BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada saat sidang penciptaan manusia berlangsung, di benak para makhluk
Allah yang memang telah diciptakan lebih awal, semacam iblis dan malaikat
tersimpan tanda tanya dan praduga yang besar, mengapa Allah kemudian menciptakan
lagi manusia, yang jelas-jelas hanya akan menambah kerusakan dan pertumpahan
darah di muka bumi? Apakah kami ini belum cukup? Allahpun kemudian menjawab
dengan singkat dan padat: Aku lebih tahu dari kamu!
Setelah itu, Allah kemudian bertitah kepada semua makhluknya tadi untuk
bersujud (baca: sebagai penghormatan) kepada mahkluk yang baru saja Allah
ciptakan itu, Adam. Dan pada saat itu pula, malaikat mencoba untuk interupsi
lagi kepada Allah: Bolehkah saya bertanya satu hal, apa alasan Engkau meninggikan
derajat manusia ketimbang kami? Dengan tegas Allah menjawab: Karena mereka
(manusia) dibekali dengan ilmu pengetahuan dan akal. Dan dengan pengetahuan dan
akal itulah manusia bisa membangun dunianya.
Mendengar itu, semua malaikat langsung bersujud kepada Adam, sementara
itu, iblis menolak dengan sebuah argumentasi yang kental dengan rasial: bahwa
derajatnya lebih tinggi dari manusia karena dia diciptakan dari api sementara itu,
manusia diciptakan dari tanah. Saat itu juga syetan dilaknat sampai hari kiamat
dan diusir oleh Allah dari sorga serta dia menyandang predikat sebagai
pembangkang atas perintah Allah.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa sejak pertama kali Allah menciptakan
makhluk yang bernama manusia, Allah kemudian menegaskan akan keutamaan dari ilmu
dan orang yang berilmu ketimbang apa dan siapapun, termasuk para malaikat dan
iblis. Malaikat yang kesohor dengan makhluk Allah yang sangat taat dalam melaksanakan
perintah-perintahNya, dan ia juga tidak pernah maksiat kepadaNya, ternyata
harus mengakui dan bersujud terhadap kecanggihan makhluk Allah yang bernama
manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baiknya bentuk[1]
(baca: bekal ilmu dan akal) yang kecanggihannya melebihi daripada
makhluk-makhluk Allah lainnya.
Jadi, hanya dengan bekal ilmu dan akallah yang membedakan kualitas
kemanusiaan, peradaban, masyarakat, dan individu dengan yang lainnya. Dengan
ilmu pengetahuan manusia bisa berkarya dan berprestasi serta dengan ilmu pula
ibadah seseorang menjadi berarti dan sempurna di sisi Allah. Dan kalau
diperhatikan ternyata orang-orang yang menguasai dunia ini adalah terdiri dari
golongan orang-orang yang berilmu.
M. Zainuddin
mengatakan bahwa,
Ungkapan bahwa
ilmu itu laksana cahaya adalah sangat tepat, karena memang ilmu itu memberikan
petunjuk atau jalan kepada suatu perbuatan. Tanpa ilmu orang tak akan mampu
melaksanakan tugas yang diembannya. Lebih dari itu, salah satu dari yang
membedakan manusia dengan binatang adalah dari segi “keilmuannya” ini. Binatang
tidak akan memiliki ilmu karena ia hanya memiliki instink. Oleh sebab itu,
manusia yang tidak berilmu dan tidak mau mencari ilmu ia tak lebih dari
binatang karena kebodohannya. Bahkan instink binatang lebih tajam.[2]
Kecuali itu, ilmu juga merupakan kompas yang dapat dijadikan pedoman bagi
manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengelola bumi. Ilmu merupakan
petunjuk bagi manusia dalam membangun peradabannya di muka bumi. Sebab, tanpa
ilmu, manusia tidak mungkin bisa merealisasikan tugas yang diembannya. Manusia
tidak akan bisa mendayagunakan sumber daya alam seperti laut dan darat, tanpa
dibekali dengan disiplin ilmu yang mumpuni.
