Jumat, 06 April 2012

Tinjauan Teori



BAB IV
PEMAPARAN HASIL PENELITIAN

A.  Biografi Imam al-Ghazali
1.  Riwayat Hidup Imam al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebutan al-Ghazali bukan merupakan nama asli. Zainal Abidin Ahmad mengungkapkan bahwa sejak kecil, beliau memiliki nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Kemudian sesudah ia berumah tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia dipanggil Abu Hamid.[1] Beliau terkenal dengan sebutan Hujjatu al-Islām atau argumentator Islam.
Ada dua macam penulisan mengenai nama sebutan al-Ghazali. Pertama sebutan itu ditulis dengan satu huruf “z” yaitu al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu al-Ghazzali. Tantang hal ini Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan al-Ghazzali (dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wool.[2]
Abu Sa’ied Sam’an, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin mengatakan bahwa sebutan al-Ghazali (dengan satu huruf “z”) berasal dari nama desa tempat lahirnya yaitu Gazalah. Adapun sebutan al-Ghazzali berasal dari pekerjaan yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu seorang penenun dan penjual kain tenun yang dinamakan “Gazzal”.[3]
Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Gazalah, kota Thus, propinsi Khurasan, wilayah Persi (sekarang Iran) pada tahun 450 H. atau bertepatan dengan tahun 1058 M. dari dua ibu bapak yang miskin melarat.[4] Ayahnya seorang pemintal wol yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan para fuqaha dan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya, dan juga seorang pengamal tasawuf yang hidup sederhana. Dalam beberapa tulisan tidak ditemukan tentang tanggal dan bulan kelahiran beliau.
Sungguhpun keluarga al-Ghazali hidup dalam kedaan serba kekurangan, tetapi sang ayah memiliki semangat keilmuan dan cita-cita yang tinggi. Dalam waktu-waktu senggangnya setelah selesai bekerja, ia selalu mengunjungi fuqaha, pemberi nasihat, duduk bersamanya, sehingga apabila ia mendengar nasihat para ulama tersebut ia terkadang menangis dan lebih rendah hati dan selalu memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang pintar dan memiliki ilmu yang luas seperti para ulama tersebut. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a ayahnya dan dia dikaruniai dua putra yaitu Imam al-Ghazali dan yang kedua adalah Ahmad yang populer sebagai juru dakwah.
Kebahagiaan yang dialami sang ayah tidak berlangsung lama. Saat kedua anaknya masih kecil, dia kemudian wafat. Pada saat menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali dan saudaranya diserahkan kepada temannya yang dikenal sebagai ahli tasawuf dan orang yang baik, sesuai dengan harapannya agar al-Ghazali kelak menjadi seorang faqih dan ulama besar. Dia berkata kepada sahabatnya: “Nasib saya sangat malangnya, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka, dan pergunakanlah sampai habis segala harta warisan yang aku tinggalkan untuk mengajar mereka.[5]
Sahabat ayahnya segera melaksanakan wasiat yang diterima dari ayah Imam al-Ghazali. Kedua anak tadi dididik sedemikian rupa sampai akhirnya harta peninggalan bapaknya habis dan sahabat ayahnya tadi menganjurkan Imam al-Ghazali dan adiknya untuk tinggal di asrama (tanpa biaya) saja agar pendidikannya tetap berlangsung. Asrama yang dimaksud didirikan oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di kota Thus.
Sampai dengan usia dua puluh tahun, Imam al-Ghazali tetap tinggal di kota kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari al-Razkani. Kecuali itu, dia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang terkenal waktu itu. Kedua ilmu itu sangat berkesan di hati Imam al-Ghazali dan ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. Selanjutnya ia pindah ke Jurjan pada tahun 479 H. namun tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya, akhirnya ia kembali ke Thus selama tiga tahun.[6] 
Selanjutnya pada tahun 471 H. ia pergi ke Naisabur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terpenting dalam dunia Islam. Di kota Naisabur, tepatnya di Universitas Nizamiyah, Imam al-Ghazali belajar dan berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Naisabur.[7]
Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.[8] Sehingga ia menjadi cerdas dan pandai mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih. Sehingga keahlian yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali diakui dapat mengimbangi keahlian guru yang sangat dihormati itu.[9] Dan bahkan al-Juwainy memberi gelar Imam al-Ghazali dengan “lautan yang dalam dan menenggelamkan”.
Dengan bekal kecerdasan dan ilmu yang mendalam yang dimiliki oleh Imam al-Ghazali, lalu ia diangkat sebagai dosen di Universitas Nizamiyah tersebut. Bahkan tidak jarang ia menggantikan gurunya pada waktu berhalangan dalam mengajar.
Karier Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti di situ. Setelah Imam al-Haromain wafat, oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di bawah pemerintahan Khalifah Abbasiyah, untuk mengisi lowongan yang terbuka, ia diangkat untuk menjadi rektor universitas Nizamiyah. Di mana pada waktu itu Imam al-Ghazali baru berumur 28 (dua puluh delapan) tahun namun kecakapannya mampu menarik perhatian seorang Perdana Menteri.
Begitu tertariknya seorang Perdana Menteri Nizamul Mulk sehingga ia meminta Imam Ghazali untuk pindah ke tempat kediaman Perdana Menteri (kota Mu’askar) dan pembesar-pembesar tinggi negara serta ulama-ulama besar dari berbagai disiplin ilmu. Dia meminta Imam al-Ghazali untuk memberikan kuliah dua kali seminggu di hadapan para pembesar dan para ahli, di samping kedudukannya sebagai Penasehat Agung Perdana Menteri.
Kedekatan Imam al-Ghazali terhadap pemerintah pada waktu itu sangat mempengaruhi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintahan Abbasiyah pada masa al-Ma’mun banyak dipengaruhi oleh aliran Mu’tazilah serta filsafat Yunani, telah dapat dikembalikan oleh Imam al-Ghazali kepada ajaran Islam yang murni. Di lapangan aqidah diajarkan faham Asy’ari, sedangkan di lapangan akhlak diperkuatnya ilmu tasawuf.[10] Faham Asy’ariyah diterima Imam al-Ghazali dari gurunya Imam al-Haramain. Bahkan Imam al-Ghazali merupakan pemimpin Asy’ariyah yang menentukan bentuk terakhir dari faham ini.
Setelah sekitar lima tahun berada di kediaman Perdana Menteri, Mu’askar, Imam al-Ghazali diminta pindah ke Baghdad untuk menjabat sebagai rektor Universitas Nizamiyah yang menjadi pusat seluruh perguruan tinggi Nizamiyah. Imam al-Ghazali diminta untuk menjabat sebagai rektor pada universitas tersebut karena rektor sebelumnya meninggal dunia.
Semua tugas yang dibebankan kepada Imam al-Ghazali dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga ia memperoleh sukses besar. Bahkan kesuksesannya dapat menaruh simpati para pembesar Dinasti Saljuk untuk meminta nasihat dan pendapatnya baik dalam bidang agama, maupun kenegaraan
Walau demikian besarnya nikmat dan sukses yang telah diraih Imam al-Ghazali, namun kesemuanya itu tidak mampu mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Bahkan selama periode Baghdad ia menderita kegoncangan batin akibat sikap keragu-raguannya. Setelah empat tahun berada di Baghdad, Imam al-Ghazali kemudian memutuskan untuk berhenti mengajar. Beliau pergi menuju tanah Syam di Damaskus untuk menjalani hidup yang penuh dengan ibadah, mengasingkan diri dari segala bentuk pertemuan dengan manusia, meninggalkan segala bentuk kehidupan yang mewah untuk kemudian menjalani masalah keruhanian dan penghayatan agama. Pada waktu ini dikenal dengan masa skepticism dalam diri Imam al-Ghazali.
Demikianlah Imam al-Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof dan ahli tasawuf serta sebagai seorang pemimipin yang besar di zamannya.
Kemudian, setelah menjalani khalwat, Imam al-Ghazali pulang ke Baghdad dengan hati yang berbunga-bunga, senang, gembira, ibarat seorang pahlawan yang meraih kemenangan dalam sebuah pertempuran. Di Baghdad beliau kembali mengajar dengan penuh semangat. Kesadaran baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan peling baik, diajarkannya kepada mahasiswanya.
Kitab pertamanya yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad adalah kitab al-Munqiz min al-Dalāl (penyelamat dari kesesatan). Kitab ini disebut sebagai salah satu buku referensi yang sangat penting. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tetang nila-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap bagi umat manisia, bagaimana memperoleh pengetahuan sejati (‘ilmu al-yaqīn) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah menurut ajaran tasawuf.
Setelah sekitar sepuluh tahun beliau berkhalwat, dan setelah sekembalinya Imam al-Ghazali ke Baghdad, beliau pindah ke Naisabur sebagai rasa cintanya terhadap keluarganya. Setelah itu beliau mendapat panggilan lagi dari Perdana Menteri Nizamul Mulk untuk memimpin kembali Universitas Nizamiyah di Naisabur yang ditinggalkannya.
Imam al-Ghazali kembali mengajar dengan penuh semangat. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dulu lagi yaitu dengan mengajarkan tasawuf yang penuh dengan kehidupan asketik. Di samping itu, beliau juga mendirikan suatu madrasah fiqih yang khusus mempelajari ilmu hukum.[11]
Hidup di kampung halamannya sendiri membuat Imam al-Ghazali merasa tenang. Dan di tengah-tengah ketenangan jiwanya, Imam al-Ghazali memberikan sebuah pengakuan yang jujur yang dapat dijadikan pegangan bagi segenap orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad, yaitu:
“Dan aku sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi tidaklah boleh dinamakan aku “kembali”, karena kembali itu adalah berarti melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu itu, aku menyebarkan ilmu pengetahuan adalah didorong oleh keinginan mencari nama, dan untuk itu aku menjalankan dakwah-seruan dengan ucapan dan dengan amal perbuatan. Memang demikianlah tujuanku dan niatku di masa itu.
Adapun sekarang sangatlah berbeda sekali. Aku berdakwah dan menyebarakan ilmu adalah untuk melawan hawa nafsu dan mencari nama dan untuk menghapuskan rasa megah diri dan kesombongan. Inilah sekarang maksud tujuanku. Semoga Tuhan mengetahui niatku ini.”[12]

Setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan sekian puluh tahun lamanya, dan setelah memperoleh kebenaran yang sejati pada akhir hayatnya, maka pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau bertepatan dengan 19 Desember 1111 M. beliau meninggal dunia di Thus.
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai riwayat hidup Imam al-Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus dan kembali ke Thus setelah beliau melakoni tualang panjang dalam mencari ketenangan bagi jiwanya.
Dari uraian di atas bisa dipahami dengan jelas bahwa Imam al-Ghazali tergolong ulama yang ta’at berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, ta’at menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, filsafat, fikih, hukum, tasawuf, dan sebagainya. Namun demikian, beliau kemudian menjatuhkan pilihannya untuk mendalami ilmu tasawuf yang sarat dengan nuansa asketik.
Di samping itu, beliau juga termasuk pemerhati pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki berbagai konsep terkait dengan dunia pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah konsep beliau tentang pendekatan dalam proses belajar.
2.  Setting Sosial-politik dan Pengaruhnya bagi Pemikiran Imam al-Ghazali
Memahami pemikiran seorang tokoh sekaliber Imam al-Ghazali tanpa terlebih dahulu memahami dan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural dan politk masa hidupnya yang melingkari pertumbuhan ataupun mobilitas pemikirannya, boleh jadi akan memberikan citra kurang baik, sebab pada dasarnya ia merupakan produk sejarah masanya. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan dan corak pemikiran Imam al-Ghazali.
Di lingkungan keluarga sendiri, Imam al-Ghazali banyak bersentuhan dengan iklim keluarga yang penuh dengan nuansa keagamaan. Walaupun ayahnya seorang pemintal wol, namun demikian, ia seorang yang cinta terhadap ilmu pengetahuan dan ulama. Sesekali ia mengunjungi para fuqaha, berkumpul dengan orang pemberi nasihat. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai pengamal tasawuf yang hidup sederhana.
Pada waktu ayahnya menjelang wafat, ia berwasiat agar Imam al-Ghazali dan adiknya, Ahmad, dititipkan kepada salah seorang temannya yang dikenal sebagai orang yang baik dan ahli tasawuf. Tujuannya, agar anak-anak itu kelak menjadi ulama besar dan memiliki ilmu yang banyak.
Setelah itu, Imam al-Ghazali kemudian melanjutkan studinya ke asrama (sekolah yang menyediakan beasiswa bagi muridnya) dan di sana ia bertemu dengan seorang seorang guru yang juga merupakan pengamal tasawuf atau ahli sufi, Yusuf al-Nassaj, hingga ia berusia dua puluh tahun. Setelah tamat, ia melanjutkan studinya lagi ke daerah Jurjan. Daerah Jurjan, dan juga Khurasan, pada saat itu merupakan pusat kegiatan ilmiah.
Abuddin Nata mengungkapkan bahwa;
Di wilayah tersebut adalah wilayah pergerakan tasawuf dan pusat gerakan anti kebangsaan Arab. Di samping itu, juga terjadi interaksi budaya yang sangat intens. Filsafat Yunani telah digunakan sebagai pendukung agama dan kebudayaan asing dengan ide-ide yang mendominasi literatur dan pengajaran. Kontroversi keagamaan, setelah interpretasi sufi berkembang ke arah yang lepas dari syari’ah, serta terjadinya kompetisi antara Kristen dan Yahudi yang selanjutnya menimbulkan insiden Awlia dan gerakan sufi.[13]

Tertarik untuk melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi, Imam al-Ghazali kemudian pergi ke Naisabur memasuki Madrasah Nizamiyah. Di sinilah ia bertemu dengan ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, yang merupakan ikon aliran Asy’ariyah. Madrasah Nizamiyah sendiri didirikan oleh perdana menteri Nizamul Mulk yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah.
Pergolakan politik pada saat Dinasti Abbasiyah cukup tajam dan meningkat, mulai dari pertarungan ideologi antara aliran Syi’ah dan Sunni sampai perebutan kekuasaan antara orang-orang yang berkebangsaan Arab, Persi, dan Turki. Periode pertama kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di tangan khalifah secara penuh, sedangkan periode selanjutnya, kekuasaan itu berada di bawah perintah orang atau kebangsaan lain.
Badri Yatim, mengutip pendapat Gajane, mengatakan bahwa,
Periode pemerintahan Bani Abbas, menurut para sejarawan, dibagi menjadi lima periode. Periode pertama (132-232 H/750-847 M) disebut pengaruh Persia pertama. Perode kedua (232-334 H/847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. Periode ketiga (334-447 H/945-1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut masa pengaruh Persi kedua. Masa keempat (447-590 H/1055-1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan Bani Abbasiyah, biasanya masa ini disebut dengan masa pengaruh Turki kedua. Periode kelima (590-656 H/1194-1258 M) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.[14]

Kembali pada persoalan di atas, sesuai dengan periode pemerintahan Bani Abbas, Imam al-Ghazali hidup pada masa atau periode keempat (masa disintegrasi) dari periode pemerintahan Abbasiyah yaitu pada masa dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan. Adapun pusat pemerintahan Abbasiyah saat itu berada di Baghdad.
Pada saat dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan pemerintahan Abbasiyah, kewibawaan dalam bidang agama dikembalikan setelah sekian lama “dirampas” oleh orang-orang Syi’ah, dinasti-dinasti kecil yang semula memisahkan diri kembali mengakui kedudukan pemerintah pusat, Baghdad, bahkan stabilitas dan keutuhan keamanan untuk membendung faham Syi’ah terus dijaga. Keadaan tersebut tampak terutama pada saat Nizamul Mulk menjadi perdana menteri.
Namun demikian, di tengah kemajuan yang menggembirakan itu, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyedihkan, yaitu terbunuhnya perdana menteri Nidzamul Mulk dan  Sultan Malik Syah. Dua orang pentolan Dinasti Saljuk itu mati di tangan pembunuh yang dibayar oleh Hasan Shabbah, salah seorang pimpinan Syi’ah Bathiniyah dan merupakan teman satu sekolah dengan Nizamul Mulk saat itu.
Tidak hanya itu, aliran Syi’ah Bathiniyah yang poliknya berkiblat pada Negara Fatimiyah di Mesir, semakin melancarkan aksi teror pembunuhannya pada saat Khalifah Muqtadi meninggal dunia dan digantikan oleh Khalifah Mustadzir.
Zainal Abidin mengatakan bahwa,
Imam al-Ghazali hidup pada saat terjadi goncangan politik yang sangat hebat. Pada tahun lahirnya, 450 H. terjadilah perebutan kekuasaan atas ibu kota Baghdad antara jenderal Basasiri yang pro Syi’ah dengan Thogrol Bey, sultan yang pertama dari pemerintahan Seljuk.
Pada tahun 478 H., dalam usianya meningkat 28 tahun, terjadilah buat pertama kalinya bentrokan bersenjata antara tentara Abbasiyah dengan laskar pemerintah tandingan Fatimiyah di dalam pengepungan kota Damaskus, yang berakhir dengan mundurnya tentara penyerbu ke Mesir.
Dan akhrnya pada tahun 485 H., sewaktu al-Ghazali menduduki jabatan sebagai penasihat agung pemerintahan Saljuk dan presiden dari Universitas Nizamiyah Baghdad, terjadi lagi pembunuhan gelap terhadap Perdana Menteri Nidzamul Mulk dan kemudian diikuti dengan matinya sultan Malik al-Syah yang semuanya dilakukan oleh golongan Bathiniyah dari partai ilegal Syi’ah.
Tidak lama kemudian pada tahun 487 H. terjadi pergantian pimpinan Negara dari tangan khalifah ke XXVII Muqtadi yang meninggal dunia kepada Khalifah Mustazhir. Dan dekrit pertama yang dikeluarkan oleh khalifah adalah meminta Imam al-Ghazali supaya menulis buku untuk mempertahankan pemerintahan Abbasiyah yang sah dan membasmi partai ilegal Syi’ah yang telah mengacau Negara.[15] 

