangkutan.
Namun
peran yang penting ini realitasnya tidak diimbangi dengan manajemen yang bagus,
performa yang optimal serta SDM yang apa adanya.
Sedangkan
pers mahasiswa juga tidak mau ketinggalan zaman. Walaupun didera kembang kempis
masalah keuangan mereka semua tetap bisa eksis. Sebagai contoh apa yang
dimiliki oleh DEMA IAIN dengan Ara Aita, Arisalah milik mahasiswa Syari’ah IAIN
dan berbagai bentuk lainnya di masing-masing fakultas di lingkungan Universitas
IAIN. Pers mahasiswa mempunyai kebebasan untuk menyuarakan idealisme dan suara
hati nurani tanpa kewatir dengan pemabatasan kebijakan – kebijakan kampus.
Walaupun represifitas terhadap pers mahasiswa pernah terjadi pada jaman orde
baru. Justru kondisi ini menyuburkan dan meningkatkan idealisme perjuangan
mahasiswa.
Pers
mahasiswa harus tercermin ilmiah, objektif, rasional, kritis, dan tidak menjadi
koran gosip (gossip journalism) apalagi berwujud koran kuning (gutter
journalism, yellow papers). Karena sasaran dari pers mahasiswa adalah mahasiswa
tentunya sikap – sikap diatas harus dikedepankan serta bagaimana memenuhi
curiousity mahasiswa terkait beragam hal.
Pakar
jurnalistik dari Universitas Stanford mengemukakan karakteristik ideal sebuah
Pers Mahasiswa ( Pers Kampus) sebagai berikut:[7]
1.
Harus mengikuti pendekatan jurnalistik yang serius (must be approached as a
serious work of journalism).
2.
Harus berisikan kejadian-kejadian yang bernilai berita bagi lembaga dan
kehidupannya (It should report and explain newsworthly events in the life of
the institution)
3.
Harus menjadi wadah bagi penyaluran ekspresi mahasiswa (provide medium for
student expression).
4.
Haruslah mampu menjadi pers yang diperlukan oleh komunitas kampusnya (It should
make itself indispensable to the school community).
5.
Tidak boleh menjadi alat klik atau permainan yang memuaskan kelompok kecil di
kampus (It can’t be a clique operation a toy for the amusement of a small
group).
6.
Harus dapat memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi (Serve the purpose of
mass communications).
Selain
pers mahasiswa, dikampus sering terdapat buletin atau selebaran yang
dikeluarkan oleh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa),Kelompok Diskusi, kelompok
kajian serta Study Club. Media yang mereka keluarkan mempunyai kekhususan
sendiri sesuai akar ideologi mereka.
Sebagai
mahasiswa muslim, yang memahami secara mendasar akan keislamannya tentu tidak
akan menyia-siakan peluang investasi amal akherat ini. Media kampus baik yang
dikelola civitas kampus maupun pers mahasiswa mempunyai peluang yang sama untuk
dijadikan sarana nasyrul fikroh islam ini. Atau bahkan kita membuat ide-ide
kretif sendiri untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan ini kepada kalayak
kampus.Media kampus yang berbentuk jurnal tentunya menuntut intelektualitas dan
gaya ilmiah dalam penulisannya. Kalau tabloid / buletin mungkin kita memakai
gaya-gaya slank-an (baca slenge’an) yang mudah dipahami oleh pembaca.
Berbicara
mendakwahkan islam jangan dimaknai sempit hanya terkait rukun islam saja. Namun
lebih dari itu, islam juga mengajarkan kebersihan, kejujuran, etos kerja, anti
korupsi, transparansi dan akuntabilitas.
Berbicara
media kampus maka kita melihatnya peluang dakwah tentunya dengan dakwah pena
(dakwah bil qolam). Disinilah nantinya kita akan mengelola dan membuat media
kampus maupun pers mahasiswa dengan prinsip jurnalistik islam.[8]
Jurnalistik Islami adalah dapat dirumuskan sebagai suatu proses meliput,
mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai
Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam, serta berbagai pandangan
dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayak melalui media massa.