Allah berfirman dalam surat
Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء
وَالقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ
وَالحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus: 5).[3]
Ayat di atas erat sekali kaitannya dengan pentingnya belajar dan memiliki
ilmu pengetahuan khususnya tentang peredaran matahari, bulan, dan bintang yang
merupakan ciptaan Allah, di mana semua ciptaan Allah tersebut sangat berguna
bagi hidup dan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk Allah yang lainnya.
Allah telah menciptakan matahari bersinar di waktu siang dan rembulan
bercahaya di waktu malam serta mengatur kehidupan dengan indah. Matahari
mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya
seperti tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan lain-lain. Adapun bumi berputar
mengelilingi matahari kemudian terjadilah pergantian siang dan malam.
Kesemuanya itu beredar dalam garis edarnya masing-masing.
Sayyid Quthb mengatakan bahwa dari penciptaan langit dan bumi, matahari
bersinar dan bulan bercahaya, muncullah fenomena siang dan malam. Sebuah
fenomena yang dapat menimbulkan inspirasi bagi orang-orang yang membuka hatinya
(baca: belajar untuk memiliki ilmu pengetahuan) untuk merenungkan pemandangan
alam yang menakjubkan ini.[4]
Dengan adanya sifat pada kedua benda angkasa tersebut dimaksudkan supaya
manusia dapat mengetahui perhitungan waktu hari dan perhitungan waktu bulan yang
sangat berguna bagi manusia dalam beribadah dan bermuamalah.
Kemudian, secara tidak langsung, al-Qur’an juga mengatakan bahwa proses
penciptaan tersebut, dan perputaran matahari serta bulan hendaknya jangan
dianggap remeh, selanjutnya ayat di atas menyatakan bahwa Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.[5]
Dan kesemuanya (hikmah ciptaan Allah) itu, Allah terangkan bagi
orang-orang yang berilmu, yang dapat memahami keteraturan dan
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah. Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa,
firman Allah lafad ِلقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ mempunyai
arti bahwa Allah menjanjikan tersingkapnya ayat/ tanda-tanda kebesaranNya bagi
orang-orang yang mengetahui (baca: mempunyai bekal ilmu sebagai hasil dari
proses belajar).[6]
Imam Ash-Shabuny mengatakan bahwa Allah menjelaskan tanda-tanda
kebesarannya melalui ayat-ayat kauniyah itu bagi orang-orang yang mampu
memahami akan kekuasaan Allah serta mampu mengambil pelajaran dari hal
tersebut.[7]
Orang yang mampu memahami kekuasaan Allah dan kemudian memunguti pelajaran dari
tanda-tanda kebesaranNya tidak lain adalah orang-rang yang memiliki bekal
keilmuan yang mumpuni. Hal ini diperkuat lagi dengan Firman Allah dalam
al-Qur’an Surat
Ali Imran: 7, yang berbunyi:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ
مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ
في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الفِتْنَةِ
وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي العِلمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألبَابِ
Artinya:
“Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran: 7).[8]
Sedangkan keutamaan orang yang berilmu di sisi Allah, bisa dilihat dalam
al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ
لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي المَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا
قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا العِلمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah: 11).[9]
Al-Qur’an surat
al-Mujadilah tadi menerangkan tentang keutamaan majlis ilmu (orang yang
melakukan aktifitas belajar), keutamaan orang yang beriman, dan keutamaan orang
yang memiliki ilmu pengetahuan. Sehingga wajar dan tidak berlebihan, dan memang
seharusnya sebagai seorang muslim untuk menghormati sebuah majlis yang di
