BAB IV
PEMAPARAN
HASIL PENELITIAN
A.
Biografi Imam al-Ghazali
1.
Riwayat Hidup Imam al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebutan al-Ghazali bukan merupakan nama asli.
Zainal Abidin Ahmad mengungkapkan bahwa sejak kecil, beliau memiliki nama
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Kemudian sesudah ia berumah
tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia dipanggil Abu Hamid.[1]
Beliau terkenal dengan sebutan Hujjatu al-Islām atau argumentator
Islam.
Ada dua macam penulisan mengenai nama sebutan al-Ghazali.
Pertama sebutan itu ditulis dengan satu huruf “z” yaitu al-Ghazali. Sedangkan
yang kedua ditulis dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu al-Ghazzali.
Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi berpendapat bahwa
sebutan al-Ghazzali (dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada
pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wool.[2]
Abu Sa’ied Sam’an, sebagaimana dikutip oleh
Zainal Abidin mengatakan bahwa sebutan al-Ghazali (dengan satu huruf “z”)
berasal dari nama desa tempat lahirnya yaitu Gazalah. Adapun sebutan
al-Ghazzali berasal dari pekerjaan yang dihadapinya dan dikerjakan oleh
ayahnya, yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun yang dinamakan “Gazzal”.[3]
Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung
kecil Gazalah, kota Thus, propinsi Khurasan, wilayah Persi (sekarang Iran) pada
tahun 450 H. atau bertepatan dengan tahun 1058 M. dari dua ibu bapak yang
miskin melarat.[4]
Ayahnya seorang pemintal wol yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan para fuqaha dan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya, dan
juga seorang pengamal tasawuf yang hidup sederhana. Dalam beberapa tulisan
tidak ditemukan tentang tanggal dan bulan kelahiran beliau.
Sungguhpun keluarga al-Ghazali hidup dalam
kedaan serba kekurangan, tetapi sang ayah memiliki semangat keilmuan dan
cita-cita yang tinggi. Dalam waktu-waktu senggangnya
setelah selesai bekerja, ia selalu mengunjungi fuqaha, pemberi nasihat, duduk
bersamanya, sehingga apabila ia mendengar nasihat para ulama tersebut ia
terkadang menangis dan lebih rendah hati dan selalu memohon kepada Allah agar
dikaruniai anak yang pintar dan memiliki ilmu yang luas seperti para ulama
tersebut. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a ayahnya dan dia dikaruniai dua
putra yaitu Imam al-Ghazali dan yang kedua adalah Ahmad yang populer sebagai
juru dakwah.
Kebahagiaan yang dialami sang ayah tidak
berlangsung lama. Saat kedua anaknya masih kecil, dia kemudian wafat. Pada saat
menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali dan saudaranya diserahkan
kepada temannya yang dikenal sebagai ahli tasawuf dan orang yang baik, sesuai
dengan harapannya agar al-Ghazali
kelak menjadi seorang faqih dan ulama besar. Dia berkata kepada sahabatnya:
“Nasib saya sangat malangnya, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Saya
ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah
mereka, dan pergunakanlah sampai habis segala harta warisan yang aku tinggalkan
untuk mengajar mereka.[5]”
Sahabat ayahnya segera melaksanakan wasiat yang
diterima dari ayah Imam al-Ghazali. Kedua anak tadi dididik sedemikian rupa
sampai akhirnya harta peninggalan bapaknya habis dan sahabat ayahnya tadi
menganjurkan Imam al-Ghazali dan adiknya untuk
tinggal di asrama (tanpa biaya) saja agar pendidikannya tetap berlangsung.
Asrama yang dimaksud didirikan oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di kota Thus.
Sampai dengan usia dua puluh tahun, Imam
al-Ghazali tetap tinggal di kota
kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari al-Razkani.
Kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang
terkenal waktu itu. Kedua ilmu itu sangat berkesan di hati Imam al-Ghazali dan
ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. Selanjutnya ia pindah
ke Jurjan pada tahun 479 H. namun tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya,
akhirnya ia kembali ke Thus selama tiga tahun.[6]
Selanjutnya pada tahun 471 H. ia pergi ke
Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan yang terpenting dalam dunia Islam. Di kota Naisabur, tepatnya di Universitas
Nizamiyah, Imam al-Ghazali belajar dan berguru kepada Imam al-Haramain Abi
al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu
menjadi guru besar di Naisabur.[7]
Di antara mata pelajaran yang dipelajari
al-Ghazali di kota
tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu
alam.[8]
Sehingga ia menjadi cerdas dan pandai mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan penalaran yang jernih. Sehingga keahlian yang dimiliki oleh Imam
al-Ghazali diakui dapat mengimbangi keahlian guru yang sangat dihormati itu.[9]
Dan bahkan al-Juwainy memberi gelar Imam al-Ghazali dengan “lautan yang dalam
dan menenggelamkan”.
Dengan bekal kecerdasan dan ilmu yang mendalam
yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali, lalu ia diangkat sebagai dosen di
Universitas Nizamiyah tersebut. Bahkan tidak jarang ia menggantikan gurunya
pada waktu berhalangan dalam mengajar.
Karier Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti di
situ. Setelah Imam al-Haromain wafat, oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di
bawah pemerintahan Khalifah Abbasiyah, untuk mengisi lowongan yang terbuka, ia
diangkat untuk menjadi rektor universitas Nizamiyah. Di mana pada waktu itu
Imam al-Ghazali baru berumur 28 (dua puluh delapan) tahun namun kecakapannya
mampu menarik perhatian seorang Perdana Menteri.
Begitu tertariknya seorang Perdana Menteri
Nizamul Mulk sehingga ia meminta Imam Ghazali untuk pindah ke tempat kediaman
Perdana Menteri (kota
Mu’askar) dan pembesar-pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar dari
berbagai disiplin ilmu. Dia meminta Imam al-Ghazali untuk memberikan kuliah dua
kali seminggu di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping kedudukannya
sebagai Penasehat Agung Perdana Menteri.
Kedekatan Imam al-Ghazali terhadap pemerintah
pada waktu itu sangat mempengaruhi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Pemerintahan Abbasiyah pada masa al-Ma’mun banyak dipengaruhi
oleh aliran Mu’tazilah serta filsafat Yunani, telah dapat dikembalikan oleh
Imam al-Ghazali kepada ajaran Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan
faham Asy’ari, sedangkan di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawuf.[10]
Faham Asy’ariyah diterima Imam al-Ghazali dari gurunya Imam al-Haramain. Bahkan
Imam al-Ghazali merupakan pemimpin Asy’ariyah yang menentukan bentuk terakhir
dari faham ini.
Setelah sekitar lima
tahun berada di kediaman Perdana Menteri, Mu’askar, Imam al-Ghazali diminta
pindah ke Baghdad
untuk menjabat sebagai rektor Universitas Nizamiyah yang menjadi pusat seluruh
perguruan tinggi Nizamiyah. Imam al-Ghazali diminta untuk menjabat sebagai
rektor pada universitas tersebut karena rektor sebelumnya meninggal dunia.
Semua tugas yang dibebankan kepada Imam
al-Ghazali dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga ia memperoleh sukses besar.
Bahkan kesuksesannya dapat menaruh simpati para pembesar Dinasti Saljuk untuk
meminta nasihat dan pendapatnya baik dalam bidang agama, maupun kenegaraan
Walau demikian besarnya nikmat dan sukses yang
telah diraih Imam al-Ghazali, namun kesemuanya itu tidak mampu mendatangkan
ketenangan dan kebahagiaan baginya. Bahkan selama periode Baghdad ia menderita kegoncangan batin akibat
sikap keragu-raguannya. Setelah empat tahun berada di Baghdad, Imam al-Ghazali kemudian memutuskan
untuk berhenti mengajar. Beliau pergi menuju tanah Syam di Damaskus untuk
menjalani hidup yang penuh dengan ibadah, mengasingkan diri dari segala bentuk
pertemuan dengan manusia, meninggalkan segala bentuk kehidupan yang mewah untuk
kemudian menjalani masalah keruhanian dan penghayatan agama. Pada waktu ini
dikenal dengan masa skepticism dalam diri Imam al-Ghazali.
Demikianlah Imam al-Ghazali mempersiapkan
dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda
keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof dan ahli tasawuf serta
sebagai seorang pemimipin yang besar di zamannya.
Kemudian, setelah menjalani khalwat, Imam
al-Ghazali pulang ke Baghdad
dengan hati yang berbunga-bunga, senang, gembira, ibarat seorang pahlawan yang
meraih kemenangan dalam sebuah pertempuran. Di Baghdad beliau kembali mengajar
dengan penuh semangat. Kesadaran baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah
prinsip yang sejati dan peling baik, diajarkannya kepada mahasiswanya.
Kitab pertamanya yang beliau karang setelah
kembali ke Baghdad
adalah kitab al-Munqiz min al-Dalāl (penyelamat dari
kesesatan). Kitab ini disebut sebagai salah satu buku referensi yang sangat
penting. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi
yang mengubah pandangannya tetang nila-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga
beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang,
bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap bagi umat manisia, bagaimana
memperoleh pengetahuan sejati (‘ilmu al-yaqīn) dengan cara tanpa
berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah menurut
ajaran tasawuf.
Setelah sekitar sepuluh tahun beliau
berkhalwat, dan setelah sekembalinya Imam al-Ghazali ke Baghdad, beliau pindah ke Naisabur sebagai
rasa cintanya terhadap keluarganya. Setelah itu beliau mendapat panggilan lagi
dari Perdana Menteri Nizamul Mulk untuk memimpin kembali Universitas Nizamiyah
di Naisabur yang ditinggalkannya.
Imam al-Ghazali kembali mengajar dengan penuh
semangat. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak
seperti dulu lagi yaitu dengan mengajarkan tasawuf yang penuh dengan kehidupan
asketik. Di samping itu, beliau juga mendirikan suatu madrasah fiqih yang
khusus mempelajari ilmu hukum.[11]
Hidup di kampung halamannya sendiri membuat
Imam al-Ghazali merasa tenang. Dan di tengah-tengah ketenangan jiwanya, Imam
al-Ghazali memberikan sebuah pengakuan yang jujur yang dapat dijadikan pegangan
bagi segenap orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana dikutip oleh
Zainal Abidin Ahmad, yaitu:
“Dan aku sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi tidaklah boleh dinamakan aku “kembali”,
karena kembali itu adalah berarti melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu
itu, aku menyebarkan ilmu pengetahuan adalah didorong oleh keinginan mencari
nama, dan untuk itu aku menjalankan dakwah-seruan dengan ucapan dan dengan amal
perbuatan. Memang demikianlah tujuanku dan niatku di masa itu.
Adapun sekarang sangatlah berbeda sekali. Aku berdakwah dan
menyebarakan ilmu adalah untuk melawan hawa nafsu dan mencari nama dan untuk
menghapuskan rasa megah diri dan kesombongan. Inilah sekarang maksud tujuanku.
Semoga Tuhan mengetahui niatku ini.”[12]
Setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan
sekian puluh tahun lamanya, dan setelah memperoleh kebenaran yang sejati pada
akhir hayatnya, maka pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau bertepatan
dengan 19 Desember 1111 M. beliau meninggal dunia di Thus.
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai
riwayat hidup Imam al-Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus dan kembali ke Thus
setelah beliau melakoni tualang panjang dalam mencari ketenangan bagi jiwanya.
Dari uraian di atas bisa dipahami dengan jelas
bahwa Imam al-Ghazali tergolong ulama yang ta’at berpegang teguh pada al-Qur’an
dan Sunnah, ta’at menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau
banyak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat,
fikih, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun demikian, beliau kemudian
menjatuhkan pilihannya untuk mendalami ilmu tasawuf yang sarat dengan nuansa
asketik.
Di samping itu, beliau juga termasuk pemerhati
pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki berbagai konsep
terkait dengan dunia pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah konsep beliau
tentang pendekatan dalam proses belajar.
2.
Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran Imam
al-Ghazali
Memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Imam
al-Ghazali tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi
sosio-kultural dan politk masa hidupnya yang melingkari pertumbuhan ataupun
mobilitas pemikirannya, boleh jadi akan memberikan citra kurang baik, sebab
pada dasarnya ia merupakan produk sejarah masanya. Oleh karena itu situasi dan
kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran Imam
al-Ghazali.
Di lingkungan keluarga sendiri, Imam al-Ghazali
banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa keagamaan.
Walaupun ayahnya seorang pemintal wol, namun demikian, ia seorang yang cinta
terhadap ilmu pengetahuan dan ulama. Sesekali ia mengunjungi para fuqaha,
berkumpul dengan orang pemberi nasihat. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai
pengamal tasawuf yang hidup sederhana.
Pada waktu ayahnya menjelang wafat, ia
berwasiat agar Imam al-Ghazali dan adiknya, Ahmad, dititipkan kepada salah
seorang temannya yang dikenal sebagai orang yang baik dan ahli tasawuf.
Tujuannya, agar anak-anak itu kelak menjadi ulama besar dan memiliki ilmu yang
banyak.
Setelah itu, Imam al-Ghazali kemudian
melanjutkan studinya ke asrama (sekolah yang menyediakan beasiswa bagi
muridnya) dan di sana
ia bertemu dengan seorang seorang guru yang juga merupakan pengamal tasawuf
atau ahli sufi, Yusuf al-Nassaj, hingga ia berusia dua puluh tahun. Setelah
tamat, ia melanjutkan studinya lagi ke daerah Jurjan. Daerah Jurjan, dan juga
Khurasan, pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmiah.
Abuddin Nata mengungkapkan bahwa;
Di wilayah tersebut adalah wilayah pergerakan tasawuf dan
pusat gerakan anti kebangsaan Arab. Di samping itu, juga terjadi interaksi
budaya yang sangat intens. Filsafat Yunani telah digunakan sebagai pendukung
agama dan kebudayaan asing dengan ide-ide yang mendominasi literatur dan
pengajaran. Kontroversi keagamaan, setelah interpretasi sufi berkembang ke arah
yang lepas dari syari’ah, serta terjadinya kompetisi antara Kristen dan Yahudi
yang selanjutnya menimbulkan insiden Awlia dan gerakan sufi.[13]
Tertarik untuk melanjutkan studi pada jenjang
yang lebih tinggi, Imam al-Ghazali kemudian pergi ke Naisabur memasuki Madrasah
Nizamiyah. Di sinilah ia bertemu dengan ulama besar, Imam al-Haramain
al-Juwaini, yang merupakan ikon aliran Asy’ariyah. Madrasah Nizamiyah sendiri
didirikan oleh perdana menteri Nizamul Mulk yang hidup pada masa Dinasti
Abbasiyah.
Pergolakan politik pada saat Dinasti Abbasiyah
cukup tajam dan meningkat, mulai dari pertarungan ideologi antara aliran Syi’ah
dan Sunni sampai perebutan kekuasaan antara orang-orang yang berkebangsaan
Arab, Persi, dan Turki. Periode pertama kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di tangan
khalifah secara penuh, sedangkan periode selanjutnya, kekuasaan itu berada di
bawah perintah orang atau kebangsaan lain.
Badri Yatim, mengutip pendapat Gajane,
mengatakan bahwa,
Periode pemerintahan Bani Abbas, menurut para sejarawan,
dibagi menjadi lima
periode. Periode pertama (132-232 H/750-847 M) disebut pengaruh Persia
pertama. Perode kedua (232-334 H/847-945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama. Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut masa pengaruh Persi
kedua. Masa keempat (447-590 H/1055-1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk
dalam pemerintahan Bani Abbasiyah, biasanya masa ini disebut dengan masa
pengaruh Turki kedua. Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M) masa khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.[14]
Kembali pada persoalan di atas, sesuai dengan
periode pemerintahan Bani Abbas, Imam al-Ghazali hidup pada masa atau periode
keempat (masa disintegrasi) dari periode pemerintahan Abbasiyah yaitu pada masa
dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan. Adapun pusat pemerintahan Abbasiyah
saat itu berada di Baghdad.
Pada saat dinasti Bani Saljuk memegang
kekuasaan pemerintahan Abbasiyah, kewibawaan dalam bidang agama dikembalikan
setelah sekian lama “dirampas” oleh orang-orang Syi’ah, dinasti-dinasti kecil
yang semula memisahkan diri kembali mengakui kedudukan pemerintah pusat,
Baghdad, bahkan stabilitas dan keutuhan keamanan untuk membendung faham Syi’ah
terus dijaga. Keadaan tersebut tampak terutama pada saat Nizamul Mulk menjadi
perdana menteri.
Namun demikian, di tengah kemajuan yang
menggembirakan itu, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, yaitu
terbunuhnya perdana menteri Nidzamul Mulk dan
Sultan Malik Syah. Dua orang pentolan Dinasti Saljuk itu mati di tangan
pembunuh yang dibayar oleh Hasan Shabbah, salah seorang pimpinan Syi’ah
Bathiniyah dan merupakan teman satu sekolah dengan Nizamul Mulk saat itu.
Tidak hanya itu, aliran Syi’ah Bathiniyah yang
poliknya berkiblat pada Negara Fatimiyah di Mesir, semakin melancarkan aksi
teror pembunuhannya pada saat Khalifah Muqtadi meninggal dunia dan digantikan
oleh Khalifah Mustadzir.
Zainal Abidin mengatakan bahwa,
Imam al-Ghazali hidup pada saat terjadi goncangan politik
yang sangat hebat. Pada tahun lahirnya, 450 H. terjadilah perebutan kekuasaan
atas ibu kota Baghdad antara jenderal Basasiri yang pro
Syi’ah dengan Thogrol Bey, sultan yang pertama dari pemerintahan Seljuk.
Pada tahun 478 H., dalam usianya meningkat 28 tahun,
terjadilah buat pertama kalinya bentrokan bersenjata antara tentara Abbasiyah
dengan laskar pemerintah tandingan Fatimiyah di dalam pengepungan kota
Damaskus, yang berakhir dengan mundurnya tentara penyerbu ke Mesir.
Dan akhrnya pada tahun 485 H., sewaktu al-Ghazali menduduki
jabatan sebagai penasihat agung pemerintahan Saljuk dan presiden dari
Universitas Nizamiyah Baghdad, terjadi lagi pembunuhan gelap terhadap Perdana
Menteri Nidzamul Mulk dan kemudian diikuti dengan matinya sultan Malik al-Syah
yang semuanya dilakukan oleh golongan Bathiniyah dari partai ilegal Syi’ah.
Tidak lama kemudian pada tahun 487 H. terjadi pergantian
pimpinan Negara dari tangan khalifah ke XXVII Muqtadi yang meninggal dunia
kepada Khalifah Mustazhir. Dan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh khalifah
adalah meminta Imam al-Ghazali supaya menulis buku untuk mempertahankan
pemerintahan Abbasiyah yang sah dan membasmi partai ilegal Syi’ah yang telah
mengacau Negara.[15]
Karena kegoncangan batinnya yang sangat hebat
menghadapi peristiwa-peristiwa yang berturut-turut maka Imam al-Ghazali jatuh
sakit selama enam bulan. Dengan alasan mengobati penyakitnya, ia meninggalkan Baghdad dan seluruh
jabatannya dengan hati yang kesal.
Bahkan Imam al-Ghazali mulai ragu dengan jalan
yang ditempuhnya selama itu. Ia bertanya apakah jalan yang ditempuhnya sudah
benar atau belum, atau salah? Pada akhirnya ia kemudian menempuh jalan untuk
mengasingkan diri dari keramain manusia dan menfokuskan diri untuk berkhalwat
dan beribadah kepada Allah.
Selama sepuluh tahun Imam al-Ghazali berkhalwat
dan menjalani hidup yang penuh dengan nuansa asketik dan pada akhirnya ia
menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang mengelayuti hatinya selama itu,
tasawuf. Ia berkesimpulan bahwa pengetahuan yang diperolehnya dengan panca
indera seringkali salah dan berdusta. Dan tasawuflah yang kemudian mampu
menghilangkan rasa syak yang menyelimuti hatinya. Pengetahuan yang diperoleh
melalui kalbu ternyata membuat ia merasa yakin mendapat pengetahuan yang benar.
Nah, dari beberapa pemaparan singkat di atas
terkait dengan keadaan masyarakat Islam sudah mengalami kemunduran. Dalam
bidang politik, kerajaan Abbasiyah telah sedemikian rapuh. Dalam bidang
kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami zaman kemajuan pada masa
sebelumnya, kini mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan
kepribadiaannya.
Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu agama
Islam dirasakan Imam al-Ghazali telah mati dalam jiwa umat Islam sehingga perlu
dihidupkan kembali sebagaimana tercermin dalam kitab Ihya’nya. Di
bidang-bidang lain, seperti bidang intelektual, moral dan agama secara umum
juga mengalami kemerosotan dan kemunduran.
Di samping itu, berkuasanya Bani Saljuk yang
mengganti Dinasti Buwaihi pada pertengahan abad XI Masehi, kendati sama-sama
berpaham Sunni dengan kekhalifahan di Baghdad, ternyata tidak mampu
mengembalikan kekuatan politik yang cukup berarti sebab hanya bertahan kurang
lebih tiga puluh tahun. Memang selama masa tersebut dapat dikatakan sebagai
masa kejayaan Dinasti Saljuk dan berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan
ketertiban yang memungkinkan berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
sehingga rakyat dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Namun kekacauan
akhirnya timbul kembali yang bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana Menteri
Nizamul Mulk dan Sultan Malik Syah yang hanya berselang satu bulan.
Dengan tiadanya dua orang kuat Dinasti Saljuk
ini, maka makin berpeluang pada kelompok-kelompok oposan yang telah lama
memusuhi Dinasti Saljuk seperti kelompok ekstrimis Syi’ah yang berafiliasi
dengan khilafah Fatimiyah di Mesir. Hal itu kemudian menyebabkan lumpuhnya
kekuasaan Dinasti Saljuk, utamanya setelah dinasti itu terpecah-pecah menjadi
kekuatan-kekuatan kecil dampai akhirnya membawa pada kehancuran.
Pada saat Dinasti Saljuk sudah mengalami
kemunduran dan lemahnya kekuasaan politik serta goyahnya stabilitas nasional,
Imam al-Ghazali hidup dan berjihad menegakkan kembali nilai-nilai keIslaman
dalam diri umat. Dengan demikian tidak mengheranka apabila latar belakang
kondisi sosial di atas mewarnai pemikiran dan perjuangannya. Yang jelas, pada
masa kehidupan dan perjuangannya, kondisi umat telah mengalami kemunduran dalam
berbagai aspeknya.
Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang
mengitari masa hidup Imam al-Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya
kepekaan dan ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif
dengan zamannya yang penuh ketegangan dan fragmentasi sosial politk dan alam
pikiran yang tidak terkontrol dan kurangnya sikap tasamuh di antara sesama
muslim, Imam al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil
keputusan untuk menentukan pilihan dengan sikap realistis dan mantap. Di
menempuh jalan tasawuf sebagai fondasi teologisnya.
3.
Karya-Karya Imam al-Ghazali
Adalah sebuah keistimewaan yang besar dan luar
biasa dari diri Imam al-Ghazali bahwa beliau merupakan seorang penulis yang
sangat produktif. Di dalam setiap masa hidupnya Imam al-Ghazali terus menerus
menulis. Sehingga ratusan kitab telah keluar sebagai hasil karyanya dan
dijadikan pedoman oleh sebagian umat Islam.
Namun demikian, karena keluasan ilmu yang
dimiliki oleh beliau, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan
spesialisasi apa yang digelutinya. Zainal Abidin Ahmad mengatakan bahwa di
dalam dunia karang mengarang, Imam al-Ghazali terkenal sebagai seorang
pengarang yang serba ahli. Di dalam berbagai lapangan, dia menulis secara luas
dan tepat, dan begitu mendalamnya sehingga di merupakan orang ahlinya mengausai
yang menguasai persoalan itu di dalam segala hal.[16]
Adapun kitab-kitab Imam al-Ghazali yang paling
terkenal, sebagaimana diungkapkan oleh Zainal Abidin, adalah sebagai berikut:
a.
Dalam Bidang Filsafat
1) مقاصد الفلاسفة
Sebagai karangannya yang pertama yang
ditulisnya sewaktu pikirannya masih segar dalam usia di sekitar 25-28 tahun.
Isinya menerangkan soal-soal filsafat menurut wajarnya, dengan tiada kecaman.
2) تهافة الفلاسفة
Dikarangnya sewaktu dia berada di Baghdad, dalam kekacauan
oleh paham skeptis yang sangat hebat, dalam usia 35-38 tahun. Buku ini berisi
kecaman yang sangat hebat terhadap ilmu filsafat yang sudah menggemparkan ilmu
pengetahuan.
3) المعارف العقلية
Naskah buku in terdapat dalam perpustakaan
Lytton di Aligarh University,
India;
perpustakaan Kotapraja di Iskandaiyah. Buku itu diterbitkan oleh Darul Fikri di
Damaskus pada tahun 1963 di bawah penelitian Abdul Karim al-Utsman.
Sebagaimana namanya, buku ini berisi dan
mengungkapkan asal-usul ilmu yang rasional dan kemudian apa hakekatnya dan
tujaun apa yang dihasilkannya.
b.
Dalam Bidang Pembangunan Agama
1) إحياء علوم الدين
Kitab ini dikarang setelah dia berada kembali
di Naisabur dalam usia 50 tahun, sesudah skeptisnya habis dan jiwanya tenteram
kembali. Kitab inilah yang menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang,
merupakan jalan keluar dari berbagai faham dan aliran.
2) المنقذ من الضلال
Kitab ini dikarang setelah tiga puluh tahun di
dalam kebimbangan dan merupakan sumber dari kehidupan Imam al-Ghazali. Sebuah
kitab yang berisi tentang autobiografi, tetapi tepatnya bukan hanya
autobiografi. Ia memberikan suatu analisa yang intelektuil mengenai
perkembangan spirituilnya, dan juga memberi alasan-alasan di dalam memberikan
pandangan bahwa ada suatu pengertian yang lebih tinggi dari pengertian
rasional, yaitu kepada para nabi ketika Tuhan mengungkapkan kebenaran
kepadanya.
3) منهاج العابدين
Kitab ini merupakan kitab yang terakhir yang
ditulis oleh Imam al-Ghazali yang berisi tentang nashihat yang terakhir untuk
segenap manusia. Kitab ini diterbitkan di Mesir berulang kali, ada tulisan
tangan di Berlin, Paris, dan al-Jazair. Kitab ini ada
ringkasannya dan syarahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
c.
Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf
1) ميزان العمل
Kitab ini mendampingi kitab Ihya, bahkan isinya
lebih teliti dan merupakan kesimpulan dari kitab Ihya. Imam al-Ghazali sendiri
mengungkapkan bahwa kebanyakan isi dari kitab ini adalah memakai sistem
tasawuf.
2) كيمياء السعادة
Dalam kitab ini terdapat beberapa persoalan
etika yang dibicarakannya dari perspektif praktis dan agama. Kitab ini telah
banyak diterbitkan sebagai ilmu moral Islam, tetapi sebenarnya mengandung lebih
banyak uraian-uraian secara praktis menurut hukum dari pada ilmu mural secara
ilmiah atau filsafat.
3) كتاب الأربعين
Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip agama
tentang atau mengenai soal-soal akhlak-tasawuf.
4) التبر المبسوك فى نصيحة الملوك
Artinya, mas yang sudah ditata untuk menasihati
para penguasa. Kitab ini berisi soal akhlak di dalam hubungannya dengan
pemerintahan.
5) المستصفى فى الأصول
(keterangan yang sudah dipilih mengenai soal
pokok-poko ilmu hukum).
6) مشكاة الأنوار
Artinya lampu yang bersinar banyak. Kitab ini
berisi tentang ilmu akhlak dalam hubungannya dengan ilmu akidah dan keimanan.
7) المنقد من الضلال
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini membahas
akhlak dalam hubungannya dengan ilmu psikologi.
8) أيها الولد
Kitab ini berisi tentang nasihat yang ia tulis
untuk seorang temannya yang berisi tentang amal perbuatan dan tingkah laku
sehari-hari serta banyak mambahas tentang cara-cara dalam proses belajar.
9) الأدب فى
الدين
Adab
sopan keagamaan. Kitab ini mengupas tentang akhlak di dalam hubungannya dengan
etiket kehidupan manusia.
10) الرسالة اللدنية
Risalah
tentang soal-soal bathin. Kitab ini mengupas tantang hubungan akhlak dengan
soal-soal kerohanian, termasuk juga soal-soal wahyu, bisikan kalbu, dan
lainnya.
d.
Dalam Bidang Politik
1) المستظهرى
Kitab ini dikarang pada tahun 488 H. di Baghdad atas kehendak dari
khalifah al-Muqtadi yang baru dinobatkan setahun sebelumnya. Isi kitab ini
adalah membongkar prinsip-prinsip politk yang berbahaya dari partai ilegal
Syi’ah Bathiniyah pada saat itu.
2) المنقذ من الضلال
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini berisi
tentang autobiografi, namun di dalamnya juga berisi tentang revolusi mental.
3) إحياء علوم الدين
Kitab ini merupakan puncak arangan Imam al-Ghazali
mempunyai fungsi yang pemting pula tentang teori kenegaraan. Kitab ini pula
merupakan inspirasi yang diperoleh selama petualangan sebagai kesimpulan dari
pandangan revolusi yang sedang bergejolak di Asia.
4) التبر المسبوك فى نصيحة الملوك
Kitab ini dikarangnya sebagai suatu pegangan
untuk Sultan Giyastuddin yang mengantikan kedudukan ayahandanya, Sultan Malik
Syah, sahabat Imam al-Ghazali.
5) سر العالمين
Sebagaimana namanya, kitab ini berisi tentang
perbedaan antara dua dunia yang harus dipilih oleh para pembesar dan rakyat
semuanya: antara dunia keadilan dan kemakmuran yang menuju kepada akhirat, dan
dunia kezaliman dan kekacauan yang semata-mata keduniaan belaka.
6) فاتحة العلوم
Kitab
ini pada hakikatnya adalah untuk membuka pintu kepada berbagai ilmu
pengetahuan, sebagai tercantum pada namanya. Namun dalam bagiannya terdapat
ilmu politik.
7) الإقتصاد فى الإعتقاد
Kitab
inimenyatakan dasar-dasar keimanan yang harus dimiliki oleh seorang pemegang
pemerintahan. Kitab ini juga membahs tentang politik pemerintahan terkait
dengan soal-soal teologi.
8) الوجيز
Kitab ini menguraikan tentang hukum Islam
secara praktis sehingga dianggap sebagai kitab pegangan dalam ilmu hukum.
9) سلوك السلطنة
Kitab
ini berisi tentang bimbingan bagi kepala Negara dalam menjalankan roda
pemerintahannya.
10) بداية الهداية
Kitab
ini berisi tentang ajaran adab dan kesopanan di dalam hidup manusia, baik dalam
hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat, termasuk
soal pemerintahan.
4.
Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali
Imam
al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam bebearapa kelompok yang masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda antara satu macam dengan yang lain. Di
samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dapat memberikan
nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan bagi pelajar.
Menurut
Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Usman Said, Imam
al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu
sebagai obyek. Dari segi pertama, ilmu dibagi menjadi ilmu hissiyah,
ilmu aqliyah, dan ilmu ladunni.[17]
Kemudian
ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek. Ilmu-ilmu itu dibagi dalam tiga
golongan pokok yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang
terpuji dalam batas-batas tertentu.[18]
Ilmu
yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah atau tidak
bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu
perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu diamalkan
oleh manusia akan mendatangkan mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran
adanya Tuhan. Dan karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Adapun
ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya
dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan keridloannya. Ilmu dalam golongan ini misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
Selanjutnya,
ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, adalah
ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya pasti menyebabkan
kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin mendatangkan kekufuran,
seperti ilmu filsafat.
Indikasi
dari ilmu yang tercela, sebagaimana dikutip oleh Hasan Sulaiman adalah ada
tiga:
Pertama,
ilmu-ilmu ini kadang kala dapat menimbulkan mudarat pada pemiliknya atau orang
lain, seperti ilmu sihir, guna-guna yang bertujuan mencelakakan orang lain.
Ilmu sihir seringkali mencoba memisahkan antara sesama manusia yang akrab atau
saling mencintai, menebarkan rasa untuk membengkitkan kejahatan, bukan untuk
menimbulkan kebaikan.
Kedua, kadangkala
ilmu itu merusak pemiliknya, seperti ilmu nujum, yang oleh Imam al-Ghazali
dibagi ke dalam dua kelompok; ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab)
atau falak yang menurut pandangan Imam al-Ghazali tidak tercela. Berikutnya
ilmu nujum istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib
berdasarkan petunjuk bintang. Kata Imam al-Ghazali, ilmu nujum jenis ini
tercela oleh syara’ sebab bisa jadi ia membuat manusia menjadi ragu pada Allah,
lalu ia menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan
bakal terjadi sesuatu di langit atau falak dengan berpedoman pada keyakinan
langsung atau melalui studi tentang bintang-bintang, kemudian pas pada waktu
terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada
yang ditentukannya sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub akan kemampuan
tukang nujum itu. Ia karenanya akan percaya dengan ucapan tukang nujum.
Kesempatan ini, bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk mengakaui diri
sebagai nabi, memperluas pengaruhnya di tengah-tengah umat, menunggangi mereka
untuk melayani kepentingan-kepantingannya yang biasanya cenderung tidak baik,
sehingga membuat kekacauan dan kearifan meluas ke mana-mana.
Ketiga, ada
kalanya menyelami sebagian ilmu itu tidak membawa manfaat, karena ilmu itu
dimaksudkan tidak terpuji. Ada
kalanya pula mempelajari ilmu seperti itu mengandung suatu bentuk kekufuran
kepada Allah. Contoh ilmu untuk tersebut, kata Imam al-Ghazali, adalah
memplajari bagian-bagian rumit dari suatu ilmu sebelum memahami
bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari rahasia-rahasia ilahiyat,
bagian dari ilmu filsafat, seperti ilmu metefisika.[19]
Jadi,
dalam perspektif Imam al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan
apapun yang dipelajari harus dikaitkan dengan moral dan nilai guna. Dan karena
itu, selanjutnya melihat ilmu dalam perspektif nilai dan membaginya dalam dua
kelompok.
Berdasarkan
ketiga kelompok ilmu tersebut, Imam al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut
menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu ilmu yang wajib
diketahui oleh setiap muslim (fardlu ‘ain) dan ilmu yang fardlu
kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi
harus ada di antara orang Islam yang mempelajarinya.
Ilmu
yang tergolong fardlu ‘ain adalah ilmu agama dan macam-macamnya dengan
memulai kitab-kitab Allah kemudian diikuti pokok-pokok ibadah seperti masalah
shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.
Sedangkan
ilmu yang tergolong fardlu kifayah menurut Imam Ghazali adalah:
Segala ilmu yang
digunakan untuk tegaknya perkara-perkara dunia seperti ilmu kedokteran. Karena
hal itu merupakan hajat yang pokok bagi kesehatan badan. Ilmu hitung karena itu
penting dalam mu’amalat, pembagian wasiat, warisan dan lain-lain. Apabila
negara tidak ada orang yang menegakkannya maka berdosalah seluruh warga negara,
bila salah seorang menegakkannya maka dapat mencukupi dan gugurlah kewajiban
yang lain.[20]
Adapun
ilmu seperti tani, tenun, politik, dan kerja membekam serta kerja menjahit atau
keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat merupakan jenis ilmu yang
tergolong pada fardlu kifayah.[21] Adapun mendalami ilmu
hitung dan kedokteran dan hal-hal lain yang tidak dibutuhkan, tidak merupakan
fardlu, tetapi utama, selanjutnya Imam al-Ghazali berkata, adapun yang
terhitung utama namun tidak fardlu adalah mendalami ilmu hitung secara
mendetail dan hakikat kedokteran, dan lain-lain yang tidak dihajatkan, akan
tetapi berfaedah menambah kemampuan di dalam kadar yang dibutuhkan.[22]
Selanjutnya
Imam al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan spesialisasi menjadi dua
bidang[23], yaitu: ilmu syari’ah dan
ilmu yang bukan syari’ah. Adapun ilmu syari’ah semuanya terpuji, dan ia
membaginya dalam empat bagian, yaitu ushul, furu’ muqaddamat, dan mutammimat.
Ilmu
ushul terbagi dalam empat bidang ilmu, yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ummah,
dan atsar sahabat. Ilmu furu’ yaitu ilmu fiqih, akhlak, dan hal ihwal hati.
Ilmu muqaddamat terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu yang digunakan sebagai alat untuk
mengkaji ilmu ushul.[24]
Ilmu
mutammimat yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an seperti ilmu
tajwid, tafsir yang berkaitan dengan arti, nasikh mansukh, ‘am dan khas, dan
dhahir dan cara untuk mempergunakannya, ilmu yang mengkaji tentang khabar-khabar
dan sejarah kehidupan sahabat.[25]
Sedangkan
ilmu yang bukan syari’ah, Imam al-Ghazali membaginya dalam tiga bagian, yaitu
ilmu yang terpuji; ilmu mubahah; dan ilmu madzmumah. Ilmu yang terpuji adalah
ilmu yang diperlukan dalam kehidupan manusia, baik dalam penghidupan atau dalam
pergaulannya. Seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan ilmu keterampilan.
Ilmu-ilmu
mubah yaitu ilmu-ilmu kebudayaan seperti sejarah, sastra dan sya’ir-sya’ir yang
tidak ada kelemahan di dalamnya seperti ilmu yang mendorong pada keutamaan dan
akhlak yang suci.
Ilmu-ilmu
yang tercela yaitu ilmu yang merugikan dirinya dan merugikan orang lain apabila
mempelajari dan mempraktikkannya seperti ilmu sihir, azimat dan permainan
sulap, dan sebagian dari ilmu filsafat.
5.
Pendidikan dalam
Pemikiran Imam al-Ghazali
Imam
al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian
yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan
corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Selain itu, menurut Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, Imam al-Ghazali memiliki pemikiran dan pandangan yang
luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan
aspek akhlak semata-mata tetapi juga keimanan, sosial, jasmaniah, dan
sebagainya.[26]
Pandangan
Imam al-Ghazali tentang pendidikan yang sarat dengan nuansa sufistik itu bisa
dilihat dari konsepsi dia mengenai tujuan, pendidik, anak didik, dan kurikulum
pendidikan.
Imam
al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan para ahli pendidikan yang
lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan
kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.[27]
Samsul
Nizar mengatakan bahwa,
Pemikiran tentang
tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu: tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri
sebagai wujud ibadah kepada Allah; tujuan utama pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlak yang baik; tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan
peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[28]
Menurut
Imam al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya.[29] Sedangkan seorang
pendidik menurut Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Jumbulati
dituntut untuk memiliki sifat-sifat keutamaan antara lain:
Guru harus
mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus mengingatkan
muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus
memberikan contoh yang baik, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai
dengan tingkat intelektual dan daya serap anak didiknya, guru harus
memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak, guru hendaknya mampu
mengamalkan ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus
mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya.[30]
Adapun
konsep Imam al-Ghazali mengenai murid, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin
Nata, adalah murid harus memuliakan guru, merasa satu bangunan dengan murid
lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat
mengacaukan pikirannya, mempelajari berbagai jenis ilmu yang bermanfaat.[31]
Nizar
mengungkapkan tugas dan kewajiban yang yang harus dimilki oleh seorang murid,
sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali, antara lain:
a.
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak yang baik.
b. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah
ukhrawi.
c.
Bersikap rendah hati dengan cara menanggalkan
kepentingan pendidikan.
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik
untuk ukhrawi maupun duniawi.
f.
Belajar dengan berharap atau berjenjang
dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar
(abstrak) atau dari ilmu-ilmu fardlu ‘ain manuju ilmu fardlu kifayah
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara
mendalam.
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.
Memperioritaskan ilmu diniyah sebelum
memasuki ilmu duniawi.
j.
Mengenal nila-nilai pragmatis bagi suatu ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan,
memsejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.[32]
Selanjutnya,
kurikulum yang dikehandaki Imam al-Ghazali dapat dipahami dari pendangannya
mengenai ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa ilmu
dalam perspektif Imam al-Ghazali dibagai dalam dua bagian besar: ilmu sebagai
proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki tiga bagian,
yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang
terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini
kemudian Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu
‘ain dan ilmu yang fardlu kifayah.
Menurut
Mursi, sebagaimana dikutip Nizar, dari beberapa macam ilmu yang telah
disebutkan tadi, Imam al-Ghazali mengusulkan beberap ilmu pengetahuan yang
harus dipelajari di sekolah, yaitu:
a.
Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih,
hadits dan tafsir.
b. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya,
karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
c.
Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu
kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka ragam jenisnya termasuk juga
ilmu politik.
d. Ilmu kebudayaan, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabang
filsafat..[33]
Jadi, kurikulum yang menjadi titik perhatian Imam
al-Ghazali adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena
model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, karena
dapat menenangkan jiwa dan dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Jika
diamati, corak pendidikan yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali akan tampak
nuansa pendidikan yang sangat kental dengan nilai-nilai tasawuf yang ia
gandrungi. Artinya, bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Imam
al-Ghazali sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
Namun
demikian, pendidikan yang coba diformulasikan oleh Imam al-Ghazali merupakan
konsep yang ia kembangkan dari sebuah dialektika dengan zaman yang dihadapinya
pada waktu itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang memerlukan
sebuah penyempurnaan. Seperti posisi guru yang menurut Imam al-Ghazali
merupakan sentral dalam pendidikan. Pada zaman sekarang guru dilihat sebagai
fasilitator saja.
6.
Pengaruh Imam
al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan
Imam
al-Ghazali sebagai tokoh yang memiliki kemampuan multi dimensional dalam arti
beragam disiplin ilmu yang dia kembangkan. Ide-ide yang dia sajikan secara
kritis senantiasa dihubungkan atau dilihat dalam perspektif agama.
Pandangan-pandangannya sarat dengan nuansa sufistik. Hal tersebut menyebabkan
Imam al-Ghazali mempunyai arti tersendiri dalam dunia pendidikan.
Di
Indonesia, pengaruh dari pandangan dan ide-ide Imam al-Ghazali yang sarat
dengan nuansa sufistik itu, bisa dilacak dari lembaga-lembaga pendidikan agama,
khususnya pondok pesantren, yang banyak menggunakan referensi karangannya dalam
berbagai aktifitas pendidikannya. Salah satu karangannya yang banyak dikonsumsi
oleh kalangan pesantren adalah kitab احياء علوم الدين.
Paling
tidak, pengaruh yang ditimbulkan oleh Imam al-Ghazali adalah bahwa seseorang
kemudian menganggap perlu membaca karya-karyanya, terutama yang berkaitan
dengan persoalan pendidikan. Dari hasil telaah tersebut kemudian
diinternalisasi dalam pola kognisi seseorang dan pada gilirannya, pemikiran
Imam al-Ghazali itu akan melandasi pola pikir, sikap, dan tingkah laku
seseorang sebagai hasil dari adanya pendidikan.
B.
Pendekatan dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali
dalam Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi
1.
Arti Penting Pekerjaan yang Bermanfaat
Mengenai pentingnya pekerjaan (termasuk juga
belajar dan mencari ilmu) yang bermanfaat, Imam al-Ghazali berkata:
Nak, ada sebuah nasihat yang dipakai Rasulullah untuk
menasihati umatnya. Beliau bersabda: “Tanda-tanda penolakan Allah atas seorang
hamba adalah apabila hamba itu sibuk mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Dan barangsiapa yang
menghabiskan umurnya tanpa dipergunakan untuk beribadah kepada Allah, maka
pantaslah orang tersebut akan menyesal sepanjang waktu. Dan barangsiapa yang
melewati usia empat puluh tahun, namun kebaikan amalnya tidak mendominasi
kejelekan amalnya, maka bersiaplah ia untuk masuk masuk ke dalam Neraka. Dalam
nasihat ini, ada bekal yang cukup bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan.”[34]
2.
Motivasi dalam Belajar
Motivasi seseorang dalam belajar, menurut Imam
al-Ghazali, sebagai berikut:
Nak, sudah berapa banyak malam yang kamu gadangkan nuntuk
mengulang-ngulangi kajian ilmu dan menelaah kitab hingga kamu haramkan tidur
untukmu. Aku tidak tahu apa motivasi di balik itu. Jika motivasinya adalah untuk memperoleh harta benda dan
kedudukan serta untuk membanggakan diri sesama teman-teman, maka sungguh kamu
akan celaka. Tetapi jika niat kamu dalam belajar adalah untuk menghidupkan
syariat Nabi Muhammad dan untuk membersihkan akhlakmu serta untuk menghilangkan
nafsu ammarah, maka sungguh kamu akan beruntung. Tepatlah apa yang
disenandungkan oleh seorang penyair dalam dalam sebuah bait berikut:
Begadang mata untuk kepentingan selain
wajahMu adalah sia-sia
Dan tangis mereka untuk sesuatu yang
hilang selainMu adalah kebatilan
Nak, hiduplah sesukamu toh kamu
akan mati juga. Cintailah orang sesukamu sebab kamu toh akan berpisah
dengannya. Dan berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya kama
akan menuai ganjarannya.
Anakku, apapun yang kamu peroleh dari
mengkaji ilmu kalam, ilmu debat, kedokteran, administrasi, sya’ir, astrologi, ‘arud,
nahwu, dan ilmu sharf, jangan sampai kau sia-siakan umurmu
untuk selain Allah yang Agung. Aku pernah melihat dalam kitab Injil sebuah
ungkapan Isa As.: “Sejak mayat diletakkan di atas peti jenazah hingga
diletakkan di bibir kubur, Allah melontarkan empat puluh pertanyaan dengan
segala keagungnaNya. Sungguh, pertanyaan pertama yang Dia ajukan adalah:
‘HambaKu, telah kau sucikan pandangan makhluk bertahun-tahun, tapi mengapa tak
kau sucikan pandanganKu sesaatpun, padahal setiap hari Aku melihat ke kedalamn
hatimu. Mengapa kau berbuat demi selainKu padahal engkau bergelimang dengan
kebaikanku, atau engkau tuli dan tak mendengar!”[35]
3.
Kriteria dalam Memilih Ilmu
Adapun kriteria ilmu yang
harus dipelajari oleh seorang siswa dalam perspektif Imam al-Ghazali adalah:
Ketahuilah! Sesungguhnya ilmu yang hari ini (baca: di
dunia) tidak menjauhkanmu dari perbuatan maksiat dan tidak membawamu untuk taat kepada Allah, kelak (di akhirat) ilmu
itu tidak akan menjauhkanmu juga dari api neraka jahannam.[36]
Anakku, inti dari ilmu adalah ketika kamu mengetahui apa itu taat dan ibadah.
Ketahuilah! Ketaatan dan ibadah adalah mengikuti Allah Sang Legislator dalam
hal perintah dan larangan, dengan ucapan sekaligus tindakan. Artinya apa yang
kamu ucapkan, lakukan, dan apa yang kamu tinggalkan haruslah dalam koridor
menuruti syari’ah. Maka seandainya kamu berpuasa pada hari raya ‘ied dan
hari-hari tasyriq maka kamu telah bermaksiat. Begitu juga apabila kamu shalat
dengan memakai baju gasab meski untuk kepentingan ibadah sekalipun,
maka kamu telah berdosa.[37]
4.
Kriteria dalam Memilih Guru
Imam al-Ghazali juga menjelaskan tentang
karakteristik seorang pendidik. Menurutnya,
Pendidik harus terdiri orang yang bisa membuang akhlak
tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan menggantinya dengan
akhlak yang baik. Makna tarbiyah di sisni mirip dengan tindakan seorang petani
yang mencabuti duri dan menyiangi tumbuhan-tumbuhan liar di antara tanaman agar
tanamannya baik dan hasilnya sempurna. Karena itu murid harus memiliki seorang
guru yang mengarahkan dan membimbing anak didiknya menuju jalan Allah. Sebab
Allah telah mengutus hamba-hambaNya sebagai Rasul utusan untuk membimbing
mereka menuju jalan Allah. Ketika Rasulullah telah tiada, maka peran ini
kemudian dipegang oleh pengganti-pengganti beliau.
Adapun syarat kualitatif yang harus dimilki oleh guru
antara lain, pintar (alim), namun tidak setiap orang yang alim di sini layak
memegang peranan pengganti Rasul. Maka di sini saya akan jelaskan kepadamu
sebagian tanda-tanda seorang guru secara garis besar sehingga tidak ada yang
seenaknya mengaku-ngaku sebagai guru. Tanda-tanda guru itu antara lain: tidak
tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada
yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw., memperbaiki diri dengan riyādah
dengan menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan
shalat, sedekah, dan puasa.
Di samping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak
yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar, membaca
salawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut,
rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak
terburu-buru, dan lain-lain. Hal-hal seperti telah disebutkan tadi merupakan
cahaya dari cahaya-cahanya Nabi Saw. yang pantas untuk diteladani. Namun
demikian, seorang guru yang berkualifikasi yang demikian itu sangat langka dan
lebih jarang dari belerang merah. Hanya orang yang beruntung saja yang bisa
menemukan guru sekaliber yang kami sebutkan tadi. [38]
5.
Akhlak terhadap Guru
Sejalan dengan karakteristik guru yang telah
disebutkan di atas, maka seorang murid harus menghormati guru tersebut baik
secara lahir maupun batin. Lebih lanjut Imam al-Ghazali berkata:
Dan siapa saja yang menjumpai seorang guru dengan kriteria
sebagaimana telah disebutkan di atas, maka ia harus menghormatinya lahir dan
batin.
Aktualisasi dari penghormatan lahiriyah, misalnya dengan
tidak mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru,
tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, itupun jika
sudah selesai harus cepat mengangkatnya, tidak memperbanyak shalat sunnah di
hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas
kemampuannya.
Sedangkan aktualisasi penghormatan batiniyah dengan tidak
mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun
tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit, jika memang tidak mampu berbuat
yang demikian, ia sebaiknya tidak berinteraksi dengan guru tersebut sehingga ia
rasa mampu menerimanya secara lahir dan batin. Selain itu, murid juga harus
menjaga diri dari berteman dengan rekan yang tidak baik tingkah lakunya demi
membatasi pengaruh setan berwujud jin dan manusia dari piring hatinya sehingga
ia bersih dari kotoran setan. Dan dalam segala kondisi, ia harus lebih
memperioritaskan kefakiran diri daripada kekayaan.[39]
6.
Perlunya Shalat Tahajjud
Selain itu, Imam al-Ghazali menyarankan kepada
orang yang belajar dan mencari ilmu agar jangan meninggalkan shalat
tahajjud. Lebih lanjut ia berkata:
Alkisah
sekelompok sahabat melaporkan tentang Abdullah bin Umar pada Rasulullah Saw.
tentang keluasan ilmunya, maka Rasulullah berkata pada mereka, “Sebaik-baik
orang adalah dia seandainya dia juga rajin shalat malam.” Dalam kesempatan
lain Rasulullah pernah bersabda menasihati seorang sahabat, ”Hai fulan,
jangan kau banyak tidur di waktu malam hari, sebab banyak tidur malam
membiarkan pemiliknya menjadi faqir di hari kiamat.”
Anakku, firman
Allah yang berbunyi,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً
”Dan pada
sebagian malam hari bersembahyang tahjjudlah kamu” (Q.S. al-Isra’: 79),[40] adalah instruksi.
Lalu firman Allah
yang berbunyi,
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan di
akhir-akhir malam mereka memohon ampun (pada Allah)” (Q.S. al-Dzariyat:
18),[41] adalah kesyukuran.
Dan firman Allah
yang berbunyi,
وَالمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“Dan mereka
yang memohon ampun di waktu sahur” (Q.S. Ali Imran: 17),[42] adalah dzikir.
Rasulullah
bersabda: “Tiga suara yang disukai Allah Swt. adalah kokok ayam saat fajar
menyingsing, lantunan orang yang membaca al-Qur’an, dan suara orang-orang yang
memohon ampun di waktu sahur (sepertiga malam yang akhir).”
Sufyan al-Tsauri
menuturkan: “Sesungguhnya Allah menciptakan angin sahur yang membawa dzikir dan
istighfar ke pangkuan Sang Maha Penguasa lagi Maha Agung.” Tuturnya juga: “Pada
permulaan malam si Juru Panggil mengumandangkan penggilan dari bawah ‘Arsy:
Ingat-ingat! Bangunlah para hamba ahli ibadah, maka merekapun bangun dan
melaksanakan shalat sebagaimana kehendak Allah. Lalu pada pertengahan malam,
Sang Juru Panggil itu mengumandangkan panggilan: Ingat-ingat, bangunlah para
hamba yang taat dan ahli shalat, maka merekapun bangun dan melaksanakan shalat.
Maka ketika waktu sahur menjelang, Juru Panggil itu mengumandangkan penggilan:
Ingat-ingat, bangunlah para peminta ampunan, maka merekapun bangun dan
beristighfar memohon ampunan. Dan jika fajar menyingsing, Juru Panggil itu
mengumandangkan panggilan: Ingat-ingat, bangunlah orang-orang yang lalai, maka
merekapun bangun dari ranjang mereka seperti orang mati yang bangkit dari
kuburnya.”
Anakku,
diriwayatkan dalam wasiat-wasiat Lukman al-Hakim pada anaknya, beliau berpesan:
Anakku, jangan sampai ayam itu lebih cerdas darimu ketika ia berkokok di waktu
sahur dan engkau masih pulas tertidur.
Sungguh tepat dan
bagus orang yang menyenandungkan sya’ir:
Kawanan merpati
di dahan berkicauan di garba malam
Sementara aku di
sini malah tertidur
Demi rumah Allah
Aku telah
berdusta jika mengatakan sebaga perindu Allah
Kala
merpati-merpati itu selalu mendahuluiku menangis
Aku pikir aku ini
seorang pecinta berat Tuhanku
Namun aku tidak
menangis
Sementara
merpati-merpati itu menangis.[43]
7.
Perlunya Mengamalkan Ilmu yang Diperoleh
Selanjutnya, Imam al-Ghazali mengharuskan
seorang yang belajar juga untuk mengamalkan terhadap ilmu yang telah
diperolehnya. Ia berkata:
Anakku, ilmu
tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.[44] Yakinlah ilmu an sich
tidak akan bermanfaat apa-apa. Perumpamaannya seperti seorang laki-laki yang
memiliki sepuluh pedang model India
serta senjata-senjata lainnya yang sedang berada di tengah belantara hutan. Ia
termasuk laki-laki pemberani dan ahli perang. Tiba-tiba muncul di hadapannya
seekor singa besar yang sangat menakautkan. Coba bagaimana menurutmu?! Bisakah
segala macam senjata itu mengusir singa tersebut dari hadapannya tanpa ia hunus
dan menyabetkannya? Sudah jelas bahwa singa itu tidak akan lari kecuali jika
orang tersebut memainkan peadang tersebut dan menghunjamkannya. Ini seperi
seorang yang membaca dan mempelajari seratus ribu macam masalah keilmuan, namun
tidak mengamalkannya satupun padahal masalah-masalah itu tidak akan bermanfaat
apa-apa kecuali jika ia mengaktualisasikannya. Seandainya kamu belajar selama
seratus tahun dan telah kamu kaji seribu buku, kamu tetap tidak akan mendaptkan
belas kasih Allah kecuali dengan mengaktualisasikannya. Allah berfirman,
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Q.S. an-Najm: 39).[45]
Lalu firman Allah juga,
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَليَعْمَل عَمَلاً صَالِحاً
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh” (Q.S. al-Kahfi: 110).[46]
جَزَاء بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الفِرْدَوْسِ نُزُلاً.
خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلاً
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat
tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya” (Q.S. al-Kahfi: 107-108).[48]
Juga firman Allah,
إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
عَمَلاً صَالِحاً
Dan merujuk kepada hadits “Islam dibangun di atas lima: kesaksian bahwa
tiada tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, pelaksanaan shalat,
pembayaran zakat, puasa ramadlan, dan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu”.
Iman merupakan apresiasi lisan, justifikasi surga, dan aktualisasi rukun[50]
Janganlah kamu
mempunyai keyakinan seperti seorang filsuf yang menganggap dan mengklaim diri
bahwa ilmu yang telah ia pelajari akan menjadi kunci keselamatan baginya tanpa
harus bersusah payah mengamalkannya. Maha suci Allah dari ketidak tahuan
masalah ini. Jika seseorang mengkaji ilmu, lalu ia tidak mengamalkannya, maka
pasal-pasal hukuman akan lebih kuat menjeratnya. Rasulullah berdsabda: “Manusia
yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak
Allah berikan manfaat keilmuannya baginnya.” `
Alkisah al-Junayd –semoga Allah mensucikan batinnya- pernah
dimimpikan (oleh muridnya) setelah kematiannya, maka ditanyakanlah padanya,
“Apa kabar wahai Abu al-Qasim (al-Junayd)?” dia menjwaba: “Busuklah
ungkapan-ungkapan seperti itu. Binasalah isyarat-isyarat semacam ini. Tidak ada
yang bermanfaat bagi kita kecuali rakaat-rakaat kecil yang kita kerjakan di
tengah malam.”[51]
8.
Perlunya Sama Perkataan dan Perbuatan dengan Syara’
Kemudian, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa apa
yang diucapkan dan dikatakan oleh orang yang belajar harus sesuai dengan
syari’at. Ia berkata:
Anakku, ucapan dan tindakanmu harus sesuai dengan syari’at
sebab ilmu dan amal tanpa acuan syari’at adalah sesat. Jangan sekali-kali kamu
tertipu dengan kesesatan dan bencana besar sufisme, sebab untuk meniti jalan
ini diperlukan mujahadah, memotong kesenangan jiwa, dan membunuh hawa nafsu
dengan pedang riyādah, bukan dengan kemalangan dan kesia-siaan.
Ketahuilah, sesungguhnya lidah yang lancang dan hati yang tertutup dan penuh
dengan kelalaian dan syahwat adalah tanda dari sebuah penderitaan. Jika tidak
kamu bunuh nafsumu dengan keseriusan mujahadah, maka hatimu tidak akan bisa
hidup dengan diterangi cahaya-cahaya ma’rifat.[52]
9.
Kiat-kiat Agar Ilmu yang Dimiliki Tidak Menjadi Musuh pada
Hari Kiamat
Ada delapan macam kiat yang harus diperhatikan oleh orang yang
belajar, menurut Imam al-Ghazali, agar ilmu yang diperolehnya tidak menajadi
musuh pada hari kiamat. Selanjutnya, ia berkata:
Anakku, aku nasihati kamu dengan delapan hal yang jika kamu
terima niscaya ilmumu tidak akan menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak.
Laksanakan empat perkara dan tinggalkan empat perkara lainnya. Adapun hal-hal
yang harus kamu tinggalkan adalah:
Larangan pertama,
sebisa mungkin untuk tidak berdebat tentang suatu masalah dengan seseorang
karena efek dosanya lebih besar dari ekses manfaatnya. Debat adalah sumber
segala akhlak tercela seperti riyā’, iri, sombong, dengki, permusuhan,
tinggi hati, dan sebagainya. Memang, jika kamu terlibat masalah dengan orang
lain atau kaum dan kamu ingin menunjukkan yang benar sehingga kebenaran itu
tidak disia-siakan dan dikesampingkan, kamu boleh membahasnya
Larangan kedua yang
harus ditinggalkan adalah tidak boleh menjadi juru mau’izah dan juru
peringat karena banyak jebakan petaka di dalamnya. Kecuali jika memang telah
mengamalkan sebelumnya atas setiap apa yang ingin didakwahkan.
Larangan ketiga
yang harus ditinggalkan adalah jangan bergaul dengan kalangan eksekutif dan
lingkungan istana dan jangan pula memperhatikan mereka, sebab memperdulikan,
bergaul dan masuk dalam lingkungan mereka adalah petaka besar.
Larangan keempat, tidak boleh menerima hadiah dan pemberian
penguasa meskipun sudah jelas bahwa apa yang diberikan adalah halal. Sebab
ketamakan mereka telah merusak agama.
Adapun empat
perkatra yang harus diaktualisasikan dan dikerjakan adalah antara lain: pertama,
buatlah standar dalam berinteraksi dengan Tuhan yang jika hal itu dilakukan
oleh budakmu dalam berinteraksi denganmu, kamu akan menyukainya dan tidak ada
gerutu dan kemurkaan dalam hati atasnya.
Kedua, terapkan
standar minimal perlakuan pada manusia yang lain seperti kamu memperlakukan
dirimu sendiri.
Ketiga, telaahlah
disiplin ilmu yang sekiranya bermanfat langsung untuk perbaikan hati dan
penyucian jiwamu seolah usiamu tinggal sepekan saja. Dan yang ke empat,
jangan timbun keduniaan lebih dari keperluan hidup setahuan.[53]
10.
Perlunya Ikhlas
Seorang yang belajar dan menuntut ilmu juga
harus ikhlas. Menurut Imam al-Ghazali, ikhlas adalah,
Ketahuilah ikhlas adalah kamu menempatan segenap amalan
hanya demi Allah semata, dengan mengabaikan segala pujian manusia. Dan pujian
manusia itu kemudian melahirkan sifat riyā’. Maka cara menghindari dari
sifat riyā’ adalah dengan melihat mereka yang memuji sebagai sekedar
mengolok-olok atau memandang mereka sebagai benda mati yang tidak punya
kekuatan apa-apa. Namun, jika orang yang memuji itu dianggap memiliki kekuasaan
dan kehendak, maka seseorang tidak akan terhindar dari sifat riyā’.[54]
11.
Perlunya Tawakkal
Seorang murid juga harus memiliki sifat
tawakkal dalam belajar dan menuntut ilmu. Tawakkal, menurut Imam al-Ghazali
adalah,
Kamu bertanya tentang tawakkal, tawakkal adalah meneguhkan
keyakinan kepada Allah atas apa yang dia janjikan. Dengan kata lain, apa yang
telah ditakdirkan dan ditentukan oleh Allah pasti akan didapatkan meski seisi
dunia menghalangi untuk mendapatkannya, sedangkan apa yang tidak ditetapkan
oleh Allah tidak mungkin terjadi meskipun seisi dunia menolongnya.[55]
C.
Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan dalam Proses
Belajar Perspektif Imam al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhā al-Walad fī
Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min
Gayrihi.
1.
Motivasi
Motivasi
merupakan salah satu faktor internal yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini diyakini oleh Imam al-Ghazali dalam
ungkapannya:
Jika motivasinya adalah untuk memperoleh harta benda dan kedudukan serta untuk
membanggakan diri sesama teman-teman, maka sungguh kamu akan celaka. Tetapi
jika niat kamu dalam belajar adalah untuk menghidupkan syariat Nabi Muhammad
dan untuk membersihkan akhlakmu serta untuk menghilangkan nafsu ammarah, maka
sungguh kamu akan beruntung.[56]
2.
Pendidik
Guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan
profesional dalam menjalankan tugasnya akan berdampak baik bagi perkembangan
siswa dalam belajar. Untuk itu, guru yang diingini oleh Imam al-Ghazali adalah:
Pendidik harus terdiri orang yang bisa membuang akhlak
tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan menggantinya dengan
akhlak yang baik. Adapun syarat kualitatif yang harus dimilki oleh guru antara
lain, pintar (alim), tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan,
memiliki guru yang waspada yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw.,
memperbaiki diri dengan riyādah dengan menyedikitkan dalam makan,
bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan shalat, sedekah, dan puasa.
Di samping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak
yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar, membaca
salawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut,
rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak
terburu-buru, dan lain-lain.[57]
3.
Kurikulum
Begitu
juga dengan kurikulum merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan siswa dalam belajar. Kurikulum yang dikehendaki oleh Imam
al-Ghazali adalah kurikulum yang mampu menjadikan anak didik untuk taat beridah
kepada Allah, sesuai dengan perkataannya:
Ketahuilah! Sesungguhnya ilmu yang hari ini (baca: di
dunia) tidak menjauhkanmu dari perbuatan maksiat dan tidak membawamu untuk taat kepada Allah, kelak (di akhirat) ilmu
itu tidak akan menjauhkanmu juga dari api neraka jahannam.[58]
Anakku, inti dari ilmu adalah ketika kamu mengetahui apa itu taat dan ibadah.
Ketahuilah! Ketaatan dan ibadah adalah mengikuti Allah Sang Legislator dalam
hal perintah dan larangan, dengan ucapan sekaligus tindakan. Artinya apa yang
kamu ucapkan, lakukan, dan apa yang kamu tinggalkan haruslah dalam koridor
menuruti syari’ah. Maka seandainya kamu berpuasa pada hari raya ‘ied dan
hari-hari tasyriq maka kamu telah bermaksiat. Begitu juga apabila kamu shalat
dengan memakai baju gasab meski untuk kepentingan ibadah sekalipun,
maka kamu telah berdosa.[59]
4.
Sikap
Sikap yang dimiliki siswa terhadap guru
dan/atau mata pelajaran yang disampaikan juga tak kalah pentingnya dalam
menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Karena itu, Imam al-Ghazali
menekankan agar siswa menghormati seorang guru baik secara batin atau lahir.
Sesuai dengan ungkapannya:
Dan siapa saja yang menjumpai seorang guru dengan kriteria
sebagaimana telah disebutkan di atas, maka ia harus menghormatinya lahir dan
batin.
Aktualisasi dari penghormatan lahiriyah, misalnya dengan
tidak mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru,
tidak menggelar sajadah di hadapannya kecuali pada waktu shalat, itupun jika
sudah selesai harus cepat mengangkatnya, tidak memperbanyak shalat sunnah di
hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya.
Sedangkan aktualisasi penghormatan batiniyah dengan tidak
mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun
tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit, jika memang tidak mampu berbuat
yang demikian, ia sebaiknya tidak berinteraksi dengan guru tersebut sehingga ia
rasa mampu menerimanya secara lahir dan batin.[60]
5.
Kesucian
Hati
Hati yang bersih dari sifat-sifat yang tercela
juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Hal
ini diakui oleh Imam al-Ghazali dengan menginginkan siswa agar ikhlas dan
tawakkal, serta memilih kefakiran daripada kekayaan harta dalam belajar dan
menuntut ilmu. Sesuai dengan ungkapannya:
Ketahuilah ikhlas adalah kamu menempatan segenap amalan
hanya demi Allah semata, dengan mengabaikan segala pujian manusia. Dan pujian
manusia itu kemudian melahirkan sifat riyā’. Maka cara menghindari dari
sifat riya’ adalah dengan melihat mereka yang memuji sebagai sekedar
mengolok-olok atau memandang mereka sebagai benda mati yang tidak punya
kekuatan apa-apa. Namun, jika orang yang memuji itu dianggap memiliki kekuasaan
dan kehendak, maka seseorang tidak akan terhindar dari sifat riyā’.[61]
Kamu bertanya tentang tawakkal, tawakkal adalah meneguhkan
keyakinan kepada Allah atas apa yang dia janjikan. Dengan kata lain, apa yang
telah ditakdirkan dan ditentukan oleh Allah pasti akan didapatkan meski seisi
dunia menghalangi untuk mendapatkannya, sedangkan apa yang tidak ditetapkan
oleh Allah tidak mungkin terjadi meskipun seisi dunia menolongnya.[62]
Dan dalam segala kondisi, ia harus lebih memperioritaskan
kefakiran diri daripada kekayaan.[63]
6.
Lingkungan
Sosial
Lingkungan
sosial yang dimaksud di sini adalah lingkungan eksternal yang mengitari siswa
baik terdiri dari teman bergaul dan/atau masyarakat di sekitarnya. Lingkungan
sosial tersebut sangat berpengaruh dan menjadi faktor akan keberhasilan siswa
dalam belajar. Untuk itu Imam al-Ghazali mengingatkan agar jangan bergaul
dengan orang-orang yang memiliki perangai yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan
perkataannya: seorang murid juga harus menjaga
diri dari berteman dengan rekan yang tidak baik tingkah lakunya demi membatasi
pengaruh setan berwujud jin dan manusia dari piring hatinya sehingga ia bersih
dari kotoran setan.[64]
[1]
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali (Surabaya: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 27.
[2] Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan
Pendidikan Islam, terj., M. Arifin (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 131.
[3]
Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 28.
[4] Ibid.,
hlm. 29.
[5] Ibid.,
hlm. 30.
[6] Ibid.,
hlm. 31-32.
[7]
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), hlm. 43.
[8] Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.
159.
[9]
Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 33.
[10] Ibid.,
hlm. 38.
[11] Ibid.,
hlm. 52.
[12] Ibid.,
hlm. 53-54.
[13]
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi
Pemikiran Tasawuf al-Ghazali (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 56-57.
[14]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1993),
hlm. 49-50.
[15]
Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit., hlm 165.
[16] Ibid.,
hlm. 173.
[17]
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangannya (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140.
[18]
Imam al-Ghazali, Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail
Ya’kub (Semarang:
CV. Faizan, 1979), jilid 1, hlm. 126-127.
[19]
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang
Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan
Hadri Hasan (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 21.
[20] Imam
al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 84.
[21] Ibid.,
hlm. 84.
[22] Ibid.,
hlm. 85.
[23]
Jalaluddin dan Usman Said, Op. Cit., hlm. 142-143.
[24] Imam
al-Ghazali, Loc. Cit.
[25] Ibid.,
hlm. 86.
[26] Hamdani Ihsan dan
Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 235.
[27]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162.
[28]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 87.
[29].Ibid.,
hlm 88.
[30] Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit.,
hlm. 137-143.
[31]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 165-166.
[32]
Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 89-90.
[33]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167.
[34] Imam
al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi (Indonesia:
al-Haramain Jaya, t.t.), hlm. 3.
[35] Ibid.,
hlm. 6.
[36] Ibid.,
hlm. 7.
[37] Ibid.,
hlm. 9.
[38] Ibid.,
hlm. 13-14.
[39] Ibid.,
hlm. 14-15.
[40] Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Bandung:
CV Penerbit Jumanatul Ali Art, 2004) hlm. 291.
[41] Ibid.,
hlm. 522.
[42] Ibid.,
hlm. 53
[43]
Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad, Op. Cit., hlm. 8-9.
[44] Ibid.,
hlm. 7.
[45] Depag RI,
Op, Cit., hlm. 528.
[46] Ibid.,
hlm 305.
[47] Ibid.,
hlm 201.
[48] Ibid.,
hlm 305.
[49] Ibid.,
hlm 367.
[50]
Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad, Op. Cit., hlm. 3-4.
[51] Ibid.
hlm. 3.
[52] Ibid.,
hlm. 9.
[53] Ibid.,
hlm. 16-23.
[54] Ibid.,
hlm. 15-16.
[55] Ibid.
[56] Ibid.,
hlm. 6.
[57] Ibid.,
hlm. 13-14.
[58] Ibid.,
hlm. 7.
[59] Ibid.,
hlm. 9.
[60] Ibid.,
hlm. 14-15.
[61] Ibid.,
hlm. 15-16.
[62] Ibid.
[63] Ibid.,
hlm. 14-15.
[64] Ibid.,
hlm. 14-15.
0 komentar:
Posting Komentar