Jurnalistik
Islami pun bernafaskan jurnalisme profetik, suatu bentuk jurnalisme yang tidak
hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur, serta aktual,
tetapi juga memberikan interpretasi serta petunjuk ke arah perubahan,
transformasi, berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ia menjadi
jurnalisme yang secara sadar dan bertanggungjawab memuat kandungan nila-nilai
dan cita Islam.[9]
Media
kampus dan pers mahasiswa yang nantinya kita kelola setidaknya mempunyai 5
peran baik di dalam kampus maupun di luar kampus:
- Sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Lewat media massa, ia mendidik umat agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
- Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya bias (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
- .Sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
- Sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi [both side information] harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan (Jalaluddin Rakhmat dalam Rusjdi Hamka & Rafiq, 1989).
- Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang-pembela Islam. Melaui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.
BAB III
PENUTUP
Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi) baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia.
Wartawan juga seharusnya bekerja dengan dasar
pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang memadai, serta mematuhi kode etik.
Standar kompetensi wartawan mestinya memiliki rasa ingin tahu tinggi,
kematangan dan tanggung jawab, pengetahuan umum luas, kreatif, sabar dan
persisten/teruji mental, berani, adil, jujur, dan berintegritas, berpikir
independen, dan berusaha mencari jawaban kondisi yang dialami atau dilihat
menyangkut kepentingan masyarakat.
Namun, semuanya berpulang kepada pilihan wartawan dan
institusi pers bersangkutan, termasuk penilaian publik terhadap institusi pers
dan para wartawan serta organisasi pers di sini: mana yang masih terjaga
integritas, independensi, dan sikap profesionalnya, serta mana yang telah
”menggadaikannya” dengan mengatasnamakan pers serta predikat kewartawanan.
Adapun Sikap untuk menjadi seorang jurnalis
yang baik:
v
Harus ada interaksi (timbul dari kepedulian) dgn peristiwa dan fakta
v
Harus ada pendalaman (timbul dari minat baca yg besar) dgn ilmu atau informasi
yg sudah ada
v
Harus ada kreatifitas (timbul dari imajinasi, variasi dan daya cipta) untuk
menangkap dan mencipta hal baru
v
Harus ada sikap kritis (timbul dari rasa ingin tahu yg besar) untuk mendapatkan
data dan fakta baru yg detil dan valid
v
Harus ada penjiwaan (timbul dari niat yg bersih) sehingga apa yg dihasilkan
bermakna dan bermanfaat
KESIMPULAN
jurnalistik
adalah panggilan jiwa, bukan profesi. Orang jadi wartawan sebaiknya bukan
karena cari pekerjaan, melainkan karena memang ingin jadi wartawan. Kalau orang
mau kaya, jangan jadi wartawan sebab akan jadi pangacau saja. Tapi, seorang
calon wartawan sebaiknya bersekolah di luar bidang jurnalistik agar punya ilmu
tambahan di luar kerjaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Kasman, Suf. 2004. Jurnalisme Universal (menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam Dalam Al-qur’an). Jakarta Selatan, Teraju.
- Eka Ardhana, Sutirman. 1995. Jurnalistik Dakwah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
- Kusnawan, Aep. M.Ag dan Dindin Solahudin, M.A. 2004. Kominikasi dan Penyiaran Islam. Bandung, Benang Merah Press.
- http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/ideologi-jurnalis-muslim.html
[1]
Surat kabar paling tidak memiliki empat posisi yaitu sebagai; lembaga sosial,
lembaga ekonomi, produk informasi, dan media informasi. Lihat, Ana Nadhya
Abrar, Teknologi Komunikasi Prespektif Ilmu Komunikasi, Yogyakarta:
LESFI, 2003, hal.
[2]
Asep Syamsul M. Romly, Jurnalistik Dakwah; Visi dan Misi Dakwah bil Qalam,
Bandung: Remadja Rosdakarya, 2003, hal. 35-36
[3]
ibid
[4]
Lihat
Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Cet.I, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002)
Hal.6.
[5]
Asep Syamsul M. Romly, Jurnalistik Dakwah; Visi dan Misi Dakwah bil Qalam,
Bandung: Remadja Rosdakarya, 2003, hal. 13
[7]
William L. Rivers, sebagaimana
dikutip Assegaf (1985:104),
[8]
Asep Syamsul M. Romly, Jurnalistik Dakwah; Visi dan Misi Dakwah bil Qalam,
Bandung: Remadja Rosdakarya, 2003, hal. 13
[9] (M.
Syafi’i Anwar, 1989:166).
0 komentar:
Posting Komentar