dalamnya terdapat orang-orang yang aktif mengkaji ilmu pengetahuan. Sebab
majlis ilmu, orang-orang yang beriman, orang-orang yang berilmu memiliki
derajat yang khusus di sisi Allah.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, dalam surat al-Mujadilah ayat 11 tersebut di atas
mengatakan bahwa,
Tidak
disebutkan secara langsung dan tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang
yang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yang
lebih tinggi dari orang yang sekedar beriman. Yang dimaksud الذين أوتوا العلم adalah
mereka yang berilmu dan menghiasi diri dengan ilmu pengetahuan. Ini berarti
ayat di atas membagi kaum beriman ke dalam dua kelompok besar. Yang pertama,
sekedar beriman dan beramal shaleh. Dan yang kedua, beriman dan beramal shaleh
serta meiliki ilmu pengetahuan. Derajat yang kedua inilah yang lebih tinggi
bukan saja karena ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada
orang lain. Adapun ilmu yang dimaksud dalam ayat di atas adalah bukan saja ilmu
agama, tetapi juga ilmu apa saja yang bermanfaat.[10]
Ali al-Shabuny mengatakan bahwa Allah akan mengangkat derajatnya
orang-orang yang beriman yang mengerjakan segala bentuk perintah yang datang
dari Allah dan Rasulnya. Khusus bagi orang-orang yang berilmu Allah akan
memberi dan menempatkannya pada tingkat dan derajat yang lebih tinggi.[11]
Adapun keistimewaan yang lain dari orang yang berilmu adalah bahwa dia
menyandang predikat sebagai pewaris para nabi. Dan sebagaimana telah maklum
bersama, bahwa warisan nabi bukan berupa harta yang melimpah atau bahkan
pangkat dan kedudukan melainkan berupa ilmu dan agama (baca: al-Qur’an dan
Hadits). Dan sudah dimaklumi, bahwa tak ada pangkat di atas pangkat kenabian
dan tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan yang mewarisi pangkat tersebut.[12]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi,
Rasul bersabda:
عن أبى الدرداء قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: فضل العالم
على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب. وإن العلماء ورثة الأنبياء لم يورثوا
دينارا ولا درهاما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر. (رواه ابو داود
والترمذي)
Artinya:
“Dari Abu
Darda’: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Kelebihan seorang alim dari
seorang abid (orang yang suka beribadah) seperti kelebihan bulan pada
bintang-bintang, dan sesungguhnya para ulama itu pewaris nabi-nabi, mereka
(para nabi) tidak mewariskan dinar, tetapi mewarisi ilmu, siapa yang
mengambilnya, maka ambillah dengan bagian yang cukup.” (H.R Abu Daud dan
Turrmudzi).[13]
Dijelaskan oleh Nabi bahwa seorang alim (baca: orang yang berilmu dan
mengamalkan ilmunya) lebih utama dari pada seorang yang gemar beribadah. Dan
Rasul juga menjelaskan bahwa orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris para
nabi.
Paling tidak, ada dua hal yang terkandung dalam hadits di atas; Pertama,
bahwa orang yang alim lebih utama dari seorang yang gemar beribadah. Ini
artinya bahwa orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi bahkan
melebihi seorang hamba yang gemar beribadah namun tidak didasari dengan ilmu
yang memadai. Yaitu hanya sekedar mengandalkan ritual ibadah belaka dengan
ukuran seberapa tebal berkas hitam di dahi kita, seberapa besar jilbab yang
kita kenakan.[14]
Yang dimaksud orang yang berilmu di sini adalah orang yang mempunyai ilmu
dan mengamalkan terhadap ilmunya. Ilmu yang dimilikinya bagaikan cahaya yang
dapat menerangi kegelapan. Sebagai orang yang berilmu ia mengerti bahwa ilmunya
harus dimanfaatkan. Dengan ilmunya ia bisa membedakan antara yang hak dan yang
bathil, antara yang halal dan yang haram. Dengan ilmunya ia bisa beribadah
dengan baik, apa yang dikerjakannya mempunyai dasar dan penuh dengan
kehati-hatian. Dengan ilmunya pula ia dapat merubah keadaan dan cepat
menyesuaikan kadan itu dengan cepat.
