I. Pendahuluan
Penyebebaran agama islam pada zaman rasulullah SAW masih pada
wilayah timur tengah, tetapi kemudian ajaran yang dibawakan oleh utusan Allah
tersebut menyebar luas keseluh penjuru dunia setelah sepeninggalan beliu ajaran
agama islam tetap didakwahkan dari mulai khulafaurasidin, tabi’in, tabi’it
tabiin sampai pada para ulama hingga sekarang. Pada penyebarannya Islam ke
Indonesia khususnya ke Jawa, tidak begitu saja, tetapi ini melalui perjuangan
yang berat ekali. Para wali dihadapkan oleh penduduk asli nusantara yang pada
waktu itu masih memeluk agama hindu dan budha,
Masyarakat yang masih kental dengan budaya dari nilai-nilai ajaran
agama hindu dan budha. Terutama pada masyarakat yang mendiami tanah pulau jawa.
Para wali dalam penyebarannya melalui dakwah mereka punya cara-cara tersendiri,
ada kalanya yang melalui perdagangan, dan juga mereka menikahi masyarakat asli
setempat dengan tujuan untuk dakwah, tetapi ada salah satu wali asli dari tanah
jawa, cara dakwahnya berbeda dengan wali yang lainya, wali itu adalah Sunan Kalijaga,
sunan kali jaga dalam menempuh jalan
memasukkan ajaran Islam kepada rakyat di tanah Jawa, mempunyai metode yang
berbeda antara lain:
a.
Ajaran
agama itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara memasukkan sedikit-demi
sedikit, agar masyarakat tidak kaget atau tidak menolak.
b.
Mengawinkan
ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya masih banyak
lagi hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga. Budaya yang
dianut oleh masyarakat pada waktu itu tidak menjadi persoalan bagi sunan kali
jaga untuk menyebarkan agama islam. Cara penyampaian dakwanya yang tidak
bertentangan oleh budaya setempat, membuat islam mudah diterima serta cepat
menyebar luas masyarakat jawa.
Untuk mengetahui lebih lanjut setelah mengetahui pendahuluan
diatas, maka dalam pembahasan makalah
ini akan membahasa mengenai sejarah kehidupan dan ajaran sunan kali jaga
melalui bab pembahasan.
II. Pembahasan
A. Sejarah Kehidupan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455.[1] Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan
Kalijaga” yang merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah
Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau
juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan
melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata
yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal
tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan
Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka
secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk
mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang
membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya
dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit.
Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia
tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten.
Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok
orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut
sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman,
Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.[2]
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang
lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada
Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai pakaian serba
hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”.
Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian
orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap menghadang
orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah
dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said
ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri
perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada
Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau
bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa
beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil ipar
oleh Sunan Gunung Jati.[3]
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak,
yaitu:
1. Kanjeng
Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng
Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi
(yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala
Perdikan Kadilangu.
4. Raden
Abdurrahman
5. Nyai Ageng
Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga
menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga
orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar
Said (Sunan Muria)
2. Dewi
Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari
rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu:
sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian menurut
lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya adalah
pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran
agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir
1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan
panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah
pimpinan Panembahan Senopati.[4]
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat
dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga yang
makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan
“Sunan Kalijaga”.[5]
B. Peran Sunan Kalijaga dan
ajarannya dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama
Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk
bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa.
Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih muda, tetapi mempunyai
kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun
kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas
dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo,
misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang disamping
dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan tata krama, rawan tata
susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan
Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka.
Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan
dakwah di suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan
pegunungan, siang malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari
daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh
keliling”[6] atau Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki
karisma tersendiri diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai
lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal
bernama “Syeh Malaya”.
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan
berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan
Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak
sekali. Sunan
Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli
mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat
peribadatan Islam.
Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi
–bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula
Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan
Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar
dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang
dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada
budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama
budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
beliau menerimanya. Wayang
beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya
menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia,
karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip
manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.
Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau
sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang
kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya
tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau
berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap. Pertama
berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan
pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam
pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan
lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.)
beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon
Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun
beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam.
Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan
Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman. Adapun
Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :
1.
Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab,
‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah
seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’.
Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau
kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri
–Sahih Bukhari)
2.
Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab,
‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian
dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3.
Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab,
‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan
segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4.
Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab,
‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha
mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5.
Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab,
‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak
saat melihat kezaliman.
Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya
merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga
berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode
semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini
sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an
sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang
gemar berdeklamasi.
Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan
keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui
berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan
kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk
perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat
yang membutuhkannya.Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah
pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa
dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan
agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat
lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan
oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan, menciptakan
lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang
Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama
Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah,
acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian
akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi,
menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua kalimah
syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih
hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di atas kulit
kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang
benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain
jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk jadi raja dan wahyu widayat, serta
sebagai ahli kata-kata seperti misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan
alun-alun serta pohon beringin dan masjid.[7]
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali
yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah
operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang
mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau beliau bertabligh,
senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena
caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman
Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan
pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa hidupnya,
Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau
terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita
wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur
ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa
pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme,
atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat masih memegang
teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada
gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong
Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat,
yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam
asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan
para wali sembilan dalam mengembangkan agama Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah
konferensi besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan Maulid
Nabi yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan) menurut
seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian
disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang telah
dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah tarub yang
tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka macam
bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga banyaklah
rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium
bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya,
uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik sehingga orang yang
mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati
gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan mereka diperbolehkan
masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di
kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian ini mengandung
simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab
Ghapura), maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus
sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik”
berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada
budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya.
Maka harus didekati secara bertahap; mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama akan hilang.[8]
C. Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang
strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama
Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka
menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan
benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur
sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan
penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar
memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan
agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau
kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang
demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula
dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha
yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam
mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang
bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali termasuk
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat
sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan
dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai
bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam
bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai yang
berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya
dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang
kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat dan juga
dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode
Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam, sebagai gambar ilustrasi,
perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi
dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa
kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam
bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu” dan “qilla” atau “quuqilla”
yang artinya “peliharalah ucapan (mulut) mu”.[9]
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan
cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita
wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita
menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah
dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan,
bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain
seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut
serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat
terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang pokok dalam
masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu
disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm. ini yang membuat
adalah Sunan Kalijaga.
D. Peninggalan-peninggalan
Sunan Kalijaga
1. Masjid
Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid
kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid
ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan
Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena
letaknya yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang
“kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya
sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang
berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau
pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih
berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya
yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya
sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid
sebelah dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu
hing dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”,
(ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan
dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab.
Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami perbaikan di
sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama
bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para
Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak,
tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka
oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya.
Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik kertas yang
menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan
supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat baju juga.
Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama
“baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai
Gondil” ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.[10]
BAB PENUTUP
Simpulan
Dari
penjelasan diatas bahwa islam merupakan agama yang rahmatallil alamain,
ajaranya menyebar di seluruh penjuru dunia, islam yang dipahami oleh sebagain
orang bahwa agama yang diturunkan di tanah arab tetapi bukan untuk ditujukan
kepada bangsa arab, sudah terbukti diberbagai ayat alquran menerangkan tentang
bagaimana alquran itu diturunkan untuk seluruh manusia yang dibumi ini tetapi
dikhususkan pada manusia yang percaya atau beriman. Dari ajaran tersebut telah
dipercayakan kepada para utusanNya melalui para nabi dan rasul serta kemudian
diteruskan oleh generasi berikutnya sampailah ajaran itu kepada kita. Tetapi
dalam proses penyeberan tersebut penuh dengan tantanan,
Ajaran
islam sampai pada tanah kelahiran kita adalah sebuah perjuangan dari generasi
penurus utusan Allah melalui para wali wolisongo, diantara para wali itu yang
paling dekat cara dakwahnya dengan nilai-nilai budaya jawa adalah sunan
kalijaga. Ajaran yang dibawakan sangat khas, sentuhan-sentuhan tidak frontal
sehingga tidak berseberangan dengan nilai-nilai budaya setempat yang pada waktu
itu masih kental dengan budaya dari nilai-nilai agama hindu dan budha. Sunan
kalijaga yang terlahir di tanah jawa betul-betul sangat memahami budayanya,
sehingga dalam menyebarkan beliau bisa mengakulturasikan atau mengawinkan
antara budaya jawa dengan budaya arab. Hal inilah yang kemudian ajaran agama
islam mudah diterima oleh masyarakat jawa. Dari proses perjuangan sunan
kalijaga telah banyak meninggal jasa-jasanya yang sampai saat ini masih dipercaya
dan dijadikan budaya oleh masyarakat sekarang. Tak heran jika ajaran agama
islam semakin berkembang pesat sampai sekarang di pulau jawa.
III. DAFTAR PUSTAKA
Drs. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang
Pasang Surut, 2005.
Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak,
Kudus: Menara Kudus, 1992.
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm/
[1]
Tentang tahun kelahiran Sunan
Kalijaga (+ 1455 M) diambil dari cerita juru kunci makam Sunan kalijaga
yang sekarang (keturunan Sunan Kalijaga yang ke XIV).
[2]
http://www.syariah.com/walisongo.html
[3]
Dr. Purwadi, dkk., Babad Tanah
Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005, hlm. 39-41.
[5]
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[6]
Menurut R. Prayitno, juru kunci makam Sunan Kalijaga sekarang,
Sunan Kalijaga wafat kira-kira + tahun 1586. Berarti kalau
dihitung-hitung umur Sunan Kalijaga + 131 tahun lamanya.
[7]
Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm.
13.
[8]
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[9]
Ibid.hlm. 10-11
[10]
. ibid hlm.21-26
0 komentar:
Posting Komentar