Sejarah Perkembangan Ilmu Logika Di
Berbagai Kawasan
Nama logika pertama kali muncul
pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni
berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi)
adalah orang pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang
menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah
negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat
karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber
berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah
tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan
internasional tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus
untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi,
meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa
sebelum dia tidak ada logika. Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum
Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebutkan
bahwa Aristoteleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang
sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran
jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Bahkan Filosof Besar
Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak
maju selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada
beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi
jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa
sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu
yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang
dialah yang pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu
sistem.
Kecerdasan
penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya
kelompok Safshathah. Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki
menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara
mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi
membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan
mereka adalah:
Kebaikan adalah apa yang Anda
pandang baik
Keburukan adalah apa yang anda
pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh
seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh
seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles
(384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan
pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui
diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada
masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan.
Plato (427-347 SM.), Murid Socrates hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant
(1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa logika yang
diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit karena sudah
cukup sempurna.
Logika formal
merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan
dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato.
Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan
pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di
dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk
dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat
tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi
Konsili Nicae (325 M), menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik
di Athena, Antiokia dan Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab
tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan
pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu
sampai hampir seribu tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam,
sehingga dikenal dengan zaman Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad
ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama
ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai
Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya
karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga
ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika
karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Al-Farabi
dikenal dengan sebutan “guru kedua” setelah Aristoteles, karena kemampuannya
dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu
filsafat. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik
dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. [1]
Karya
al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya
Aristoteles Organon, baik dala bentuk komentar maupun ulasan
panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar
naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut
berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik.
Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan
system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. [2]
Di antara
ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang
di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu
Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan
banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad
gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian
menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap
terlalu memuja akal. Di antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin
An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani
malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan
cendikiawan Muslim membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai
penyempurna dalam menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
Referensi :
1. R.G. Soekadijo, 1982: Logika Dasar. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
2.Wallace Walter L.1990: Metode
Logika Ilmu Sosial. Jakarta, Bumi Aksara.
0 komentar:
Posting Komentar