Kedua, para ulama adalah pewaris para nabi. Dalam hal ini ulama
(orang yang berilmu) bertugas sebagai pembawa amanat para nabi yang harus
disampaikan kepada umat manusia. Secara berkesinambungan dakwah atau ajaran
yang pernah disampaikan oleh para nabi, setelah beliau wafat, dilanjutkan oleh
para ulama. Seorang ulama tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi dengan
ilmunya yang ia miliki ia berkewajiban mengamalkamnnya dan mengajarkannya
kepada orang lain.
Dengan demikian eksistensi agama akan terus terpelihara dengan baik.
Walaupun kita tidak pernah berjumpa dengan nabi, tidak pernah mendengar secara
langsung ajaran-ajarannya, namun berkat kegigihan para ulama Islam, kita dapat
mengenyam nikmat ajaran-ajaran Islam. Karena ulama adalah pewaris para nabi dan
pemegang amanah Allah.
Bertolak dari uraian di atas, sangat jelas sekali menggambarkan bahwa kedudukan
ilmu dalam Islam adalah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu
sendiri yang mengandung petunjuk pada jalan yang lurus yang selaras dengan
maksud dan tujuan ajaran Islam itu sendiri.
Begitu hebatnya fungsi dan peran ilmu pengetahuan bagi hidup dan kehidupan
manusia di dunia dan bahkan kelak di akhirat, sehingga dengan sendirinya ilmu
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Maka tidak heran manakala
wahyu yang pertama kali turun adalah berkenaan dengan perintah untuk membaca (iqra’).
Iqra’ di sini mempunyai makna yang sangat luas, antara lain: berupa perintah
untuk membaca, memikirkan, mengkaji, menghayati, mamahami, meneliti, dan
seterusnya. Serupa proses kreatifitas dengan aktualisasi potensi fakir untuk
menemukan kebenaran. Atau yang lebih dikenal dalam dunia pendidikan dengan sebutan
belajar.
Belajar dalam hal ini memiliki makna yang sangat luas. Belajar tidak
hanya sekedar mengumpulkan dan menghafal kata-kata yang terdapat dalam materi
pelajaran secara formal baik di sekolah atau di lembaga pendidikan lainnya.
Secara umum, belajar dapat dimaknai dengan tahapan perubahan tingkah laku
seseorang (domain kognitif, affektif, dan domain psikomotorik) yang relatif
menetap sebagai hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah segala
kejadian (peristiwa) yang secara sengaja dialami oleh setiap orang.[15]
Jadi, proses belajar bisa berlangsung kapan dan di mana saja.
Mengutip Hintzman, Muhibbin Syah berpendapat bahwa, belajar adalah suatu
perubahan yang terjadi dalam organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh
pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Sedangkan
menurut Chaplin, belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif
menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman.[16]
Slameto juga memberikan pengertian mengenai belajar yaitu, suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.[17]
Senada dengan di atas, Nana Sudjana mengatakan bahwa belajar adalah suatu
perubahan yang relatif permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai
hasil dari praktek dan latihan.[18]
Pada hakekatnya, belajar adalah suatu proses yang dapat dilakukan oleh jenis-jenis
makhluk hidup tertentu seperti manusia. Dan belajar merupakan proses yang
memungkinkan makhluk-makhluk itu merubah perilakunya dan perilaku itu cukup
langgeng.[19]
Definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam belajar terdapat
tingkah laku yang mengalami perubahan; perubahan itu terjadi karena adanya
pengalaman dan latihan, dan karenanya, perubahan yang disebabkan bukan oleh
pengalaman dan latihan, seperti gila, tidak dinamakan belajar; belajar erat
kaitannya dengan perubahan dalam sebuah organisme sebagai hasil dari pengalaman.
Belajar adalah hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan, sehingga
bisa dikatakan bahwa belajar adalah pendidikan dan pendidikan adalah belajar.
Belajar, sebagai sebuah proses, hampir selalu mendapatkan tempat yang luas
dalam setiap disiplin ilmu.