Karena kegoncangan batinnya yang sangat hebat menghadapi peristiwa-peristiwa yang berturut-turut maka Imam al-Ghazali jatuh sakit selama enam bulan. Dengan alasan mengobati penyakitnya, ia meninggalkan Baghdad dan seluruh jabatannya dengan hati yang kesal.
Bahkan Imam al-Ghazali mulai ragu dengan jalan yang ditempuhnya selama itu. Ia bertanya apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau belum, atau salah? Pada akhirnya ia kemudian menempuh jalan untuk mengasingkan diri dari keramain manusia dan menfokuskan diri untuk berkhalwat dan beribadah kepada Allah.
Selama sepuluh tahun Imam al-Ghazali berkhalwat dan menjalani hidup yang penuh dengan nuansa asketik dan pada akhirnya ia menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang mengelayuti hatinya selama itu, tasawuf. Ia berkesimpulan bahwa pengetahuan yang diperolehnya dengan panca indera seringkali salah dan berdusta. Dan tasawuflah yang kemudian mampu menghilangkan rasa syak yang menyelimuti hatinya. Pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu ternyata membuat ia merasa yakin mendapat pengetahuan yang benar.
Nah, dari beberapa pemaparan singkat di atas terkait dengan keadaan masyarakat Islam sudah mengalami kemunduran. Dalam bidang politik, kerajaan Abbasiyah telah sedemikian rapuh. Dalam bidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami zaman kemajuan pada masa sebelumnya, kini mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan kepribadiaannya.
Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam dirasakan Imam al-Ghazali telah mati dalam jiwa umat Islam sehingga perlu dihidupkan kembali sebagaimana tercermin dalam kitab Ihya’nya. Di bidang-bidang lain, seperti bidang intelektual, moral dan agama secara umum juga mengalami kemerosotan dan kemunduran.
Di samping itu, berkuasanya Bani Saljuk yang mengganti Dinasti Buwaihi pada pertengahan abad XI Masehi, kendati sama-sama berpaham Sunni dengan kekhalifahan di Baghdad, ternyata tidak mampu mengembalikan kekuatan politik yang cukup berarti sebab hanya bertahan kurang lebih tiga puluh tahun. Memang selama masa tersebut dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Dinasti Saljuk dan berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban yang memungkinkan berkembangnya kebudayaan dan ilmu pengetahuan, sehingga rakyat dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Namun kekacauan akhirnya timbul kembali yang bermula dari peristiwa terbunuhnya Perdana Menteri Nizamul Mulk dan Sultan Malik Syah yang hanya berselang satu bulan.
Dengan tiadanya dua orang kuat Dinasti Saljuk ini, maka makin berpeluang pada kelompok-kelompok oposan yang telah lama memusuhi Dinasti Saljuk seperti kelompok ekstrimis Syi’ah yang berafiliasi dengan khilafah Fatimiyah di Mesir. Hal itu kemudian menyebabkan lumpuhnya kekuasaan Dinasti Saljuk, utamanya setelah dinasti itu terpecah-pecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil dampai akhirnya membawa pada kehancuran.
Pada saat Dinasti Saljuk sudah mengalami kemunduran dan lemahnya kekuasaan politik serta goyahnya stabilitas nasional, Imam al-Ghazali hidup dan berjihad menegakkan kembali nilai-nilai keIslaman dalam diri umat. Dengan demikian tidak mengheranka apabila latar belakang kondisi sosial di atas mewarnai pemikiran dan perjuangannya. Yang jelas, pada masa kehidupan dan perjuangannya, kondisi umat telah mengalami kemunduran dalam berbagai aspeknya.
Demikianlah beberapa kondisi obyektif yang mengitari masa hidup Imam al-Ghazali. Sebagai seorang yang dikaruniakan padanya kepekaan dan ketajaman nurani, ia senantiasa berdialog dan bersikap aspiratif dengan zamannya yang penuh ketegangan dan fragmentasi sosial politk dan alam pikiran yang tidak terkontrol dan kurangnya sikap tasamuh di antara sesama muslim, Imam al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil keputusan untuk menentukan pilihan dengan sikap realistis dan mantap. Di menempuh jalan tasawuf sebagai fondasi teologisnya.
3.  Karya-Karya Imam al-Ghazali
Adalah sebuah keistimewaan yang besar dan luar biasa dari diri Imam al-Ghazali bahwa beliau merupakan seorang penulis yang sangat produktif. Di dalam setiap masa hidupnya Imam al-Ghazali terus menerus menulis. Sehingga ratusan kitab telah keluar sebagai hasil karyanya dan dijadikan pedoman oleh sebagian umat Islam.
Namun demikian, karena keluasan ilmu yang dimiliki oleh beliau, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Zainal Abidin Ahmad mengatakan bahwa di dalam dunia karang mengarang, Imam al-Ghazali terkenal sebagai seorang pengarang yang serba ahli. Di dalam berbagai lapangan, dia menulis secara luas dan tepat, dan begitu mendalamnya sehingga di merupakan orang ahlinya mengausai yang menguasai persoalan itu di dalam segala hal.[16]
Adapun kitab-kitab Imam al-Ghazali yang paling terkenal, sebagaimana diungkapkan oleh Zainal Abidin, adalah sebagai berikut:
a.      Dalam Bidang Filsafat
1) مقاصد الفلاسفة
Sebagai karangannya yang pertama yang ditulisnya sewaktu pikirannya masih segar dalam usia di sekitar 25-28 tahun. Isinya menerangkan soal-soal filsafat menurut wajarnya, dengan tiada kecaman.
2) تهافة الفلاسفة
Dikarangnya sewaktu dia berada di Baghdad, dalam kekacauan oleh paham skeptis yang sangat hebat, dalam usia 35-38 tahun. Buku ini berisi kecaman yang sangat hebat terhadap ilmu filsafat yang sudah menggemparkan ilmu pengetahuan.
3) المعارف العقلية
Naskah buku in terdapat dalam perpustakaan Lytton di Aligarh University, India; perpustakaan Kotapraja di Iskandaiyah. Buku itu diterbitkan oleh Darul Fikri di Damaskus pada tahun 1963 di bawah penelitian Abdul Karim al-Utsman.
Sebagaimana namanya, buku ini berisi dan mengungkapkan asal-usul ilmu yang rasional dan kemudian apa hakekatnya dan tujaun apa yang dihasilkannya.
b.      Dalam Bidang Pembangunan Agama
1) إحياء علوم الدين
Kitab ini dikarang setelah dia berada kembali di Naisabur dalam usia 50 tahun, sesudah skeptisnya habis dan jiwanya tenteram kembali. Kitab inilah yang menjadi pegangan umat Islam sampai sekarang, merupakan jalan keluar dari berbagai faham dan aliran.
2) المنقذ من الضلال
Kitab ini dikarang setelah tiga puluh tahun di dalam kebimbangan dan merupakan sumber dari kehidupan Imam al-Ghazali. Sebuah kitab yang berisi tentang autobiografi, tetapi tepatnya bukan hanya autobiografi. Ia memberikan suatu analisa yang intelektuil mengenai perkembangan spirituilnya, dan juga memberi alasan-alasan di dalam memberikan pandangan bahwa ada suatu pengertian yang lebih tinggi dari pengertian rasional, yaitu kepada para nabi ketika Tuhan mengungkapkan kebenaran kepadanya.
3) منهاج العابدين
Kitab ini merupakan kitab yang terakhir yang ditulis oleh Imam al-Ghazali yang berisi tentang nashihat yang terakhir untuk segenap manusia. Kitab ini diterbitkan di Mesir berulang kali, ada tulisan tangan di Berlin, Paris, dan al-Jazair. Kitab ini ada ringkasannya dan syarahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
c.       Dalam Bidang Akhlak dan Tasawuf
1) ميزان العمل
Kitab ini mendampingi kitab Ihya, bahkan isinya lebih teliti dan merupakan kesimpulan dari kitab Ihya. Imam al-Ghazali sendiri mengungkapkan bahwa kebanyakan isi dari kitab ini adalah memakai sistem tasawuf.