Dalam perspektif Islam pun, belajar merupakan kewajiban bagi setiap
Muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan. Tentang kewajiban ini,
al-Qur’an telah menyebutnya berulang-ulang. Diantaranya adalah dalam surat at-Taubah ayat 122
yaitu:
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ
كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ
لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya:
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(Q.S. at-Taubah: 122).[20]
Ayat di atas jelas sekali menunjukkan kepada kita akan kewajiban belajar -dalam
rangka memperoleh ilmu pengetahuan bagi orang Islam dan kemudian mengajarkannya
kepada manusia yang lain dengan baik. Orang Islam tidak boleh semuanya ikut
berjihad ke dalam medan
perang. Bahwa belajar lebih utama dari berjihad dan berperang di jalan Allah.
Menurut M. Quraish Shihab, kata ليتفقهوا dengan tambahan huruf ت pada kata tersebut
mengandung arti kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya tersebut para
pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang
kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan.[21]
Jadi, Islam telah memberikan benteng kepada pemeluknya untuk menjadi ahli
ilmu. Umat Islam wajib belajar dan menuntut ilmu yang banyak diperlukan dalam
setiap ruang dan waktu. Sehingga ia mampu membedakan yang manakah
perkara-perkara yang harus dilakukan dan di mana pula perkara-perkara yang
tidak boleh dikerjakan.
Kewajiban belajar dan menuntut ilmu bagi orang Islam tersebut tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu. Orang Islam boleh belajar dan menuntut ilmu ke
mana saja tempat-tempat yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan. Dan juga
menuntut ilmu tidak pula dibatasi dengan umur yang ia miliki. Belajar diwajibkan
dari sejak ia lahir hingga ajal menutup mata.
Selanjutnya, banyak hal penting yang menentukan
akan keberhasilan seseorang dalam hal belajar. Pendekatan dalam belajar
merupakan salah satu aspek yang juga sangat menentukan tingkat keberhasilan
siswa dalam belajar. Banyak dijumpai bahwa siswa yang memiliki kemampuan di
atas rata-rata namun hanya mencapai hasil yang sama dengan yang dicapai oleh
teman-temannya yang lain.
Sebaliknya, seorang siswa yang sebenarnya hanya
memiliki kemampuan ranah cipta rata-rata atau sedang, dapat mencapai puncak
prestasi yang memuaskan lantaran menggunakan pendekatan atau strategi yang
efektif dan efisien dalam belajarnya.
Di samping itu, pentingnya pendekatan dalam
belajar dan menuntut ilmu adalah agar proses dan hasil dari proses tersebut
tidak sia-sia dan bahkan agar berguna serta bermanfaat baik untuk orang yang
belajar dan juga untuk orang lain.
Imam al-Ghazali mengatakan, tanda-tanda
bahwa Allah meninggalkan hambanya adalah apabila ia berbuat sesuatu yang tidak
berguna. Dan barang siapa yang menghabiskan umurnya tanpa
dipergunakan untuk beribadah kepada Allah, maka pantaslah ia mengalami
kesedihan yang lama.[22]
Serta barang siapa yang umurnya lebih dari empat puluh tahun tahun sedangkan
amal kejelekannya lebih besar dari amal kebaikannya, maka orang tersebut
bersiap-siaplah menuju neraka. Dan, parahnya lagi, manusia yang paling
menderita siksaan Allah pada hari kiamat adalah orang-orang yang pintar namun
ilmunya tidak bermanfaat.[23]
Mengingat begitu pentingnya pendekatan dalam belajar,
agar seseorang berhasil dalam proses belajar serta ilmu yang dimiliki tidak
sia-sia dan bahkan bisa berguna serta bermanfaat baik untuk dirinya dan juga
untuk orang lain, maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dengan
judul: Pendekatan dalam Proses Belajar Perspektif Imam al-Ghazali: Kajian Kitab
Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas,
maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pendekatan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā
al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa
Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi?
2.
Faktor-faktor
apa saja yang menentukan keberhasilan dalam proses belajar perspektif Imam
al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim
Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pendekatan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam
kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi.