2) كيمياء السعادة
Dalam kitab ini terdapat beberapa persoalan etika yang dibicarakannya dari perspektif praktis dan agama. Kitab ini telah banyak diterbitkan sebagai ilmu moral Islam, tetapi sebenarnya mengandung lebih banyak uraian-uraian secara praktis menurut hukum dari pada ilmu mural secara ilmiah atau filsafat.
3) كتاب الأربعين
Kitab ini berisi tentang prinsip-prinsip agama tentang atau mengenai soal-soal akhlak-tasawuf.
4) التبر المبسوك فى نصيحة الملوك
Artinya, mas yang sudah ditata untuk menasihati para penguasa. Kitab ini berisi soal akhlak di dalam hubungannya dengan pemerintahan.
5) المستصفى فى الأصول
 (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-poko ilmu hukum).
6) مشكاة الأنوار
Artinya lampu yang bersinar banyak. Kitab ini berisi tentang ilmu akhlak dalam hubungannya dengan ilmu akidah dan keimanan.



7) المنقد من الضلال
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini membahas akhlak dalam hubungannya dengan ilmu psikologi.
8) أيها الولد
Kitab ini berisi tentang nasihat yang ia tulis untuk seorang temannya yang berisi tentang amal perbuatan dan tingkah laku sehari-hari serta banyak mambahas tentang cara-cara dalam proses belajar.
9) الأدب فى الدين
Adab sopan keagamaan. Kitab ini mengupas tentang akhlak di dalam hubungannya dengan etiket kehidupan manusia.
10) الرسالة اللدنية
Risalah tentang soal-soal bathin. Kitab ini mengupas tantang hubungan akhlak dengan soal-soal kerohanian, termasuk juga soal-soal wahyu, bisikan kalbu, dan lainnya.
d.      Dalam Bidang Politik
1) المستظهرى
Kitab ini dikarang pada tahun 488 H. di Baghdad atas kehendak dari khalifah al-Muqtadi yang baru dinobatkan setahun sebelumnya. Isi kitab ini adalah membongkar prinsip-prinsip politk yang berbahaya dari partai ilegal Syi’ah Bathiniyah pada saat itu.
2) المنقذ من الضلال
Pembebasan dari kesesatan. Kitab ini berisi tentang autobiografi, namun di dalamnya juga berisi tentang revolusi mental.
3)   إحياء علوم الدين
Kitab ini merupakan puncak arangan Imam al-Ghazali mempunyai fungsi yang pemting pula tentang teori kenegaraan. Kitab ini pula merupakan inspirasi yang diperoleh selama petualangan sebagai kesimpulan dari pandangan revolusi yang sedang bergejolak di Asia.
4) التبر المسبوك فى نصيحة الملوك
Kitab ini dikarangnya sebagai suatu pegangan untuk Sultan Giyastuddin yang mengantikan kedudukan ayahandanya, Sultan Malik Syah, sahabat Imam al-Ghazali.
5) سر العالمين
Sebagaimana namanya, kitab ini berisi tentang perbedaan antara dua dunia yang harus dipilih oleh para pembesar dan rakyat semuanya: antara dunia keadilan dan kemakmuran yang menuju kepada akhirat, dan dunia kezaliman dan kekacauan yang semata-mata keduniaan belaka.

6) فاتحة العلوم
Kitab ini pada hakikatnya adalah untuk membuka pintu kepada berbagai ilmu pengetahuan, sebagai tercantum pada namanya. Namun dalam bagiannya terdapat ilmu politik.
7) الإقتصاد فى الإعتقاد
Kitab inimenyatakan dasar-dasar keimanan yang harus dimiliki oleh seorang pemegang pemerintahan. Kitab ini juga membahs tentang politik pemerintahan terkait dengan soal-soal teologi.
8) الوجيز
Kitab ini menguraikan tentang hukum Islam secara praktis sehingga dianggap sebagai kitab pegangan dalam ilmu hukum.
9) سلوك السلطنة
Kitab ini berisi tentang bimbingan bagi kepala Negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
10) بداية الهداية
Kitab ini berisi tentang ajaran adab dan kesopanan di dalam hidup manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam hubungannya dengan masyarakat, termasuk soal pemerintahan.

4.  Klasifikasi Ilmu Perspektif Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam bebearapa kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara satu macam dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan bagi pelajar.
Menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Usman Said, Imam al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, ilmu dibagi menjadi ilmu hissiyah, ilmu aqliyah, dan ilmu ladunni.[17]
Kemudian ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek. Ilmu-ilmu itu dibagi dalam tiga golongan pokok yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu.[18]
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan. Dan karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Adapun ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan keridloannya. Ilmu dalam golongan ini misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
Selanjutnya, ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat.
Indikasi dari ilmu yang tercela, sebagaimana dikutip oleh Hasan Sulaiman adalah ada tiga:
Pertama, ilmu-ilmu ini kadang kala dapat menimbulkan mudarat pada pemiliknya atau orang lain, seperti ilmu sihir, guna-guna yang bertujuan mencelakakan orang lain. Ilmu sihir seringkali mencoba memisahkan antara sesama manusia yang akrab atau saling mencintai, menebarkan rasa untuk membengkitkan kejahatan, bukan untuk menimbulkan kebaikan.
Kedua, kadangkala ilmu itu merusak pemiliknya, seperti ilmu nujum, yang oleh Imam al-Ghazali dibagi ke dalam dua kelompok; ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab) atau falak yang menurut pandangan Imam al-Ghazali tidak tercela. Berikutnya ilmu nujum istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Kata Imam al-Ghazali, ilmu nujum jenis ini tercela oleh syara’ sebab bisa jadi ia membuat manusia menjadi ragu pada Allah, lalu ia menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu di langit atau falak dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau melalui studi tentang bintang-bintang, kemudian pas pada waktu terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada yang ditentukannya sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub akan kemampuan tukang nujum itu. Ia karenanya akan percaya dengan ucapan tukang nujum. Kesempatan ini, bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk mengakaui diri sebagai nabi, memperluas pengaruhnya di tengah-tengah umat, menunggangi mereka untuk melayani kepentingan-kepantingannya yang biasanya cenderung tidak baik, sehingga membuat kekacauan dan kearifan meluas ke mana-mana.
Ketiga, ada kalanya menyelami sebagian ilmu itu tidak membawa manfaat, karena ilmu itu dimaksudkan tidak terpuji. Ada kalanya pula mempelajari ilmu seperti itu mengandung suatu bentuk kekufuran kepada Allah. Contoh ilmu untuk tersebut, kata Imam al-Ghazali, adalah memplajari bagian-bagian rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari rahasia-rahasia ilahiyat, bagian dari ilmu filsafat, seperti ilmu metefisika.[19]

Jadi, dalam perspektif Imam al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari harus dikaitkan dengan moral dan nilai guna. Dan karena itu, selanjutnya melihat ilmu dalam perspektif nilai dan membaginya dalam dua kelompok.
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, Imam al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fardlu ‘ain) dan ilmu yang fardlu kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi harus ada di antara orang Islam yang mempelajarinya.
Ilmu yang tergolong fardlu ‘ain adalah ilmu agama dan macam-macamnya dengan memulai kitab-kitab Allah kemudian diikuti pokok-pokok ibadah seperti masalah shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah menurut Imam Ghazali adalah:
Segala ilmu yang digunakan untuk tegaknya perkara-perkara dunia seperti ilmu kedokteran. Karena hal itu merupakan hajat yang pokok bagi kesehatan badan. Ilmu hitung karena itu penting dalam mu’amalat, pembagian wasiat, warisan dan lain-lain. Apabila negara tidak ada orang yang menegakkannya maka berdosalah seluruh warga negara, bila salah seorang menegakkannya maka dapat mencukupi dan gugurlah kewajiban yang lain.[20]


Adapun ilmu seperti tani, tenun, politik, dan kerja membekam serta kerja menjahit atau keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat merupakan jenis ilmu yang tergolong pada fardlu kifayah.[21] Adapun mendalami ilmu hitung dan kedokteran dan hal-hal lain yang tidak dibutuhkan, tidak merupakan fardlu, tetapi utama, selanjutnya Imam al-Ghazali berkata, adapun yang terhitung utama namun tidak fardlu adalah mendalami ilmu hitung secara mendetail dan hakikat kedokteran, dan lain-lain yang tidak dihajatkan, akan tetapi berfaedah menambah kemampuan di dalam kadar yang dibutuhkan.[22]
Selanjutnya Imam al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan berdasarkan spesialisasi menjadi dua bidang[23], yaitu: ilmu syari’ah dan ilmu yang bukan syari’ah. Adapun ilmu syari’ah semuanya terpuji, dan ia membaginya dalam empat bagian, yaitu ushul, furu’ muqaddamat, dan mutammimat.
Ilmu ushul terbagi dalam empat bidang ilmu, yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ummah, dan atsar sahabat. Ilmu furu’ yaitu ilmu fiqih, akhlak, dan hal ihwal hati. Ilmu muqaddamat terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu yang digunakan sebagai alat untuk mengkaji ilmu ushul.[24]
Ilmu mutammimat yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an seperti ilmu tajwid, tafsir yang berkaitan dengan arti, nasikh mansukh, ‘am dan khas, dan dhahir dan cara untuk mempergunakannya, ilmu yang mengkaji tentang khabar-khabar dan sejarah kehidupan sahabat.[25]
Sedangkan ilmu yang bukan syari’ah, Imam al-Ghazali membaginya dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang terpuji; ilmu mubahah; dan ilmu madzmumah. Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang diperlukan dalam kehidupan manusia, baik dalam penghidupan atau dalam pergaulannya. Seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan ilmu keterampilan.
Ilmu-ilmu mubah yaitu ilmu-ilmu kebudayaan seperti sejarah, sastra dan sya’ir-sya’ir yang tidak ada kelemahan di dalamnya seperti ilmu yang mendorong pada keutamaan dan akhlak yang suci.
Ilmu-ilmu yang tercela yaitu ilmu yang merugikan dirinya dan merugikan orang lain apabila mempelajari dan mempraktikkannya seperti ilmu sihir, azimat dan permainan sulap, dan sebagian dari ilmu filsafat.
5.  Pendidikan dalam Pemikiran Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Selain itu, menurut Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Imam al-Ghazali memiliki pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata tetapi juga keimanan, sosial, jasmaniah, dan sebagainya.[26]
Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan yang sarat dengan nuansa sufistik itu bisa dilihat dari konsepsi dia mengenai tujuan, pendidik, anak didik, dan kurikulum pendidikan.
Imam al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan para ahli pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.[27]
Samsul Nizar mengatakan bahwa,
Pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu: tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang baik; tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[28]

Menurut Imam al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya.[29] Sedangkan seorang pendidik menurut Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Jumbulati dituntut untuk memiliki sifat-sifat keutamaan antara lain:
Guru harus mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus memberikan contoh yang baik, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya serap anak didiknya, guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak, guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya.[30]


Adapun konsep Imam al-Ghazali mengenai murid, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata, adalah murid harus memuliakan guru, merasa satu bangunan dengan murid lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat mengacaukan pikirannya, mempelajari berbagai jenis ilmu yang bermanfaat.[31]
Nizar mengungkapkan tugas dan kewajiban yang yang harus dimilki oleh seorang murid, sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali, antara lain:
a.   Belajar dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak yang baik.
b.  Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
c.   Bersikap rendah hati dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
d.  Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e.   Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
f.   Belajar dengan berharap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu-ilmu fardlu ‘ain manuju ilmu fardlu kifayah
g.  Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h.  Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.    Memperioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.    Mengenal nila-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, memsejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.[32]

Selanjutnya, kurikulum yang dikehandaki Imam al-Ghazali dapat dipahami dari pendangannya mengenai ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali dibagai dalam dua bagian besar: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki tiga bagian, yaitu  ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan ilmu yang fardlu kifayah.
Menurut Mursi, sebagaimana dikutip Nizar, dari beberapa macam ilmu yang telah disebutkan tadi, Imam al-Ghazali mengusulkan beberap ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, yaitu:
a.   Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits dan tafsir.
b.  Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
c.   Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka ragam jenisnya termasuk juga ilmu politik.
d.  Ilmu kebudayaan, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabang filsafat..[33]

Jadi,  kurikulum yang menjadi titik perhatian Imam al-Ghazali adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, karena dapat menenangkan jiwa dan dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Jika diamati, corak pendidikan yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali akan tampak nuansa pendidikan yang sangat kental dengan nilai-nilai tasawuf yang ia gandrungi. Artinya, bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
Namun demikian, pendidikan yang coba diformulasikan oleh Imam al-Ghazali merupakan konsep yang ia kembangkan dari sebuah dialektika dengan zaman yang dihadapinya pada waktu itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang memerlukan sebuah penyempurnaan. Seperti posisi guru yang menurut Imam al-Ghazali merupakan sentral dalam pendidikan. Pada zaman sekarang guru dilihat sebagai fasilitator saja.
6.  Pengaruh Imam al-Ghazali dalam Dunia Pendidikan
Imam al-Ghazali sebagai tokoh yang memiliki kemampuan multi dimensional dalam arti beragam disiplin ilmu yang dia kembangkan. Ide-ide yang dia sajikan secara kritis senantiasa dihubungkan atau dilihat dalam perspektif agama. Pandangan-pandangannya sarat dengan nuansa sufistik. Hal tersebut menyebabkan Imam al-Ghazali mempunyai arti tersendiri dalam dunia pendidikan.
Di Indonesia, pengaruh dari pandangan dan ide-ide Imam al-Ghazali yang sarat dengan nuansa sufistik itu, bisa dilacak dari lembaga-lembaga pendidikan agama, khususnya pondok pesantren, yang banyak menggunakan referensi karangannya dalam berbagai aktifitas pendidikannya. Salah satu karangannya yang banyak dikonsumsi oleh kalangan pesantren adalah kitab احياء علوم الدين.
Paling tidak, pengaruh yang ditimbulkan oleh Imam al-Ghazali adalah bahwa seseorang kemudian menganggap perlu membaca karya-karyanya, terutama yang berkaitan dengan persoalan pendidikan. Dari hasil telaah tersebut kemudian diinternalisasi dalam pola kognisi seseorang dan pada gilirannya, pemikiran Imam al-Ghazali itu akan melandasi pola pikir, sikap, dan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari adanya pendidikan.

B.  Pendekatan dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Mutaallimīn wa Mawizatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfian min Gayrihi
1.  Arti Penting Pekerjaan yang Bermanfaat
Mengenai pentingnya pekerjaan (termasuk juga belajar dan mencari ilmu) yang bermanfaat, Imam al-Ghazali berkata:
Nak, ada sebuah nasihat yang dipakai Rasulullah untuk menasihati umatnya. Beliau bersabda: “Tanda-tanda penolakan Allah atas seorang hamba adalah apabila hamba itu sibuk mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dan barangsiapa yang menghabiskan umurnya tanpa dipergunakan untuk beribadah kepada Allah, maka pantaslah orang tersebut akan menyesal sepanjang waktu. Dan barangsiapa yang melewati usia empat puluh tahun, namun kebaikan amalnya tidak mendominasi kejelekan amalnya, maka bersiaplah ia untuk masuk masuk ke dalam Neraka. Dalam nasihat ini, ada bekal yang cukup bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan.[34]

2.  Motivasi dalam Belajar
Motivasi seseorang dalam belajar, menurut Imam al-Ghazali, sebagai berikut:
Nak, sudah berapa banyak malam yang kamu gadangkan nuntuk mengulang-ngulangi kajian ilmu dan menelaah kitab hingga kamu haramkan tidur untukmu. Aku tidak tahu apa motivasi di balik itu. Jika motivasinya adalah untuk memperoleh harta benda dan kedudukan serta untuk membanggakan diri sesama teman-teman, maka sungguh kamu akan celaka. Tetapi jika niat kamu dalam belajar adalah untuk menghidupkan syariat Nabi Muhammad dan untuk membersihkan akhlakmu serta untuk menghilangkan nafsu ammarah, maka sungguh kamu akan beruntung. Tepatlah apa yang disenandungkan oleh seorang penyair dalam dalam sebuah bait berikut:
Begadang mata untuk kepentingan selain wajahMu adalah sia-sia
Dan tangis mereka untuk sesuatu yang hilang selainMu adalah kebatilan
Nak, hiduplah sesukamu toh kamu akan mati juga. Cintailah orang sesukamu sebab kamu toh akan berpisah dengannya. Dan berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya kama akan menuai ganjarannya.
Anakku, apapun yang kamu peroleh dari mengkaji ilmu kalam, ilmu debat, kedokteran, administrasi, sya’ir, astrologi, ‘arud, nahwu, dan ilmu sharf, jangan sampai kau sia-siakan umurmu untuk selain Allah yang Agung. Aku pernah melihat dalam kitab Injil sebuah ungkapan Isa As.: “Sejak mayat diletakkan di atas peti jenazah hingga diletakkan di bibir kubur, Allah melontarkan empat puluh pertanyaan dengan segala keagungnaNya. Sungguh, pertanyaan pertama yang Dia ajukan adalah: ‘HambaKu, telah kau sucikan pandangan makhluk bertahun-tahun, tapi mengapa tak kau sucikan pandanganKu sesaatpun, padahal setiap hari Aku melihat ke kedalamn hatimu. Mengapa kau berbuat demi selainKu padahal engkau bergelimang dengan kebaikanku, atau engkau tuli dan tak mendengar!”[35]