2.
Untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan dalam proses
belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā al-Walad fī
Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min
Gayrihi.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka
dalam penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat yang besar:
1.
Bagi
penulis
a.
Sebagai
suatu wacana untuk memperluas cakrawala pemikiran tentang pendekatan dalam
proses belajar.
b.
Sebagai
salah satu sumbangan pemikiran dari penulis yang merupakan wujud aktualiasi
dalam mengabdi pada agama, negara dan bangsa.
2.
Bagi
masyarakat
a.
Sebagai
salah satu sumber informasi tentang pentingnya pendekatan dalam proses belajar
demi tercapainya maksud dan tujuan dalam menimba ilmu pengetahuan.
3.
Bagi
pengembangan pendidikan
a.
Penelitian
ini diharapkan menjadi wahana baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan sehingga
tercipta perubahan yang lebih baik dalam pendidikan utamanya pendidikan agama
dewasa ini.
E. Ruang Lingkup Pembahasan
Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka
penelitian ini difokuskan pada obyek kajian tentang pendekatan dalam proses
belajar perspektif Imam al-Ghazali yang terdapat dalam kitab Ayyuhā
al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa
Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi. Serta pembahasan mengenai faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam proses
belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā al-Walad fī
Nasīhati al-Muta‘allimīn wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū ‘Ilman Nāfi‘an min
Gayrihi.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian
dan persepsi dalam memahami beberapa istilah yang digunakan oleh penulis dalam
skripsi ini, maka penulis perlu mengemukakan beberapa definisi operasional,
antara lain:
1.
Pendekatan
adalah metode untuk mencapai pengertian tentang masalah dalam penelitian.[24]
Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna maksud tujuan yang ditentukan.[25]
2.
Proses
adalah rangkaian tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk.[26]
3.
Belajar
adalah perubahan tingkah laku pada diri individu yang relatif menetap berkat
adanya interaksi dengan lingkungannya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan
di sini bahwa yang dimaksud dengan Pendekatan dalam Proses Belajar Perspektif
Imam al-Ghazali dalam skripsi ini adalah cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan dalam proses belajar yang terdapat dalam kitab
Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi guna maksud tujuan
yang ditentukan.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai
isi penelitian ini, maka pembahasan dibagi menjadi enam bab. Uraian
masing-masing bab disusun sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan: berisi
tentang tinjauan secara global permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
serta dikemukakan beberapa masalah meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup pembahasan, penegasan
istilah, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang kajian pustaka yang
terdiri dari: beberapa studi tentang pemikiran Imam al-Ghazali, arti penting
belajar, definisi belajar, teori-teori belajar,
proses dan tahapan belajar, jenis-jenis belajar, pendekatan belajar,
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
Bab ketiga membahas tentang metodologi
penelitian yang terdiri dari: pendekatan dan jenis penelitian, instrumen
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
Bab keempat merupakan pemaparan tentang hasil
penelitian yang berisi biografi Imam al-Ghazali, riwayat hidup Imam al-Ghazali,
setting sosial-politik dan pengaruhnya bagi pemikiran Imam al-Ghazali,
karya-karya Imam al-Ghazali, klasifikasi ilmu perspektif Imam al-Ghazali,
pendidikan dalam pemikiran Imam al-Ghazali, pengaruh Imam al-Ghazali dalam
dunia pendidikan, pendekatan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali
dalam kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi, yang terdiri dari: arti
penting pekerjaan yang bermanfaat, motifasi dalam belajar, kriteria dalam
memilih ilmu, kriteria dalam memilih guru, akhlak terhadap guru, perlunya shalat
tahajjud, perlunya mengamalkan ilmu yang diperoleh, perlunya sama perkataan dan
perbuatan dengan syara’, kiat-kiat agar ilmu tidak menjadi musuh pada hari
kiamat, perlunya ikhlas, dan perlunya tawakkal, faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā
al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa
Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi, yang terdiri dari:
motivasi, pendidik, kurikulum, sikap, kesucian hati, dan lingkungan sosial.
Bab kelima merupakan bab tentang pembahasan hasil penelitian yang berisi pendekatan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali
dalam kitab Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi, yang terdiri dari: arti
penting pekerjaan yang bermanfaat, motivasi dalam belajar, kriteria dalam
memilih ilmu, kriteria dalam memilih guru, akhlak terhadap guru, perlunya shalat
tahajjud, perlunya mengamalkan ilmu yang diperoleh, perlunya sama perkataan dan
perbuatan dengan syara’, kiat-kiat agar ilmu tidak menjadi musuh pada hari
kiamat, perlunya ikhlas, dan perlunya tawakkal, faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan dalam proses belajar perspektif Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā
al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn wa
Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi, yang terdiri dari:
motivasi, pendidik, kurikulum, sikap, kesucian hati, dan lingkungan sosial.
Bab keenam merupakan bab terakhir atau penutup
yang membahas mengenai kesimpulan dan saran-saran.
[1] Depag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya (Bandung:
CV Penerbit Jumanatul Ali Art, 2004) hlm. 598.
[2] M.
Zainuddin, “Aksiologi dalam Perspektif Islam”, eL-HARAKAH: Wacana
Kependidikan, Keagamaan, dan Kebudayaan. Edisi 57, Tahun XXII,
Desember-Pebruari 2002. hlm. 29.
[3] Ibid.,
hlm. 209.
[4]
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dlilal al-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk., Tafsir
fi Zhilalil Qur’an: di Bawah Naungan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), jilid 6, hlm. 98.
[5] Allamah
Kamal Faqih, Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary Into The Light of The
Holy Qur’an, terj., Ahsin Muhammad, Tafsir Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an (Jakarta:
al-Huda, 2005), hlm. 16.
[6]
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Vol. 6, hlm.
21.
[7] Ali
ash-Shabuny, Safwatu al-Tafāsīr (Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1999), juz 2, hlm. 451.
[8]
Depag, Op. Cit., hlm. 51.
[9] Ibid.,
hlm. 544.
[10]
Muhammad Quraish Shihab, Op. Cit., vol. 14, hlm. 79-80.
[11]
Ali ash-Shabuny, Safwatu al-Tafāsīr (Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1999), juz 3, hlm. 1217.
[12]
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Dīn, terj. Ismail Yakub, Ihya’ Ulum
ad-Din (Semarang: Menara Kudus, 1979), jilid 1, hlm. 44.
[13]
Abi Isa Muhammad bin Surah at-Turmudzi, al-Jāmi’ al-Shahīh wa Huwa Sunan
al-Turmuzī (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm. 478.
[14]
Muhy-I al-Dien, Jalan Menuju Hikmah: Mutiara Ihya’ al-Ghazali untuk Orang
Modern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2001),
hlm. 29.
[15]
Muhaimin, dkk., Strategi Belajar Mengajar (Penerapannya dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama) (Surabaya:
CV. Citra Media, 1996), hlm. 43.
[16]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hlm. 90.
[17]
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), hlm. 2.
[18]
Nana Sudjana, Teori-teori Belajar untuk Pengajaran (Jakarta: Lembaga
Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1991), hlm. 5.
[19]
Robert M. Gagne, Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran, terj.,
Abdillah Hanafi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 17-18.
[20] Depag, Op.
Cit., hlm. 208.
[21]
Muhammad Quraish Shihab, Op. Cit., vol. 5, hlm. 707.
[22]
Imam al-Ghazali, Ayyuhā al-Walad fī Nasīhati al-Muta‘allimīn
wa Maw‘izatihim Liya’lamū wa Yumayyizū
‘Ilman Nāfi‘an min Gayrihi (t.k.: al-Haramain Jaya Indonesia, t.t), hlm. 3.
[23] Ibid.
[24]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982), hlm. 192.
[25] Ibid.,
hlm. 580.
[26] Ibid.,
hlm. 703.
0 komentar:
Posting Komentar