3.  Kriteria dalam Memilih Ilmu
Adapun kriteria ilmu yang harus dipelajari oleh seorang siswa dalam perspektif Imam al-Ghazali adalah:
Ketahuilah! Sesungguhnya ilmu yang hari ini (baca: di dunia) tidak menjauhkanmu dari perbuatan maksiat dan tidak membawamu untuk taat kepada Allah, kelak (di akhirat) ilmu itu tidak akan menjauhkanmu juga dari api neraka jahannam.[36] Anakku, inti dari ilmu adalah ketika kamu mengetahui apa itu taat dan ibadah. Ketahuilah! Ketaatan dan ibadah adalah mengikuti Allah Sang Legislator dalam hal perintah dan larangan, dengan ucapan sekaligus tindakan. Artinya apa yang kamu ucapkan, lakukan, dan apa yang kamu tinggalkan haruslah dalam koridor menuruti syari’ah. Maka seandainya kamu berpuasa pada hari raya ‘ied dan hari-hari tasyriq maka kamu telah bermaksiat. Begitu juga apabila kamu shalat dengan memakai baju gasab meski untuk kepentingan ibadah sekalipun, maka kamu telah berdosa.[37]

4.  Kriteria dalam Memilih Guru
Imam al-Ghazali juga menjelaskan tentang karakteristik seorang pendidik. Menurutnya,
Pendidik harus terdiri orang yang bisa membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan menggantinya dengan akhlak yang baik. Makna tarbiyah di sisni mirip dengan tindakan seorang petani yang mencabuti duri dan menyiangi tumbuhan-tumbuhan liar di antara tanaman agar tanamannya baik dan hasilnya sempurna. Karena itu murid harus memiliki seorang guru yang mengarahkan dan membimbing anak didiknya menuju jalan Allah. Sebab Allah telah mengutus hamba-hambaNya sebagai Rasul utusan untuk membimbing mereka menuju jalan Allah. Ketika Rasulullah telah tiada, maka peran ini kemudian dipegang oleh pengganti-pengganti beliau.
Adapun syarat kualitatif yang harus dimilki oleh guru antara lain, pintar (alim), namun tidak setiap orang yang alim di sini layak memegang peranan pengganti Rasul. Maka di sini saya akan jelaskan kepadamu sebagian tanda-tanda seorang guru secara garis besar sehingga tidak ada yang seenaknya mengaku-ngaku sebagai guru. Tanda-tanda guru itu antara lain: tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw., memperbaiki diri dengan riyādah dengan menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan shalat, sedekah, dan puasa.
Di samping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar, membaca salawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut, rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak terburu-buru, dan lain-lain. Hal-hal seperti telah disebutkan tadi merupakan cahaya dari cahaya-cahanya Nabi Saw. yang pantas untuk diteladani. Namun demikian, seorang guru yang berkualifikasi yang demikian itu sangat langka dan lebih jarang dari belerang merah. Hanya orang yang beruntung saja yang bisa menemukan guru sekaliber yang kami sebutkan tadi. [38]

5.  Akhlak terhadap Guru
Sejalan dengan karakteristik guru yang telah disebutkan di atas, maka seorang murid harus menghormati guru tersebut baik secara lahir maupun batin. Lebih lanjut Imam al-Ghazali berkata:
Dan siapa saja yang menjumpai seorang guru dengan kriteria sebagaimana telah disebutkan di atas, maka ia harus menghormatinya lahir dan batin.
Aktualisasi dari penghormatan lahiriyah, misalnya dengan tidak mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru, tidak menggelar sajadah dihadapannya kecuali pada waktu shalat, itupun jika sudah selesai harus cepat mengangkatnya, tidak memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya.
Sedangkan aktualisasi penghormatan batiniyah dengan tidak mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit, jika memang tidak mampu berbuat yang demikian, ia sebaiknya tidak berinteraksi dengan guru tersebut sehingga ia rasa mampu menerimanya secara lahir dan batin. Selain itu, murid juga harus menjaga diri dari berteman dengan rekan yang tidak baik tingkah lakunya demi membatasi pengaruh setan berwujud jin dan manusia dari piring hatinya sehingga ia bersih dari kotoran setan. Dan dalam segala kondisi, ia harus lebih memperioritaskan kefakiran diri daripada kekayaan.[39]

6.  Perlunya Shalat Tahajjud
Selain itu, Imam al-Ghazali menyarankan kepada orang yang belajar dan mencari ilmu agar jangan meninggalkan shalat tahajjud.  Lebih lanjut ia berkata:
Alkisah sekelompok sahabat melaporkan tentang Abdullah bin Umar pada Rasulullah Saw. tentang keluasan ilmunya, maka Rasulullah berkata pada mereka, “Sebaik-baik orang adalah dia seandainya dia juga rajin shalat malam.” Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah bersabda menasihati seorang sahabat, ”Hai fulan, jangan kau banyak tidur di waktu malam hari, sebab banyak tidur malam membiarkan pemiliknya menjadi faqir di hari kiamat.
Anakku, firman Allah yang berbunyi,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahjjudlah kamu” (Q.S. al-Isra’: 79),[40] adalah instruksi.
Lalu firman Allah yang berbunyi,
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (pada Allah)” (Q.S. al-Dzariyat: 18),[41] adalah kesyukuran.
Dan firman Allah yang berbunyi,
وَالمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
Dan mereka yang memohon ampun di waktu sahur” (Q.S. Ali Imran: 17),[42] adalah dzikir.
Rasulullah bersabda: “Tiga suara yang disukai Allah Swt. adalah kokok ayam saat fajar menyingsing, lantunan orang yang membaca al-Qur’an, dan suara orang-orang yang memohon ampun di waktu sahur (sepertiga malam yang akhir).
Sufyan al-Tsauri menuturkan: “Sesungguhnya Allah menciptakan angin sahur yang membawa dzikir dan istighfar ke pangkuan Sang Maha Penguasa lagi Maha Agung.” Tuturnya juga: “Pada permulaan malam si Juru Panggil mengumandangkan penggilan dari bawah ‘Arsy: Ingat-ingat! Bangunlah para hamba ahli ibadah, maka merekapun bangun dan melaksanakan shalat sebagaimana kehendak Allah. Lalu pada pertengahan malam, Sang Juru Panggil itu mengumandangkan panggilan: Ingat-ingat, bangunlah para hamba yang taat dan ahli shalat, maka merekapun bangun dan melaksanakan shalat. Maka ketika waktu sahur menjelang, Juru Panggil itu mengumandangkan penggilan: Ingat-ingat, bangunlah para peminta ampunan, maka merekapun bangun dan beristighfar memohon ampunan. Dan jika fajar menyingsing, Juru Panggil itu mengumandangkan panggilan: Ingat-ingat, bangunlah orang-orang yang lalai, maka merekapun bangun dari ranjang mereka seperti orang mati yang bangkit dari kuburnya.”
Anakku, diriwayatkan dalam wasiat-wasiat Lukman al-Hakim pada anaknya, beliau berpesan: Anakku, jangan sampai ayam itu lebih cerdas darimu ketika ia berkokok di waktu sahur dan engkau masih pulas tertidur.
Sungguh tepat dan bagus orang yang menyenandungkan sya’ir:
Kawanan merpati di dahan berkicauan di garba malam
Sementara aku di sini malah tertidur
Demi rumah Allah
Aku telah berdusta jika mengatakan sebaga perindu Allah
Kala merpati-merpati itu selalu mendahuluiku menangis
Aku pikir aku ini seorang pecinta berat Tuhanku
Namun aku tidak menangis
Sementara merpati-merpati itu menangis.[43]

7.  Perlunya Mengamalkan Ilmu yang Diperoleh
Selanjutnya, Imam al-Ghazali mengharuskan seorang yang belajar juga untuk mengamalkan terhadap ilmu yang telah diperolehnya. Ia berkata:
Anakku, ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.[44] Yakinlah ilmu an sich tidak akan bermanfaat apa-apa. Perumpamaannya seperti seorang laki-laki yang memiliki sepuluh pedang model India serta senjata-senjata lainnya yang sedang berada di tengah belantara hutan. Ia termasuk laki-laki pemberani dan ahli perang. Tiba-tiba muncul di hadapannya seekor singa besar yang sangat menakautkan. Coba bagaimana menurutmu?! Bisakah segala macam senjata itu mengusir singa tersebut dari hadapannya tanpa ia hunus dan menyabetkannya? Sudah jelas bahwa singa itu tidak akan lari kecuali jika orang tersebut memainkan peadang tersebut dan menghunjamkannya. Ini seperi seorang yang membaca dan mempelajari seratus ribu macam masalah keilmuan, namun tidak mengamalkannya satupun padahal masalah-masalah itu tidak akan bermanfaat apa-apa kecuali jika ia mengaktualisasikannya. Seandainya kamu belajar selama seratus tahun dan telah kamu kaji seribu buku, kamu tetap tidak akan mendaptkan belas kasih Allah kecuali dengan mengaktualisasikannya. Allah berfirman,
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Q.S. an-Najm: 39).[45] Lalu firman Allah juga,
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَليَعْمَل عَمَلاً صَالِحاً
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” (Q.S. al-Kahfi: 110).[46]
جَزَاء بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan” (Q.S. at-Taubah: 82).[47]
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الفِرْدَوْسِ نُزُلاً. خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلاً
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya” (Q.S. al-Kahfi: 107-108).[48] Juga firman Allah,
إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Q.S. al-Furqan: 70).[49]
Dan merujuk kepada hadits “Islam dibangun di atas lima: kesaksian bahwa tiada tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, pelaksanaan shalat, pembayaran zakat, puasa ramadlan, dan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu”. Iman merupakan apresiasi lisan, justifikasi surga, dan aktualisasi rukun[50]
Janganlah kamu mempunyai keyakinan seperti seorang filsuf yang menganggap dan  mengklaim diri bahwa ilmu yang telah ia pelajari akan menjadi kunci keselamatan baginya tanpa harus bersusah payah mengamalkannya. Maha suci Allah dari ketidak tahuan masalah ini. Jika seseorang mengkaji ilmu, lalu ia tidak mengamalkannya, maka pasal-pasal hukuman akan lebih kuat menjeratnya. Rasulullah berdsabda: “Manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak Allah berikan manfaat keilmuannya baginnya.” `    
Alkisah al-Junayd –semoga Allah mensucikan batinnya- pernah dimimpikan (oleh muridnya) setelah kematiannya, maka ditanyakanlah padanya, “Apa kabar wahai Abu al-Qasim (al-Junayd)?” dia menjwaba: “Busuklah ungkapan-ungkapan seperti itu. Binasalah isyarat-isyarat semacam ini. Tidak ada yang bermanfaat bagi kita kecuali rakaat-rakaat kecil yang kita kerjakan di tengah malam.”[51]

8.  Perlunya Sama Perkataan dan Perbuatan dengan Syara’
Kemudian, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa apa yang diucapkan dan dikatakan oleh orang yang belajar harus sesuai dengan syari’at. Ia berkata:
Anakku, ucapan dan tindakanmu harus sesuai dengan syari’at sebab ilmu dan amal tanpa acuan syari’at adalah sesat. Jangan sekali-kali kamu tertipu dengan kesesatan dan bencana besar sufisme, sebab untuk meniti jalan ini diperlukan mujahadah, memotong kesenangan jiwa, dan membunuh hawa nafsu dengan pedang riyādah, bukan dengan kemalangan dan kesia-siaan. Ketahuilah, sesungguhnya lidah yang lancang dan hati yang tertutup dan penuh dengan kelalaian dan syahwat adalah tanda dari sebuah penderitaan. Jika tidak kamu bunuh nafsumu dengan keseriusan mujahadah, maka hatimu tidak akan bisa hidup dengan diterangi cahaya-cahaya ma’rifat.[52]

9.  Kiat-kiat Agar Ilmu yang Dimiliki Tidak Menjadi Musuh pada Hari Kiamat
Ada delapan macam kiat yang harus diperhatikan oleh orang yang belajar, menurut Imam al-Ghazali, agar ilmu yang diperolehnya tidak menajadi musuh pada hari kiamat. Selanjutnya, ia berkata:
Anakku, aku nasihati kamu dengan delapan hal yang jika kamu terima niscaya ilmumu tidak akan menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak. Laksanakan empat perkara dan tinggalkan empat perkara lainnya. Adapun hal-hal yang harus kamu tinggalkan adalah:
Larangan pertama, sebisa mungkin untuk tidak berdebat tentang suatu masalah dengan seseorang karena efek dosanya lebih besar dari ekses manfaatnya. Debat adalah sumber segala akhlak tercela seperti riyā’, iri, sombong, dengki, permusuhan, tinggi hati, dan sebagainya. Memang, jika kamu terlibat masalah dengan orang lain atau kaum dan kamu ingin menunjukkan yang benar sehingga kebenaran itu tidak disia-siakan dan dikesampingkan, kamu boleh membahasnya
Larangan kedua yang harus ditinggalkan adalah tidak boleh menjadi juru mau’izah dan juru peringat karena banyak jebakan petaka di dalamnya. Kecuali jika memang telah mengamalkan sebelumnya atas setiap apa yang ingin didakwahkan.
Larangan ketiga yang harus ditinggalkan adalah jangan bergaul dengan kalangan eksekutif dan lingkungan istana dan jangan pula memperhatikan mereka, sebab memperdulikan, bergaul dan masuk dalam lingkungan mereka adalah petaka besar.
Larangan keempat, tidak boleh menerima hadiah dan pemberian penguasa meskipun sudah jelas bahwa apa yang diberikan adalah halal. Sebab ketamakan mereka telah merusak agama.
Adapun empat perkatra yang harus diaktualisasikan dan dikerjakan adalah antara lain: pertama, buatlah standar dalam berinteraksi dengan Tuhan yang jika hal itu dilakukan oleh budakmu dalam berinteraksi denganmu, kamu akan menyukainya dan tidak ada gerutu dan kemurkaan dalam hati atasnya.
Kedua, terapkan standar minimal perlakuan pada manusia yang lain seperti kamu memperlakukan dirimu sendiri.
Ketiga, telaahlah disiplin ilmu yang sekiranya bermanfat langsung untuk perbaikan hati dan penyucian jiwamu seolah usiamu tinggal sepekan saja. Dan yang ke empat, jangan timbun keduniaan lebih dari keperluan hidup setahuan.[53]

10.  Perlunya Ikhlas
Seorang yang belajar dan menuntut ilmu juga harus ikhlas. Menurut Imam al-Ghazali, ikhlas adalah,
Ketahuilah ikhlas adalah kamu menempatan segenap amalan hanya demi Allah semata, dengan mengabaikan segala pujian manusia. Dan pujian manusia itu kemudian melahirkan sifat riyā’. Maka cara menghindari dari sifat riyā’ adalah dengan melihat mereka yang memuji sebagai sekedar mengolok-olok atau memandang mereka sebagai benda mati yang tidak punya kekuatan apa-apa. Namun, jika orang yang memuji itu dianggap memiliki kekuasaan dan kehendak, maka seseorang tidak akan terhindar dari sifat riyā’.[54]

11.  Perlunya Tawakkal
Seorang murid juga harus memiliki sifat tawakkal dalam belajar dan menuntut ilmu. Tawakkal, menurut Imam al-Ghazali adalah,
Kamu bertanya tentang tawakkal, tawakkal adalah meneguhkan keyakinan kepada Allah atas apa yang dia janjikan. Dengan kata lain, apa yang telah ditakdirkan dan ditentukan oleh Allah pasti akan didapatkan meski seisi dunia menghalangi untuk mendapatkannya, sedangkan apa yang tidak ditetapkan oleh Allah tidak mungkin terjadi meskipun seisi dunia menolongnya.[55]



C.  Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Mutaallimīn wa Mawizatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi.
1.  Motivasi
Motivasi merupakan salah satu faktor internal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini diyakini oleh Imam al-Ghazali dalam ungkapannya:
Jika motivasinya adalah untuk memperoleh harta benda dan kedudukan serta untuk membanggakan diri sesama teman-teman, maka sungguh kamu akan celaka. Tetapi jika niat kamu dalam belajar adalah untuk menghidupkan syariat Nabi Muhammad dan untuk membersihkan akhlakmu serta untuk menghilangkan nafsu ammarah, maka sungguh kamu akan beruntung.[56]

2.  Pendidik
Guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan profesional dalam menjalankan tugasnya akan berdampak baik bagi perkembangan siswa dalam belajar. Untuk itu, guru yang diingini oleh Imam al-Ghazali adalah:
Pendidik harus terdiri orang yang bisa membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyah dan menggantinya dengan akhlak yang baik. Adapun syarat kualitatif yang harus dimilki oleh guru antara lain, pintar (alim), tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw., memperbaiki diri dengan riyādah dengan menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan shalat, sedekah, dan puasa.
Di samping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak yang baik sebagai landasan perilaku kesehariannya seperti sabar, membaca salawat, syukur, tawakkal, yakin, qana’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut, rendah hati, ilmu, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak terburu-buru, dan lain-lain.[57]

3.  Kurikulum
Begitu juga dengan kurikulum merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Kurikulum yang dikehendaki oleh Imam al-Ghazali adalah kurikulum yang mampu menjadikan anak didik untuk taat beridah kepada Allah, sesuai dengan perkataannya:
Ketahuilah! Sesungguhnya ilmu yang hari ini (baca: di dunia) tidak menjauhkanmu dari perbuatan maksiat dan tidak membawamu untuk taat kepada Allah, kelak (di akhirat) ilmu itu tidak akan menjauhkanmu juga dari api neraka jahannam.[58] Anakku, inti dari ilmu adalah ketika kamu mengetahui apa itu taat dan ibadah. Ketahuilah! Ketaatan dan ibadah adalah mengikuti Allah Sang Legislator dalam hal perintah dan larangan, dengan ucapan sekaligus tindakan. Artinya apa yang kamu ucapkan, lakukan, dan apa yang kamu tinggalkan haruslah dalam koridor menuruti syari’ah. Maka seandainya kamu berpuasa pada hari raya ‘ied dan hari-hari tasyriq maka kamu telah bermaksiat. Begitu juga apabila kamu shalat dengan memakai baju gasab meski untuk kepentingan ibadah sekalipun, maka kamu telah berdosa.[59]



4.  Sikap
Sikap yang dimiliki siswa terhadap guru dan/atau mata pelajaran yang disampaikan juga tak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Karena itu, Imam al-Ghazali menekankan agar siswa menghormati seorang guru baik secara batin atau lahir. Sesuai dengan ungkapannya:
Dan siapa saja yang menjumpai seorang guru dengan kriteria sebagaimana telah disebutkan di atas, maka ia harus menghormatinya lahir dan batin.
Aktualisasi dari penghormatan lahiriyah, misalnya dengan tidak mendebat dan banyak argumentasi meskipun guru sudah jelas-jelas keliru, tidak menggelar sajadah di hadapannya kecuali pada waktu shalat, itupun jika sudah selesai harus cepat mengangkatnya, tidak memperbanyak shalat sunnah di hadapnnya, dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya sebatas kemampuannya.
Sedangkan aktualisasi penghormatan batiniyah dengan tidak mengingkari apa yang ia dengar dan terima darinya, baik dalam ucapan maupun tindakan, agar ia tidak dicap sebagai hipokrit, jika memang tidak mampu berbuat yang demikian, ia sebaiknya tidak berinteraksi dengan guru tersebut sehingga ia rasa mampu menerimanya secara lahir dan batin.[60]

5.  Kesucian Hati
Hati yang bersih dari sifat-sifat yang tercela juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini diakui oleh Imam al-Ghazali dengan menginginkan siswa agar ikhlas dan tawakkal, serta memilih kefakiran daripada kekayaan harta dalam belajar dan menuntut ilmu. Sesuai dengan ungkapannya:
Ketahuilah ikhlas adalah kamu menempatan segenap amalan hanya demi Allah semata, dengan mengabaikan segala pujian manusia. Dan pujian manusia itu kemudian melahirkan sifat riyā’. Maka cara menghindari dari sifat riya’ adalah dengan melihat mereka yang memuji sebagai sekedar mengolok-olok atau memandang mereka sebagai benda mati yang tidak punya kekuatan apa-apa. Namun, jika orang yang memuji itu dianggap memiliki kekuasaan dan kehendak, maka seseorang tidak akan terhindar dari sifat riyā’.[61]
Kamu bertanya tentang tawakkal, tawakkal adalah meneguhkan keyakinan kepada Allah atas apa yang dia janjikan. Dengan kata lain, apa yang telah ditakdirkan dan ditentukan oleh Allah pasti akan didapatkan meski seisi dunia menghalangi untuk mendapatkannya, sedangkan apa yang tidak ditetapkan oleh Allah tidak mungkin terjadi meskipun seisi dunia menolongnya.[62]
Dan dalam segala kondisi, ia harus lebih memperioritaskan kefakiran diri daripada kekayaan.[63]

6.  Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial yang dimaksud di sini adalah lingkungan eksternal yang mengitari siswa baik terdiri dari teman bergaul dan/atau masyarakat di sekitarnya. Lingkungan sosial tersebut sangat berpengaruh dan menjadi faktor akan keberhasilan siswa dalam belajar. Untuk itu Imam al-Ghazali mengingatkan agar jangan bergaul dengan orang-orang yang memiliki perangai yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan perkataannya: seorang murid juga harus menjaga diri dari berteman dengan rekan yang tidak baik tingkah lakunya demi membatasi pengaruh setan berwujud jin dan manusia dari piring hatinya sehingga ia bersih dari kotoran setan.[64]



[1] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali (Surabaya: Bulan Bintang, 1975), hlm. 27.
[2] Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj., M. Arifin (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 131.
[3] Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 28.
[4] Ibid., hlm. 29.
[5] Ibid., hlm. 30.
[6] Ibid., hlm. 31-32.
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 43.
[8] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159.
[9] Zainal Abidin, Op. Cit., hlm. 33.
[10] Ibid., hlm. 38.
[11] Ibid., hlm. 52.
[12] Ibid., hlm. 53-54.
[13] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 56-57.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 49-50.
[15] Zainal Abidin Ahmad, Op. Cit., hlm 165.
[16] Ibid., hlm. 173.
[17] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangannya (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140.
[18] Imam al-Ghazali, Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, terj., Ismail Ya’kub (Semarang: CV. Faizan, 1979), jilid 1, hlm. 126-127.
[19] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan: Studi tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali, terj., Said Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 21.
[20] Imam al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 84.
[21] Ibid., hlm. 84.
[22] Ibid., hlm. 85.
[23] Jalaluddin dan Usman Said, Op. Cit., hlm. 142-143.
[24] Imam al-Ghazali, Loc. Cit.
[25] Ibid., hlm. 86.
[26] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 235.
[27] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162.
[28] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87.
[29].Ibid., hlm 88.
[30] Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit., hlm. 137-143.
[31] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 165-166.
[32] Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 89-90.
[33] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167.
[34] Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Mutaallimīn wa Mawizatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfian min Gayrihi (Indonesia: al-Haramain Jaya, t.t.), hlm. 3.
[35] Ibid., hlm. 6.
[36] Ibid., hlm. 7.
[37] Ibid., hlm. 9.
[38] Ibid., hlm. 13-14.
[39] Ibid., hlm. 14-15.
[40] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Jumanatul Ali Art, 2004) hlm. 291.
[41] Ibid., hlm. 522.
[42] Ibid., hlm. 53
[43] Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad, Op. Cit., hlm. 8-9.
[44] Ibid., hlm. 7.
[45] Depag RI, Op, Cit., hlm. 528.
[46] Ibid., hlm 305.
[47] Ibid., hlm 201.
[48] Ibid., hlm 305.
[49] Ibid., hlm 367.
[50] Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad, Op. Cit., hlm. 3-4.
[51] Ibid. hlm. 3.
[52] Ibid., hlm. 9.
[53] Ibid., hlm. 16-23.
[54] Ibid., hlm. 15-16.
[55] Ibid.
[56] Ibid., hlm. 6.
[57] Ibid., hlm. 13-14.
[58] Ibid., hlm. 7.
[59] Ibid., hlm. 9.
[60] Ibid., hlm. 14-15.
[61] Ibid., hlm. 15-16.
[62] Ibid.
[63] Ibid., hlm. 14-15.
[64] Ibid., hlm. 14-15.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger news

Blogroll

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal