Selasa, 03 April 2012


BAB I KAJIAN TEORI

A.     Pembahasan tentang Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Pada dasarnya konsep pembelajaran kontekstual dengan prinsip-prinsipnya bukan merupakan konsep baru. Konsep dasar pendekatan ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa. Proses belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya  (Kasihani, 2003: 1).
Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan berbagai nama. Di negara Belanda berkembang apa yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang menjelaskan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka (Depdiknas, 2002: 3-4).  
Di Indonesia, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (PLP), mulai tahun pelajaran 2003/2004 memberlakukan pendidikan keterampilan hidup (life skill education-LSE) dan pembelajaran serta pengajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning-CTL) di setiap jenjang lanjutan pertama (http://www.suaramerdeka.com/harian/0309/04/dar6.htm).
Esensi pendekatan CTL adalah membantu siswa mengaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan konteks kehidupan/situasi dunia nyata mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota bangsa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan pendekatan CTL, proses belajar mengajar akan lebih konkret, lebih realistis, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).

1.      Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Pembelajaran ini memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang diperoleh di kelas dan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, sebagai warga masyarakat dan nantinya sebagai tenaga kerja. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (Kasihani, 2003: 1).
CTL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota (keluarga, masyarakat, dan bangsa) (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm). 
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berusaha dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang berbasis CTL (Kasihani, 2003: 4).
CTL hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, CTL di kembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. CTL dapat di jalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada (Kasihani, 2003: 4-5). 
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pembelajaran kontekstual, yaitu antara lain:
  1. Johnson (2002: 25) dalam Nurhadi, dkk (2004: 12)
Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berfikir kritis dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan asesmen autentik.
  1. US Departement of Education (2001) dalam Kasihani (2003: 2)

Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata pelajarannya dengan situasi nyata dan memotivasi siswa untuk dapat menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana dia hidup.

  1. The Washington (2001: 3-4) dalam Nurhadi, dkk (2004: 12)
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.

Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
  1. Menurut para penulis NWREL
Menurut para penulis NWREL dalam Nurhadi, dkk (2004: 12)   ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL, yaitu: kebermaknaan (meaningfulness), penerapan ilmu (application of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan harus standar (standards-based curricula), berfokus pada budaya (cultures focused), keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan asesmen autentik (authentic assessmen). 

  1. TEACHNET dalam Nurhadi, dkk (2004: 12)
Proyek yang dilakukan oleh Center on Education and Work at the University of Wisconsin-Madison, yang disebut TEACHNET, mengeluarkan pernyataan tentang CTL bahwasanya pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar (Nurhadi, 2004: 12).

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai macam konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pola kelompok belajar yang bebas.

2.      Latar Belakang Lahirnya Pembelajaran Kontekstual
Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey (Suparno, 2003: 2).
Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Pokok pandangan progresivisme adalah antara lain:
a.       Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksikan sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
b.      Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.
c.       Penumbuh minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
d.      Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
e.       Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
f.        Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen (Nurhadi, 2004: 8).
Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi (Nurhadi, 2004: 8-9).
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Melalui landasan filosofi  konstruktivisme, Contextual Teaching and Learning ‘dipromosikan’ menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi Contextual Teaching and Learning siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’, bukan ‘menghafal’ (Nurhadi, 2004: 9).

3.      Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Dalam bukunya Nurhadi (2004: 20-21) yang berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan pembelajaran kontekstual guru perlu memegang prinsip pembelajaran berikut ini:
a.      Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental (depelopmentally appropriate) siswa.
Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus didasarkan kepada kondisi sosial, emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi, usia siswa dan karakteristik individual lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian di dalam merencanakan pembelajaran. Contohnya, apa yang telah dipelajari dan dilakukan oleh siswa SLTP tentunya berbeda dengan apa yang dipelajari dan dikerjakan oleh siswa SMU (Kilmer, 2001: 9). 
b.      Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups).
Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok kecil dan belajar bekerja sama dalam tim lebih besar (kelas). Kemampuan itu merupakan bentuk kerja sama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan konteks lain. Jadi, siswa diharapkan untuk berperan aktif.
c.      Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning).
Lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran berfikir penggunaan strategi dan motivasi yang berkelanjutan. Berdasarkan penelitian, siswa usia 5-16 tahun secara bertahap mengalami perkembangan kesadaran terhadap; (i) keadaan pengetahuan yang dimilikinya, (ii) karakteristik tugas-tugas yang mempengaruhi pembelajarannya secara individual, dan (iii) strategi belajarnya (Brown, Bransford, Ferrara dan Campione, 1993; Flavell, 1978 dalam Paris dan Winograd, 1998).
d.      Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students).
Di kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragamannya, misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial-ekonomi, bahasa utama yang dipakai di rumah, dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dengan demikian, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajarannya.
e.      Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelligences) siswa.
Dalam menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, maka cara siswa berpartisipasi di dalam kelas harus memperhatikan kebutuhan dan delapan orientasi pembelajarannya (spasi-verbal, linguistic-verbal, inter-presonal, musical-ritmik, naturalis, badan-kinestetika, intrapersonal dan logismatematis) (Gardner, 1993).
f.        Menggunakan teknik-teknik bertanya (Questioning) untuk meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berfikir tingkat tinggi.
Agar pembelajaran kontekstual mencapai tujuannya, maka jenis dan tingkat pertanyaan yang tepat harus diungkapkan/ditanyakan. Pertanyaan harus secara hati-hati direncanakan untuk menghasilkan tingkat berfikir, tanggapan, dan tindakan yang diperlukan siswa dan seluruh peserta di dalam proses pembelajaran kontekstual (Frazee, 2001).
g.      Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment).
Penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berfikir kompleks seorang siswa, dari pada hanya sekedar hafalan informasi aktual. Kondisi alamiah pembelajaran kontekstual memerlukan penilaian interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan penilaian satu disiplin (Ananda, 2001).

4.      Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Dalam bagian berikut akan disampaikan beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Johnson (2002: 24) dalam Nurhadi, (2004: 14), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, seperti dalam rincian berikut:
a.       Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
Dalam pembelajaran ini seharusnya siswa dapat mengatur dirinya sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).
b.      Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)
Dalam pembelajaran ini siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
c.       Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)
Dalam pembelajaran ini siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.

d.      Bekerja sama (collaborating)
Dalam pembelajaran ini siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih secara kritis dapat menganalisis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
e.       Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative)
Dalam pembelajaran ini siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti.
f.        Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)
Siswa memelihara pribadinya yaitu mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa, siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
g.       Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Dalam pembelajaran ini siswa mengenal standar yang tinggi, mengidentifikasi tujuan dan motivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”.
h.      Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment)
Dalam pembelajaran ini siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah / membuat penyajian perihal emosi manusia.
The Northwest Regional Education Laboratory USA mengidentifikasi adanya enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual yaitu:
a.       Pembelajaran bermakna (meaningful Learning): pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran ini terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang.
b.      Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari di sekolah dapat diterapkan dalam tatanan kehidupan di masa sekarang dan di masa depan. Bahkan dengan pengetahuan dan keterampilan tersebut, kehidupannya pada masa kini dan masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik.
c.       Berpikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan memanfaatkan berfikir tingkat kritis, berfikir analisis, dan berfikir kreatif dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan suatu masalah.
d.      Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, propinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
e.       Responsif terhadap budaya: guru harus menghargai dan memahami nilai, kepercayaan dan kebiasaan siswa, teman pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru.
f.        Penilaian autentik: menggunakan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek atau tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubric, daftar cek, pedoman observasi dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya secara komprehensif (Depdiknas, 2002:11-12).
Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan secara fleksibel dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam pembelajaran kontekstual siswa ditempatkan di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Sehubungan dengan itu menurut Rochmadi (2002: 13) pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
a.      Belajar berbasis masalah (problem based learning) yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.
b.      Pengajaran autentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pengajaran yang menekankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam kehidupan nyata.
c.      Belajar berbasis inquiri (inquiry based learning), yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains yang menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d.      Belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (project based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran.
e.      Belajar berbasis kerja (work based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja.
f.        Belajar jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut.
g.      Belajar kooperatif (cooperative learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
Dengan penekanan di atas, siswa belajar benar-benar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian di kelas dan selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka.

5.      Tujuh Komponen Utama  Pembelajaran Kontekstual
Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Menurut Nurhadi, dkk, (2002:31) ketujuh komponen utama itu adalah:
a.                                                                                                       Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata, yang intinya bahwa pengetahuan seseorang itu hanya dapat dibangun oleh dirinya sendiri dan bukannya diberikan oleh orang lain yang siap diambil dan diingat (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
b.      Bertanya (Questioning)
Bertanya adalah induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran. Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan spontan yang diajukan siswa dapat digunakan untuk merangsang siswa berfikir, berdiskusi dan berspekulasi.
c.       Menemukan (Inquiry)
Inkuiri pada dasrnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal, bagi banyak orang, dalam banyak konteks. Inkuiri menekankan bahwa mempelajari sesuatu itu dapat dilakukan lebih efektif melalui tahapan inkuiri sebagai berikut, yaitu: mengamati, menemukan dan merumuskan masalah, mengajukan dugaan jawaban (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
d.      Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar, yang esensinya bahwa belajar itu dapat diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Kerja kelompok, diskusi kelompok, dan pengerjaan proyek secara berkelompok adalah contoh membangun masyarakat belajar (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
e.      Pemodelan (Modeling)
Komponen pembelajaran kontekstual selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Pemodelan, adalah pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan model/contoh. Model bisa berupa benda, cara, metoda kerja, cara/prosedur kerja, atau yang lain, yang bisa ditiru oleh siswa (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
f.        Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi, adalah cara berpikir tentang apa yang dipelajari sebelumnya kemudian direnungkan apakah yang telah dipelajari selama ini benar dan jika salah perlu direvisi. Hasil revisi inilah yang akan merupakan pengayaan dari pengetahuan sebelumnya (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
g.      Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
Authentic assessment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Assessmen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian otentik adalah penilaian yang sebenarnya terhadap perkembangan belajar siswa sehingga penilaian tidak bisa dilakukan hanya dengan satu cara akan tetapi menggunakan ragam cara, misalnya kombinasi dari ulangan harian, pekerjaan rumah, karya siswa, laporan, hasil tes tertulis, hasil diskusi, karya tulis, demonstrasi, dsb (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm).
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk melaksanakan hal itu tidak sulit. Pembelajaran kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.

6.      Keunggulan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual saat ini telah diupayakan pengaplikasiannya, karena banyak hal yang belum tersentuh pada pembelajaran sebelumnya, misalnya pelaksanaan pembelajaran yang masih sangat teoritis dan kurang menekankan pada pemecahan masalah, sistem penilaiannya yang pada umumnya terfokus pada produk, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah dapat meraih nilai tinggi, yang masih mengesampingkan asesmen kinerjanya sehingga siswa kurang siap menghadapi permasalahan sehari-hari.
Sehubungan dengan hal tersebut menurut Corebima (2002:41) pembelajaran kontekstual memiliki keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran lainnya yaitu bahwa pembelajaran kontekstual mendorong proses pembelajaran berlangsung atas dasar permasalahan riil dunia, sehingga lebih bermakna dan memungkinkan perkembangan pemikiran tingkat tinggi.
7.   Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional


 


  No. PENDEKATAN KONTEKSTUAL
   1. Siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar.
  2. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi.
  3.   Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan.
  4.   Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri.
  5. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri.
  6.   Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.
  7.   Siswa menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing kedalam proses pembelajaran.
  8.  Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
        Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan dengan cara memberi arti atau memahami pengalamannya.
9.     Karena ilmu pengetahuan itu di kembangkan oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil (selalu berkembang).
10. Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing.

PENDEKATAN TRADISIONAL

Siswa adalah penerima informasi.

Siswa belajar secara individual.


Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis.


Perilaku dibangun atas kebiasaan.

Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor.
Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural: diterangkan sampai paham kemudian dilatihkan.

Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.

Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri manusia.




Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final.




Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.


11.   Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes.
12.   Pembelajaran terjadi diberbagai tempat, konteks dan setting.
 13.  Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.
14.   Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik.
 15. Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat.


.
Hasil belajar hanya diukur dengan tes.


Pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
Sangsi adalah hukuman dari perilaku jelek.
Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik.
Seseorang berperilaku baik karena sudah terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan.



(Sumber: Adopsi dari Nurhadi, 2004: 35) 

B.     Tinjauan tentang Teknik
Di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi, agar siswa dapat belajar secara efektif dan efesien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian, atau biasanya disebut metode mengajar.
1.      Pengertian Teknik
Ada beberapa pengertian teknik, antara lain yang diungkapkan tokoh-tokoh di bawah ini, yaitu:
a.       Menurut Kamus Dewan (edisi ketiga), teknik adalah kaedah mencipta sesuatu hasil seni seperti muzik, karang-mengarang dan sebagainya.
b.      Menurut Edward M. Anthony mendefinisikan teknik adalah satu muslihat atau strategi atau taktik yang digunakan oleh guru yang mencapai hasil segera yang maksimum pada waktu mengajar sesuatu bahagian bahasa tertentu.
c.       Mengikut Kamaruddin Hj. Husin & Siti Hajar Hj. Abdul Aziz dalam bukunya Pengajian Melayu III : Komunikasi Bahasa, teknik boleh didefinisikan sebagai pengendalian suatu organisasi yang benar-benar berlaku di dalam bilik darjah di mana ia digunakan untuk mencapai sesuatu objektif.
d.      Teknik merupakan suatu alat yang digunakan oleh guru bahasa bagi menyampaikan bahan-bahan pengajaran yang telah dipilih untuk pelajar-pelajarnya. Teknik yang dipilih haruslah sejajar dengan kaedah yang digunakan dan seirama dengan pendekatan yang dianuti (http://Members.tripod.com/Bobezani/teknik.htm).
Dalam bukunya Roestiyah (2001: 1) teknik pengajaran adalah cara yang digunakan oleh guru atau instruktur dalam menyajikan pelajaran, pengertian lain ialah sebagai teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.

2.      Tujuan Teknik
Adapun tujuan dari teknik adalah:
a.    Menarik Minat murid
b.   Mengekalkan perhatian
c.    Membangkitkan rasa ingin tahu (http://Members.tripod.com/Bobezani/teknik.htm).
Setiap jenis teknik penyajian harus sesuai atau tepat dengan tujuan yang akan dicapai. Jadi untuk tujuan yang berbeda, guru harus menggunakan teknik penyajian yang berbeda pula sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, atau bila guru menyiapkan beberapa tujuan, ia harus mampu pula menggunakan beberapa teknik penyajian sekaligus untuk mencapai tujuannya tersebut. Oleh karena itu, guru harus mengenal, mempelajari dan menguasai banyak teknik penyajian, agar dapat menggunakan dengan variasinya, sehingga guru mampu menimbulkan proses belajar mengajar yang berhasilguna dan berdayaguna (Roestiyah, 2001: 2).
Ada bermacam-macam teknik mengajar, dari yang "tradisional", yang telah digunakan sejak dahulu kala, dan ada juga yang "modern" yang digunakan baru akhir-akhir ini saja.
Rumusan tujuan atau kompetensi dasar yang dibuat guru tidak selalu hanya satu tujuan, kadang-kadang banyak atau mungkin bahkan beberapa tujuan. Untuk mencapai tujuan yang beberapa itu, maka guru memerlukan beberapa teknik penyajian pula yang digunakan agar ada variasi. Dalam mencapai tujuan teknik penyajian dipandang sebagai suatu alat atau sebagai suatu cara yang harus digunakan oleh guru agar tujuan dari pelajaran itu tercapai. Sudah sewajarnya pula bila setiap teknik mengajar hanya dapat digunakan di dalam situasi dan tujuan tertentu, kalau situasi dan tujuan berubah, maka cara mengajarnya juga harus lain. Karena itulah seorang guru harus menguasai beberapa macam teknik pengajaran dengan baik, sehingga ia mampu memilih teknik yang paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tersebut, tanpa terasa mengubah situasi pengajaran (Roestiyah, 2001: 3).
Bila guru memerlukan beberapa tujuan untuk dicapainya, maka ia perlu mengenal dan menguasai dengan baik sifat-sifat dari setiap teknik penyajian sehingga ia mampu pula mengkombinasikan penggunaan beberapa teknik penyajian tersebut sekaligus, untuk mencapai beberapa tujuan yang telah dirumuskannya itu, dan tidak terasa kaku antara perubahan dari teknik yang satu pada teknik yang lain (Roestiyah, 2001: 3).
Seorang guru harus mengenal sifat-sifat yang khas pada setiap teknik penyajian, hal itu sangat perlu untuk penguasaan setiap teknik penyajian, agar ia mampu mengetahui, memahami dan terampil menggunakannya, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai (Roestiyah, 2001: 3)
Walau setiap teknik penyajian mempunyai ciri khas, berbeda yang satu dengan yang lainnya, namun kita perlu memiliki suatu pola atau standar untuk mempelajari suatu teknik itu dan bisa saling melengkapi.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai standar memahami setiap teknik penyajian ialah:
  1. Adanya pengertian apa yang dimaksud dengan teknik penyajian.
  2. Harus merumuskan tujuan-tujuan apa yang dapat dicapai dengan teknik penyajian yang digunakan itu.
  3. Bila teknik penyajian itu dapat digunakan secara efisien dan efektif atau tidak.
  4. Apakah teknik penyajian itu memiliki keunggulan dan kelemahan.
  5. Dalam penggunaan teknik penyajian itu apa dan bagaimana peranan guru/instruktur.
  6. Pelaksanaan teknik penyajian itu apa dan bagaimana peranan siswa.
  7. Harus menempuh langkah-langkah yang bagaimana, sehingga penggunaan teknik penyajian itu dapat berhasilguna dan berdayaguna (Roestiyah, 2001:4).

C.     Teknik Learning Community
1.      Pengertian Learning Community (Masyarakat Belajar)
Teknik Learning Community adalah teknik dimana situasi belajar yang diciptakan berdasarkan konsep CTL, dimana proses dan hasil pembelajaran diperoleh dari bekerja sama dan berkolaborasi dengan orang lain. 
Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar ini dan juga yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar (Sardiman, 2005: 225).
Kata kunci dari learning community (masyarakat belajar) adalah berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri (Nurhadi, 2004: 47).
Learning Community atau masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang sudah tahu ke yang belum tahu. Dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Di dalam masyarakat belajar ini setiap orang harus bersedia untuk berbicara dan berbagi pendapat, mendengarkan pendapat orang lain dan berkolaborasi membangun pengetahuan dengan orang lain dalam kelompoknya (Susilo, 2001: 4).
Dalam bukunya Nurhadi (2004:47-48), Learning Community atau masyarakat belajar itu mengandung arti sebagai berikut:
a)      Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagai gagasan dan pengalaman.
b)                  Ada kerjasama untuk memecahkan masalah.
c)      Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik hasilnya daripada kerja secara individual.
d)      Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama.
e)      Upaya membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan.
f)        Menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar dengan anak lainnya.
g)      Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antar anggota kelompok untuk saling memberi dan menerima.
h)      Ada fasilitator/guru yang memandu proses belajar dalam kelompok.
i)                    Harus ada komunikasi dua arah atau multi arah.
j)                    Ada kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik.
k)                  Ada kesediaan untuk menghargai pendapat orang lain.
l)                    Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja.
m)    Dominasi siswa-siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa pula berperan.
n)      Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung arti learning community.

2.      Kerangka Penerapan Teknik Learning Community
Pembelajaran di dalam kelas dengan teknik learning community, kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelompok-kelompok belajar: siswa yang pandai mengajari yang lemah dan yang tahu memberi tahu yang belum tahu. Masyarakat belajar bisa tercipta apabila ada komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar. Siswa yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bicaranya (Nurhadi, 2002: 48).
Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari (Nurhadi, 2004: 49).
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Contoh: ketika seorang anak baru belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada temannya “bagaimana caranya? Tolong bantuin, aku!” Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoprasikan alat itu. Maka, dua orang anak itu sudah membentuk masyarakat-belajar (learning community) (Nurhadi, 2002: 48).
Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruangan ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar.
Di dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual (CTL), guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya. Inilah beberapa hal yang sebenarnya terkait dengan cooperative learning (Sardiman, 2005: 225).
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ‘ahli’ ke kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, peternak susu, teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, kiyai, dan sebagainya (Nurhadi, 2004: 48).
Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan teknik learning community  ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
Pengembangan teknik learning community, akan senantiasa mendorong terjadinya proses komunikasi multi arah. Masing-masing pihak yang melakukan kegiatan belajar dapat menjadi sumber belajar. Bagaimana praktek penerapan learning community di kelas? Beberapa hal yang dapat diwujudkan untuk mengembangkan learning community di kelas antara lain adalah prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam:
a.                                        Bekerja dalam pasangan,
b.               Pembentukan kelompok kecil,
c.                Pembentukan kelompok besar,
d.      Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, dokter, perawat, petani, pengurus organisasi, polisi, tukang kayu dan sebagainya),
e.                Bekerja dengan kelas sederajat,
f.                 Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya,
g.                Bekerja dengan sekolah di atasnya, dan
h.                Bekerja dengan masyarakat (Nurhadi, 2004: 49).

D.    Tinjauan Umum tentang Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam merupakan faktor yang paling esensial dalam kehidupan manusia. Keberadaan pendidikan agama Islam  mutlak diperlukan demi kelangsungan hidup manusia sehingga terwujud kebahagiaan baik di dunia dan akhirat.
Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat (Arifin, 2000:11).
Mengingat pentingnya pendidikan agama Islam bagi manusia, maka di bawah ini akan dipaparkan tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam.
1.  Pengertian Pendidikan Agama Islam
Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata “pendidikan” yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arab adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa Arab adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan Islam” dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah” (Daradjad, 1992: 25).
 Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (Ramayulis, 2002: 1).
Di dalam Undang-undang  Nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN, 2003:3).
Menurut tim Dosen FIP IKIP Malang dalam Zuhairini dkk (1991:151) pendidikan dapat diartikan sebagai berikut:
a.         Aktivitas dan usaha manusia meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya rohani (pikir, rasa, karsa dan budi nurani) dengan jasmani (panca indera serta keterampilan-keterampilan).
b.      Lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi: keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).
c.       Hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan.
Dari hal yang dikemukakan di atas, maka banyak pakar pendidikan memberikan arti pendidikan sebagai suatu proses dan berlangsung seumur hidup. Karenanya pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi di luar kelas. Pendidikan tidak hanya terbatas pada usaha mengembangan intelektualitas manusia saja, melainkan juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Apabila pengertian-pengertian umum pendidikan yang telah dikemukakan itu dihubungkan dengan pengertian pendidikan agama Islam, maka akan nampak perbedaan dalam penekanan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, yaitu: kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat kepada Allah dalam arti mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk memahami pengertian Pendidikan Agama Islam secara mendalam, maka penulis kemukakan beberapa pendapat para ahli tentang pendidikan Islam yaitu:
a.       Ahmad D. Marimba
“Pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmaniah dan rohaniah menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam” (Ramayulis, 2002: 3).
Yang dimaksud dengan kepribadian utama di sini adalah kepribadian muslim yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.

b.      M. Fadil Al-Djamaly
Pendidikan agama Islam adalah suatu proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya atau pengaruh dari luar (Arifin, 2000:17).

Esensi Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan umat Islam menurutnya adalah pendidikan yang dapat membentuk manusia berakhlak mulia, yang dipengaruhi oleh faktor luar lingkungan dan berdasarkan faktor dari dalam dirinya  atau yang kita kenal sesuai dengan fitrahnya masing-masing, pendapat tersebut di atas berdasarkan pada firman Allah di dalam surat An-Nahl: 78, yaitu:
                                              
         Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (Depag RI, 1989: 413).

Dalam surat Ar-Ruum: 30 juga telah disebutkan:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Depag RI, 1989: 645).

c.       Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaebani
Pendidikan Agama Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan (perubahan itu dilandasi nilai-nilai Islami). (H.M. Arifin, 2000 : 14).

Proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial serta hubungannya dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada di dalam nilai-nilai Islami, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syari’ah dan akhlak al- karimah.
d.      Menurut hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se Indonesia tahun 1960
Pendidikan agama Islam adalah sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam (H.M. Arifin, 2000: 14-15).

e.       Menurut Hasan Langgulung
Pendidikan agama Islam merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat (Langgulung, 1980: 94).
f.        Menurut Zakiah Daradjat
Pendidikan Islam adalah pendidikan individual dan masyarakat, karena di dalam ajaran Islam berisi tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama serta lebih banyak menekankan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan sendiri maupun orang lain (Zakiah Daradjat, 1996:28).

Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad saw. Melalui proses dimana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, yang dalam kerangka lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian pengertian pendidikan agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran-ajaran religius, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteran hidup di dunia maupun di akhirat.

2.  Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
Sebagian aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan agama Islam memerlukan dasar/landasan kerja karena berguna untuk memberi arah bagi programnya. Dasar dan tujuan tidak dapat dipisahkan karena kedua-duanya saling terkait.
Untuk mempermudah dalam pemahaman dasar dan tujuan pendidikan agama Islam, maka akan dibahas sebagaimana diuraikan di bawah ini:
  1. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam
Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam merupakan sesuatu yang menjadi pangkal tolak atau landasan dilaksanakannya proses belajar mengajar pendidikan agama Islam.
Adapun dasar-dasar pendidikan agama Islam menurut Zuhairini (1983:21) itu dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu sebagai berikut:
1)      Dasar Yuridis
2)      Dasar Religius
3)      Dasar Sosial Psikologis
Ketiga dasar tersebut lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Dasar Yuridis atau Hukum
Yang dimaksud di sini adalah dasar-dasar yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama Islam baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan formal. Dasar tersebut meliputi:
a)      Dasar Ideal (Pancasila)
Dasar ideal Pendidikan Agama Islam adalah Pancasila, yaitu sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Maari sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah setiap warga negara Indonesia harus beragama dalam menjalankan syariat agamanya tersebut dengan baik dan benar. Bagi umat Islam Indonesia agar dapat mewujudkan makna sila pertama dari pancasila dalam kehidupan sehari-hari pasti membutuhkan pendidikan agama Islam.
b)      Dasar Struktural/Konstitusional
Adalah dasar yang berasal dari perundang-undangan yang berlaku, yakni UUD 1945 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
(1)      Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
(2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (UUD 1994:65).
c)      Dasar Operasional
Dasar operasional adalah dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama Islam di seluruh Indonesia mulai dari pra sekolah sampai pada perguruan tinggi.
Sebagaimana yang dicantumkan dalam GBHN RI 1999/2004, yaitu: “Meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan agama sehingga lebih terpadu dan integral dengan sistem pendidikan nasional dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai” (Tap MPR, 2002:27).

2)      Dasar Keagamaan (religius)
Dasar ini bersumber pada ajaran agama yang menunjukkan adanya perintah untuk melaksanakan pendidikan agama. Langgulung (1980:35) menjelaskan:
Dalam hal pendidikan Islam Al-Qur’an dan Sunnahlah yang mendapatkan sorotan lebih banyak, sebab keduanyalah sebagai dasar agama, sedangkan yang lainnya berpangkal ke situ. Dengan kata lain itu dikembalikan kepada sumber itu, kalau sesuai diterima kalau tidak maka ditolak.

Sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Zuhairini dan Abdul Ghofir (2004: 11) bahwa dasar religius (keagamaan) adalah dasar-dasar yang bersumber dalam ajaran agama Islam yang tertera dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Rasulullah saw bersabda:

عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه ِ(رواه مَالِك)

Artinya: “Dari Malik sesungguhnya dia berkata bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Aku tinggalkan untuk kamu semuanya dua perkara yang mana kamu semua tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh padanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunah Nabi” (Kitab Muwaatho’ Ibnu Malik).

Berdasarkan pendapat serta sabda Rasulullah saw di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an dan Hadis adalah sebagai dasar religius tentang terlaksananya pendidikan agama Islam, sebab di dalam keduanya terdapat ajaran yang menganjurkan dan memerintahkan untuk dilaksanakannya proses belajar mengajar.
Dalam Al-Qur’an disebutkan dasar pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, antara lain dalam firman Allah Surat At-Taubah ayat 122 sebagaimana berikut:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka itu telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (Depag RI, 1989: 301).

Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban memperdalam agama dan kewajiban mengajarkannya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dalam Surat Al-Imran: 104 yang berbunyi:

Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” (Depag RI, 1989: 93).
Ayat ini mengandung ajakan kepada manusia agar ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk meninggalkan kemunkaran.
Kemudian Surat At-Tahrim ayat 6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (At-Tahrim: 6) (Depag RI, 1989: 951).

Ayat di atas menjelaskan hendaknya sebagian manusia mengajak sebagian yang lain agar dapat saling menyelamatkan diri dari api neraka. Selain itu juga disebutkan dalam Hadits Rasulullah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ   (رواه مسليم)                                                                   
Artinya: Dari Abu Hurairoh berkata: “Rasulullah Saw, bersabda: “Tidaklah  dilahirkan seorang anak (bayi) melainkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Majusi” (H.R. Muslim)

3)      Dasar Sosial Psikologis
Setiap manusia hidupnya selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut dengan agama.
Seseorang akan merasa tenang dan tentram hatinya kalau mereka dapat mendekatkan dan mengabdi kepada Allah SWT, sesuai dengan firman Allah dalam surat Ar-Ra’du: 28 yang berbunyi:
Artinya: “Orang-orang yang taubat yaitu mereka yang beriman hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah (dzikrullah) ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (Depag RI, 1989:373).
Oleh karena itu, pendidikan agama Islam mempunyai tugas untuk memberikan dorongan, rangsangan dan bimbingan agar peserta didik dapat menyerap nilai yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut, sehingga mereka dapat membentuk dirinya sesuai dengan nilai agama yang diajarinya, dan dapat mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan sesuai dengan ketentuan Allah.

  1. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, sebab tujuan merupakan sesuatu yang hendak dituju oleh pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan bukanlah suatu yang statis dan tetap, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, yang meliputi seluruh aspek berupa kehidupan.
Tujuan pendidikan agama Islam pada dasarnya sangat berkaitan dengan tujuan manusia hidup di dunia ini atau lebih tegasnya, tujuan pendidikan adalah untuk menjawab persoalan-pesoalan untuk apa kita hidup? Sebagaimana Islam telah memberi jawaban yang tegas dalam hal ini, seperti firman Allah dalam surat Adz-Dzariat: 56, yang berbunyi:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Depag RI, 1989: 862).
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang tujuan pendidikan agama Islam dikemukakan pendapat para ahli pendidikan agama Islam sebagai berikut:
1)         Moh. Athiyah Al-Abrasyi dalam buku Zuhairini (1992:164) menyebutkan ada lima tujuan pokok pendidikan agama Islam, yaitu:
d)                     Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia
Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, “Innama buitstu li utammima makarimal akhlak”, mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan Islam yang sebenarnya.
b).  Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
Pendidikan Islam tidak hanya memperhatikan segi keagamaan saja dan tidak keduniaan saja tetapi ia menaruh perhatian pada kedua-duanya, ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan.
c).  Persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan
Kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi spiritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan
d). Menumbuhkan semangat ilmiah dan memuaskan keinginan hati untuk mengetahui dan memungkinkan mengkaji ilmu pengetahuan.
e). Menyiapkan pelajar dari segi-segi profesional, teknis supaya dapat menguasai profesi, teknis tertentu agar dapat mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan
2). Ibnu Khaldun merumuskan tujuan Pendidikan Agama Islam dengan berpegang pada firman Allah dalam surat Al-Qashash: 77, yaitu:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu lupa kebahagiaan (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Depag RI, 1989:623).

Berdasarkan firman Allah itu, beliau merumuskan tujuan pendidikan agama Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a)      Tujuan yang berorientasi ukhrowi yang membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban pada Allah
b)      Tujuan yang berorientasi duniawi yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain (Muhaimin, Mujib, 1993:161).
3).  Menurut Abu Ahmadi (1976:132), tujuan pendidikan agama Islam adalah:
Membentuk manusia sosial yang berkepribadian muslim yang bertakwa kepada Allah atau dengan kata lain menanamkan takwa dan akhlak menegakkan kebenaran untuk membentuk manusia yang berakhlak dan berkepribadian luhur sesuai dengan ajaran Islam.
       
4).  Menurut Mahmud Yunus (1993:13), tujuan pendidikan agama Islam adalah:
Mendidik anak-anak, pemuda dan pemudi, dan orang dewasa supaya menjadi muslim sejati, beriman teguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia.
5).  Menurut Al-Ghazali (dalam Arief, 2002: 22), tujuan pendidikan agama Islam adalah:
a)      Kesempatan manusia, yang puncaknya adalah  dekat kepada Allah
b)      Kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah kebahagiaan manusia agar   mampu mencapai tujuan-tujuan yang dirumuskan.
Berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:
a)         Mendidik manusia supaya menjadi manusia muslim sejati, beriman teguh dan beramal shaleh serta berakhlak mulia.
b)         Dengan pendidikan dapat menjadi anggota masyarakat yang sanggup mandiri, mengabdi kepada Allah, berjuang untuk kepentingan bangsa negara, agama dalam upaya menciptakan keadilan dan kemakmuran.

3.      Materi Pendidikan Agama Islam
Materi pendidikan agama Islam secara garis besar mempunyai ruang lingkup mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara hubungan manusia dan dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, agar pendidikan ini dapat berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan dan yang dicita-citakan, maka materi yang disampaikan haruslah disusun dengan sedemikian rupa sehingga mudah diterima dan ditangkap oleh peserta didik.
Islam memiliki tiga ajaran yang merupakan inti dasar dalam mengatur kehidupan, secara umum dasar ajaran Islam yang dijadikan materi pokok pendidikan agama Islam, yaitu:
a            Masalah keimanan (Aqidah)
Pendidikan yang utama dan pertama yang harus dilakukan adalah pembentukan keyakinan kepada Allah yang diharapkan melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak didik. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Surat Al-Luqman: 13 yang berbunyi:
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar” (Depag RI, 1989: 654).

  1. Masalah keislaman (syariah)
Syariah adalah semua aturan Tuhan dan hukum-hukum Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia dengan alam sekitar. Namun ada pengertian syariah yang lebih dekat kepada fiqih, yaitu tatanan, peraturan-peraturan, perundang-undangan dan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:21 disebutkan:
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa” (Depag RI, 1989:11).
Materi syariah dalam pendidikan agama Islam diharapkan dapat menjadi hal yang fungsional dalam hidup manusia, dengan harapan manusia yang telah menerima pendidikan agama Islam paham akan bentuk dan juga aturan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam sekitarnya dengan landasan nilai-nilai Islam. Dan juga agar out put dari pendidikan agama Islam mampu mengaplikasikan ajaran Islam secara murni dan baik, yang dilandasi pengetahuan yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam.
  1. Masalah Ikhsan (akhlak)
Tujuan pendidikan agama Islam adalah terbentuknya pribadi muslim, dalam arti manusia yang berakhlak mulia sehingga segala aspek hidupnya sesuai dengan norma-norma agama dan masyarakat. Dimana akan tercapainya keharmonisan hubungan antar manusia, untuk menuju kebahagiaan hidup, baik dunia maupun akhirat.
Sedangkan tujuan pendidikan akhlak adalah mendorong manusia agar berbuat kebajikan dalam rangka membentuk manusia yang berakhlak mulia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Luqman ayat 18 yang berbunyi:
Artinya: “Dan janganlah memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh sesungguhnya Allah tidak meyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”  (Depag RI, 1989:655).

Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa akhlak menduduki peranan yang penting bagi manusia. Menurut Barwa Umari : “Dengan akhlak manusia dapat mengetahui batas antara yang baik dengan yang buruk dan dapat menempatkan pada proporsi yang sebenarnya.

4.      Pentingnya Pendekatan Pembelajaran CTL bagi PAI
Pentingnya pendekatan pembelajaran CTL bagi mapel PAI didasarkan atas beberapa hal:
a.       PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam. Karena itu PAI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.
b.      Dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang memiliki tujuan pembentukan moral kepribadian peserta didik yang baik. Oleh sebab itu semua mata pelajaran yang memiliki tujuan relevan dengan PAI harus seiring dan sejalan dalam pendekatan pembelajarannya.
c.       Tujuan diberikannya mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt, berbudi pekerti luhur (berakhlak mulia), memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam terutama sumber-sumber ajaran dan sendi-sendi lainnya, sehingga dapat dijadikan bekal untuk mempelajari berbagai bidang ilmu atau mata pelajaran tanpa harus terbawa oleh pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu dan mata pelajaran tersebut.
d.      Mata pelajaran PAI tidak hanya mengajarkan kepada peserta didik agar menguasai ilmu keislaman tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk mengamalkan ajaran Islam dalam keseharian.
e.       Prinsip dasar PAI didasarkan pada tiga kerangka dasar yaitu akidah (penjabaran dari konsep iman), syariah (penjabaran dari konsep Islam), akhlak (penjabaran dari konsep ihsan).
f.        Dilihat dari aspek tujuan, PAI bersifat integratif, yaitu menyangkut potensi intelektual (kognitif), potensi moral kepribadian (afektif) dan potensi keterampilan mekanik (psikomotorik). Oleh sebab itu pembelajaran PAI harus mampu mengembangkan semua potensi secara pararel tanpa menafikan potensi lain yang dimiliki oleh siswa.
Karakteristik yang dimiliki mata pelajaran PAI sangat kompleks, komprehensif dan memerlukan pengetahuan lintas sektor. Oleh sebab itu pola pendekatan dan strategi pembelajaran harus dilakukan secara dinamis dan inovatif agar cita-cita atau tujuan PAI dengan cepat dapat dicapai.
Atas dasar pertimbangan di atas maka menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran mata pelajaran PAI menjadi sebuah keniscayaan. Karena dengan pendekatan CTL akan lebih mempercepat proses bimbingan dan pembinaan kualitas personel siswa baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (http://google./artikelCTL/.com).

E.     Tinjauan tentang Motivasi Belajar
  1. Pengertian Motivasi
Menurut Ngalim Purwanto (2000: 60) motif adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu. Apa saja yang diperbuat manusia, yang penting maupun yang kurang penting, yang berbahaya maupun yang tidak mengandung resiko, selalu ada motivasinya.
Seperti yang dikatakan Sartain dalam bukunya Psychology Understanding of Human Behavior: Motif adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku perbuatan ke suatu tujuan atau perangsang (Ngalim Purwanto, 2000: 60).
Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Sardiman, 2005: 73).
Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Ada tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat di amati dari observasi tingkah lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan: (a) bersungguh-sungguh, menunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat untuk ikut serta dalam kegiatan belajar, (b) berusaha keras dan memberikan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut, dan (c) terus bekerja sampai tugas-tugas tersebut terselesaikan (Muhaimin, 2001: 138).
Motivasi juga merupakan daya atau perbuatan yang mendorong seseorang; tindakan atau perbuatan merupakan gejala sebagai akibat dari adanya motivasi tersebut. Derajat usaha atau perjuangan di dalam melakukan usaha atau tindakan itu menunjukkan tinggi rendahnya derajat motivasi. Bila motivasi tinggi maka untuk merealisasikan motivasi tersebut dalam bentuk tindakan atau perbuatan akan dilaksanakan dengan usaha yang tinggi pula, atau penuh semangat. Sebaliknya, suatu tindakan yang dilaksanakan dengan sangat santai-santai saja merupakan gejala dari motivasi yang rendah. Dengan kata lain, motivasi adalah kekuatan pendorong yang ada dalam diri seoarang individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan (Masnur,1987: 41).
Menurut Siti Partini Sudirman (1991:96) motivasi bukanlah tingkah laku tetapi kondisi internal yang kompleks yang tidak dapat diamati secara langsung tetapi mempengaruhi tingkah laku, motivasi adalah dorongan dari dalam yang digambarkan sebagai harapan, keinginan dan sebagainya yang bersifat menggiatkan atau menggerakkan individu. Tanpa motivasi tidak akan ada tujuan tujuan, suatu tingkah laku yang terorganisasi. Motivasi itu sendiri berasal dari kata motif yang artinya dorongan, kehendak, alasan atau kemauan. Dari gambaran itu dapatlah dikatakan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam yang menimbulkan kekuatan individu untuk bertindak atau bertingkah laku guna memenuhi kebutuhan.
Menurut para ahli psikologi pendidikan motivasi adalah kekuatan yang mendorong terjadinya belajar, kekuatan itu bisa berupa semangat, keinginan, rasa ingin tahu, perhatian, kemauan, atau cita-cita (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 80).
Motivasi adalah sebagai pendorong siswa dalam belajar. Intensitas belajar siswa sudah barang tentu dipengaruhi oleh motivasi. Siswa yang ingin mengetahui sesuatu dari apa yang dipelajarinya adalah sebagai tujuan yang ingin siswa capai selama belajar. Karena siswa mempunyai tujuan ingin mengetahui sesuatu itulah akhirnya siswa terdorong untuk mempelajarinya. Oleh karena itulah motivasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas belajar siswa (Syaiful Bahri Djamarah, 1994: 27).   
Menurut Mc. Donald, (dalam Sardiman, 2005:73-74) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dan pengertian ini mengandung tiga unsur yang saling terkait yakni:
  1. Motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem “neorophysiological” yang ada pada organisme manusia karena menyangkut perubahan energi manusia, misalnya adanya perubahan dalam sistem pencernaan akan menimbulkan motif lapar.
  2. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa atau feeling, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia. Suasana emosi ini menimbulkan kelakuan yang bermotif. Suatu misal si A terlibat dalam suatu diskusi, oleh karena dia akan berbicara dengan kata-kata dan suara yang lancar dan cepat.
  3. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi yakni tujuan, dalam hal ini tujuan merupakan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Misalnya si A ingin mendapat hadiah, maka ia akan belajar, mengikuti ceramah, bertanya, membaca buku dan sebagainya
Jadi dari ketiga unsur di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan menyebabkan gejala kejiwaan, perasaan, dan emosi kemudian bertindak untuk melakukan semua. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan yang ingin dicapai (Sardiman, 2005: 74).
Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang (Sardiman, 2005: 75).
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi adalah suatu dorongan yang terdapat dalam diri seseorang yang menjadi sebab suatu tujuan. Juga merupakan suatu rangsangan yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku sehingga akan menggugah dirinya bersemangat untuk meraih cita-citanya.
Motivasi dan kebutuhan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan yang ada pada seseorang menimbulkan dorongan dan menimbulkan kelakuan untuk mencapai tujuan. Kebutuhan timbul karena adanya motivasi pada diri seseorang.
Tujuan dapat menimbulkan timbulnya motivasi dalam diri seseorang. Karena dengan adanya tujuan yang jelas dan disadari akan mempengaruhi kebutuhan yang mendorong timbulnya motivasi. Misalnya seseorang siswa yang memiliki motivasi maka ia merasa butuh belajar giat untuk menjadi juara kelas. Dalam hal ini maka dengan motivasi siswa dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
  1. Jenis-jenis Motivasi
Berbicara tentang macam-macam atau jenis-jenis motivasi ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, motivasi atau motif-motif yang aktif itu sangat bervariasi.
  1. Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya
1)   Motif-motif bawaan
Yang dimaksud dengan motif-motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari, misalnya: dorongan untuk minum, bekerja, istirahat, dan lain-lain.
2)   Motif yang dipelajari
Motif yang dipelajari maksudnya motif yang timbul karena dipelajari, contohnya dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan, motif untuk mengajar sesuatu dalam masyarakat. Motif-motif ini sering kali disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial.
Jenis-jenis  Motif ini antara lain:
a)      Cognitive Motives
Motif ini menunjukkan pada gejala intrinsik yakni menyangkut kepuasan individual. Kepuasan individual yang berada di dalam diri manusia dan biasanya berwujud proses dan produk mental. Jenis motif seperti ini adalah sangat primer dalam kegiatan belajar di sekolah, terutama yang  berkaitan dengan pengembangan intelektual.

b)      Self-expresion
Penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Yang penting kebutuhan individu itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu ini terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreatifitas, penuh imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang memiliki keinginan untuk aktualisasi diri.
c)      Self- enhancement
Melalui aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetensi yang sehat bagi anak didik untuk mencapai suatu prestasi (Sardiman, 2005: 87).
  1. Motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis
1)      Motif atau kebutuhan organis
Yakni motif atau kebutuhan organis yakni motif yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan diri/tubuh/jasmaniah, misalnya kebutuhan akan minum, makan, dan lain-lain.
2)      Motif-motif darurat
Yakni motif darurat yakni motivasi yang timbul karena rangsangan dari luar. Yang termasuk dalam jenis motif ini antara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, berusaha, untuk memburu. Jelasnya motivasi ini timbul karena adanya rangsangan dari luar.
3)      Motif objektif
Yakni motif objektif yakni motif yang timbul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif, misalnya kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, manipulasi, dan menaruh minat (Sardiman, 2005: 88).
  1. Motivasi dilihat dari dasar isi/persangkut pautannya
Ada beberapa ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi jasmaniah dan motivasi rohaniah.
1)      Motif jasmaniah, yang termasuk motivasi jasmaniah misalnya reflek, instink otomatis, nafsu, hasrat, dan lain-lain.
2)      Motif rohaniah, yang termasuk motivasi rohaniah yakni kemauan. Kemauan terbentuk melalui empat momen yaitu:
a)                              Momen timbulnya alasan-alasan
            Misalnya seseorang sedang belajar di kamar karena alasan besok ujian, kemudian ibu menyuruhnya untuk mengantar tamu melihat pertunjukan wayang. Dari sini timbul alasan baru : mungkin keinginan untuk menghormati tamu, mungkin keinginan untuk tidak mengecewakan ibunya.

b)                              Momen pilih
Yaitu keadaan dimana ada alternatif-alternatif, yang mengakibatkan persaingan antara alasan-alasan itu. Kemudian seseorang menimbang-nimbang dari berbagai alternatif untuk kemudian menentukan pilihan alternatif yang akan dikerjakan.
c)                              Momen putusan
            Dalam persaingan antara berbagai alasan, sudah barang tentu akan berakhir dengan dipilihnya satu alternatif. Satu alternatif yang dipilih inilah yang menjadi putusan untuk dikerjakan.
d)                              Momen terbentuknya kemauan
            Jika seseorang sudah menetapkan satu putusan untuk dikerjakan, maka timbullah dorongan pada diri seseorang untuk bertindak melaksanakan putusan itu (Sumadi Suryabrata 1990: 72-73).
  1. Motivasi dilihat dari dasar pokoknya dibagi menjadi:
1)      Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang mendorongnya melakukan tindakan belajar (Muhibbin Syah, 1995: 136 – 137). Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang berfungsinya tidak usah dirangsang dari luar, karena memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu (Sumadi Suryabrata 1990: 72). Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak terkait dengan aktivitas belajarnya. Termasuk dalam motivasi intrinsik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca tidak usah ada orang yang menyuruhnya atau mendorongnya. Seseorang belajar memang benar-benar ingin mengetahui sesuatu atau bukan karena ingin pujian/ganjaran. 
2)      Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar (Muhibbin Syah, 1995:137). Misalnya seorang guru memberikan pujian atau hadiah bagi siswa yang mencapai dan menunjukkan usaha yang baik, memberikan angka tinggi terhadap prestasi yang dicapainya, tidak menyalahkan pekerjaan atau jawaban siswa secara terbuka sekalipun pekerjaan atau jawaban tersebut belum memuaskan, siswa belajar giat karena besok ada ujian dengan harapan mendapat nilai yang baik.
Kedua motivasi tersebut di atas dapat dipergunakan oleh seorang guru pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik, akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik yang berpengetahuan atau yang ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk menuju ketujuan yang ingin dicapai ialah belajar, tanpa belajar tidak mungkin mendapat pengetahuan. Akan tetapi disekolah sering kali digunakan motivasi ekstrinsik seperti pujian, angka, ijazah, hukuman, kenaikan pangkat dan lain-lain. Sebab kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik (Sardiman, 2005: 90-91).

3.   Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak sinergi untuk melakukan kegiatan belajar (Sardiman, 2005: 75).
Dalam perilaku belajar terdapat motivasi belajar. Motivasi  belajar tersebut ada yang intristik atau ekstrinstik. Muatan motivasi-motivasi tersebut berada di tangan para guru/pendidik dan anggota masyarakat lain. Guru sebagai pendidik bertugas memperkuat motivasi belajar selama minimum sembilan tahun pada usia wajib belajar. Orang tua bertugas memeperkuat motivasi belajar sepanjang hayat. Ulama sebagai pendidik juga bertugas memperkuat motivasi belajar sepanjang hayat (Dimyati, 1994: 94).
Seorang siswa dapat belajar dengan giat karena motivasi dari luar dirinya, misalnya adanya dorongan dari orang tua atau gurunya, janji-janji yang diberikan apabila ia berhasil dan sebagainya. Tetapi, akan lebih baik lagi apabila motivasi belajar itu datang dari dalam  dirinya itu, siswa akan mendorong secara terus-menerus, tidak tergantung pada situasi luar (Masnur, 1987: 42).
Motivasi belajar merupakan hasrat untuk belajar dari seseorang individu. Seorang siswa dapat belajar secara lebih efisien apabila ia berusaha untuk belajar secara maksimal, artinya siswa memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Seorang individu akan belajar lebih efisien apabila ada motivasi di dalam dirinya. Atau dengan kata lain, seorang individu akan belajar lebih efisien apabila ia berusaha untuk belajar. Agar siswa dapat belajar secara efisien, maka siswa tersebut haruslah dalam keadaan bangun  dan memperhatikan lingkungannya secara wajar. Hal ini dimungkinkan apabila siswa tersebut memiliki motivasi untuk belajar.
Motivasi belajar dapat datang dari dalam diri siswa yang rajin membaca buku di perpustakaan atau sering mengunjungi toko buku karena adanya rasa ingin tahu terhadap suatu permasalahan. Ini berarti siswa tersebut dimotivasi oleh suatu kebutuhan yang datang dalam dirinya sendiri. Sebaliknya, jika seorang siswa berusaha sekuat tenaga untuk mencari nilai yang baik karena ingat pada janji orang tuanya akan membelikan sepeda motor apabila nilai rapornya baik, maka hal ini merupakan motivasi yang berasal dari luar diri siswa.
Apabila ditinjau dari segi kekuatan dan kemantapannya, maka motivasi yang timbul dalam diri seorang individu akan lebih stabil dan mantap apabila dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari pengaruh lingkungan. Dengan berubahnya lingkungan yang menimbulkan motivasi ini, maka motivasi belajarnya juga akan mengalami perubahan. Demikian pula apabila lingkungan yang mempengaruhi siswa tersebut lenyap, maka motivasi siswa ini pun akan ikut hilang pula. Namun demikian, suatu motivasi  yang berasal dari lingkungan luar dapat tertanam secara kuat dan mantap pada diri siswa, sehingga yang tadinya merupakan motivasi dari luar, akhirnya menjadi motivasi dari dalam (Masnur,1987 : 43).

4.      Fungsi Motivasi
Dalam belajar, motivasi memegang peranan penting. Motivasi adalah sebagai pendorong siswa dalam belajar. Intensitas belajar siswa sudah barang tentu dipengaruhi oleh motivasi. Siswa yang ingin mengetahui sesuatu dari apa yang dipelajarinya adalah sebagai tujuan yang ingin siswa capai selama belajar. Karena siswa mempunyai tujuan ingin mengetahui sesuatu itulah akhirnya siswa terdorong untuk mempelajarinya (Syaiful Bahari Djamarah, 1994 : 27).
Tentunya sebelum menerapkan pengetahuan mengenai motivasi ini dalam tugas sehari-hari, perlu kiranya diketahui pula mengenai  fungsi dari motivasi itu sendiri. Dengan mengetahui fungsi motivasi pada seorang individu maka penerapannya nanti akan terlaksana secara tepat (Masnur,1987 : 55).
Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi :
  1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
  2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan  rumusan tujuan.
  3. Menyeleksi perbuatan, menentukan perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang  siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan (Sardiman, 2005: 85).
Sedangkan dalam bukunya Oemar Hamalik (1992: 175) menyatakan bahwa, fungsi motivasi itu adalah:
a.       Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul perbuatan seperti belajar.
b.      Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian tujuan yang diinginkan.
c.       Sebagai penggerak. Ia berfungsi sebagai mesin bagi mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.

5.      Tujuan Motivasi
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan ditetapkan dalam kurikulum sekolah. Sebagai contoh, seorang guru memberikan pujian kepada seorang siswa maju ke depan kelas dan dapat mengerjakan hitungan matematika di papan tulis. Dengan pujian itu, dalam diri anak tersebut timbul rasa percaya pada diri sendiri, di samping itu timbul keberaniannya sehingga ia tidak takut dan malu lagi jika disuruh maju ke depan kelas (Ngalim Purwanto, 2000 73).

6.      Prinsip Motivasi
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran pendidikan agama berkenaan dengan prinsip motivasi, yaitu:
a.                               Memberikan dorongan (drive)
Tingkah laku seseorang akan terdorong ke arah suatu tujuan tertentu apabila ada kebutuhan. Kebutuhan ini menyebabkan timbulnya dorongan internal, yang selanjutnya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu untuk menuju tercapainya suatu tujuan. Setelah tujuan dapat dicapai biasanya intensitas dorongan semakin menurun.
b.         Memberikan insentif
Adanya karakteristik tujuan menyebabkan seseorang bertingkah laku untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku tersebut disebut insentif. Setiap orang mengharapkan kesenangan dengan mendapatkan insentif yang bersifat positif. Begitu pula sebaliknya, orang akan menghindari insentif yang bersifat negatif. Dalam kegiatan pembelajaran PAI juga diperlukan insentif untuk lebih meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Insentif dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak selalu berupa materi, tetapi bisa berupa nilai atau penghargaan sesuai kadar kemampuan yang dapat dicapai peserta didik. Bila perlu, insentif dapat diberikan kepada peserta didik secara bertahap sesuai tahap tingkatan yang dapat dicapainya.   
c.          Motivasi berprestasi
Karena itu, guru perlu mengetahui sejauh mana kebutuhan berprestasi peserta didik. Peserta didik yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menyelesaikan tugas atau makalah yang memberikan tantangan dan kepuasan secara lebih cepat.
d.         Motivasi kompetensi
Setiap peserta didik memiliki keinginan untuk menunjukkan kompetensi dengan berusaha menaklukkan lingkungannya. Motivasi belajar tidak bisa di lepaskan dari keinginannya untuk menunjukkan kemampuan dan penguasaannya kepada yang lain. Karena itu di perlukan: (1) keterampilan mengevaluasi diri, (2) nilai tugas bagi peserta didik, (3) harapan untuk sukses, (4) patokan keberhasilan, (5) kontrol belajar, dan (6) penguatan diri utnuk mencapai tujuan. 
e.          Motivasi kebutuhan
        Manusia memiliki kebutuhan yang bersifat hirarkis, yaitu yang meliputi kebutuhan fisiologis, keamanan, dicintai dan diakui kelompoknya, harga diri dan prestasi, serta aktualisasi diri (Muhaimin, 2001: 139).

7.      Cara Menumbuhkan Motivasi
Beberapa cara untuk menumbuhkan motivasi adalah melalui cara mengajar yang bervariasi, misalnya  penggalangan informasi, memberikan stimulus baru, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik, memberi kesempatan peserta didik untuk menyalurkan keinginan belajarnya, menggunakan media dan alat bantu yang menarik perhatian peserta didik, seperti gambar, foto, diagram, dan sebagainya. Secara umum peserta didik akan terangsang untuk belajar (terlibat aktif dalam pengajaran) apabila ia melihat bahwa situasi pengajaran cenderung memuaskan dirinya sesuai dengan kebutuhannya.
Memang, seorang individu akan terdorong melakukan sesuatu bila merasakan ada kebutuhan. Kebutuhan ini yang menimbulkan ketidak seimbangan, rasa ketegangan yang menuntut kepuasan supaya kembali pada keadaan keseimbangan (balancing). Ketidak seimbangan disebabkan rasa tidak puas (dissatisfaction): dissatisfaction in on assaetial element in motivation. Dan bila kebutuhan itu telah terpenuhi dan terpuaskan aktivitas  menjadi kurang atau lenyap (misalnya, bila  lisensi telah diperoleh) sampai muncul lagi kebutuhan-kebutuhan baru, misalnya lisensi atau kedudukan yang lebih tinggi.
Kebutuhan seseorang selalu berubah selama hidupnya. Sesuatu yang menarik dan diinginkannya pada suatu waktu, tidak akan lagi diacuhkannya pada waktu lain. Karena itu motif-motif (segala daya yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu) harus dipandang sebagai sesuatu yang dinamis.
Clifford T. Morgan (dalam Ahmad Rohani, 2004:12) memandang  bahwa anak (individu) memilih kebutuhan:
  1. Untuk berbuat sesuatu demi kegiatan itu sendiri; activity in it self is a pleasure;
  2. Untuk menyenangkan hati orang lain;
  3. Untuk berprestasi atau mencapai hasil (to achieve);
  4. Untuk mengatasi kesulitan. Sikap anak terhadap kesulitan banyak tergantung pada sikap lingkungannya.
Ada dua kemungkinan bagi peserta didik yang motivasi keterlibatannya dalam aktivitas pengajaran/belajar yaitu:
  1. Karena motivasi yang timbul dari dalam dirinya sendiri.
  2. Karena motivasi yang timbul dari luar dirinya (Ahmad Rohani, 2004:13).
Kebutuhan keterlibatan dalam pengajaran/belajar mendorong timbulnya motivasi dari dalam dirinya (motivasi intrinsik atau endogen), sedangkan stimulasi dari guru atau dari lingkungan belajar mendorong timbulnya motivasi dari luar (motivasi ekstrinsik-eksogen). Pada motivasi intrinsik, peserta didik belajar, karena belajar itu  sendiri (menambah pengetahuan, ketrampilan, dan sebagainya).  Pada motivasi ekstrinsik, peserta didik belajar bukan karena dapat memberikan makna baginya, melainkan karena yang baik, hadiah penghargaan, atau menghindari hukuman/ celaan. Tujuan yang ingin dicapai terletak di luar perbuatan belajar itu. Maka pujian terhadap seorang peserta didik yang menunjukkan prestasi didik yang menunjukkan prestasi belajar merupakan salah satu upaya menumbuhkan motivasi dari luar peserta didik.
S. Nasution (dalam Ahmad Rohani, 2004:13) mengatakan bahwa motif atau penyebab peserta didik belajar ada dua hal:
  1. Ia belajar karena didorong oleh keinginan untuk mengetahuinya. Dalam belajar terkandung tujuan untuk menambah pengetahuan; Intrinsic motivation are inherent in the learning situations and meet pupil needs and purpose.
  2. Ia belajar supaya mendapat angka yang baik, naik kelas, mendapat ijazah, tidak terkandung dalam perbuatan belajar. The goal is artificially introduced.  Tujuan itu bukan sesuatu yang wajar dalam kegiatan.
Motivasi ekstrinsik sangat berkaitan erat dengan konsep reinforcement  atau penguatan. Ada dua macam reinforcement.
  1. Reinforcement positif ; sesuatu yang memperkuat hubungan stimulus respon atau sesuatu yang dapat memperbesar kemungkinan timbulnya sesuatu respon.
  2. Reinforcement negatif ; sesuatu yang dapat memperlemah timbulnya respon atau memperkecil kemungkinan hubungan stimulus-respon (Ahmad Rohani, 2004:13-14).
Dan reinforcement itu sendiri erat hubungannya dengan hadiah, hukuman, dan sebagainya. Untuk memperbesar peranan peserta didik dalam aktivitas pengajaran/belajar, maka reinforcement (penguatan) yang diberikan dari seorang guru sangat diperlukan. Dan individu akan terus berupaya meningkatkan prestasinya, jika ia memperoleh motivasi dari luar yang berupa reinforcement positif (Ahmad Rohani, 2004:14).

F.      Tinjauan tentang Prestasi Belajar Siswa
Output pendidikan adalah hasil belajar (prestasi belajar) yang merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar diselenggarakan. Artinya, prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun di masyarakat dan untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri dari daya pikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem. Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih sayang, kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri, tanggungjawab, keberanian moral, kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan, ketahanan, dan keterampilan (olah raga, keterampilan kejuruan, dan kesenian). Kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya yaitu uang, bahan, alat, bekal, dsb.), kemampuan kerjasama, kemampuan mamanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan sistem dalam kehidupan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejuruan, kemampuan menjaga harmoni dengan lingkungan, kemampuan mengembangkan karir, dan kemampuan menyatukan bangsa berdasarkan Pancasila.
1.      Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama sesorang tidak melakukan suatu kegiatan. Dalam kenyataan, untuk mendapatkan prestasi tidak semudah yang dibayangkan, tetapi penuh perjuangan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapainya. Hanya dengan keuletan dan optimisme dirilah yang dapat membantu untuk mencapainya. Oleh karena itu wajarlah pencapaian prestasi itu harus dengan jalan keuletan kerja (Syaiful Bahri Djamarah, 1994: 19-20).
 Menurut Poerwadarminta (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 1994: 20) bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya). Sedangkan Nasrun Harahap dan kawan-kawan (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 1994: 21) memberikan batasan, bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.
Dari beberapa pengertian prestasi yang dikemukakan para ahli di atas, jelas terlihat perbedaan pada kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya sama, yakni hasil yang dicapai dari suatu kegiatan. Untuk itu dapat difahami, bahwa prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu (Syaiful Bahri Djamarah, 1994:21).
Sedangkan mengenai pengertian belajar para ahli berbeda pendapat dalam memberikan definisi. Hal ini disebabkan karena adanya sudut pandang yang berbeda antara ahli dengan ahli yang lain, lagipula dasar-dasar yang dijadikan percobaan berbeda-beda sehingga hasilnya pun tidak persis sama.
  1. Menurut Morgan yang telah dikutip oleh Ngalim Purwanto (2000:84) dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengatakan bahwa belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi dari hasil latihan pengalaman.
  2. H.M.Arifin (1978: 172)  mengatakan :
Belajar adalah sesuatu proses rangkaian kegiatan respon yang terjadi dalam sesuatu rangkaian belajar mengajar yang berakhir pada terjadinya perubahan tingkah laku, baik jasmaniah maupun rohaniah akibat dari pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh.

  1. Belajar menurut pendapat ahli psikologi antara lain:
1)      Skinner berpendapat, belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
2)      Chaplen berpendapat, belajar dibatasi oleh dua macam rumusan, yaitu:
(a)    Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman.
(b)   Belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus.
3)      Hintzman berpendapat, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat memperoleh tingkah laku organisme tersebut.
4)      Witting mengatakan belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam / keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman (Muhibin Syah, 2003  : 90).
Belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas belajar terjadilah perubahan dalam diri individu. Dengan demikian, belajar dikatakan berhasil bila telah terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya, bila tidak terjadi perubahan dalam diri individu, maka belajar dikatakan tidak berhasil (Syaiful Bahri Djamarah, 1994:21)
Setelah menelusuri uraian di atas, maka dapat difahami mengenai makna kata “prestasi” dan “belajar”. Prestasi pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh dari suatu aktivitas. Sedangkan belajar pada dasarnya adalah suatu proses yang mengakibatkan Prestasi belajar adalah kata majemuk yang terdiri atas “prestasi” dan “belajar”. “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)” (Poerwadarminta, 1987: 768).
Menurut Mas’ud Hasan Abdul Qohar (1983: 56) prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai siswa yang dilakukan melalui tes prestasi hasil belajar yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa untuk menerapkan tingkat prestasi atau tingkat keberhasilan siswa terhadap suatu bahasan (Usman, 1999:9).
 Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa dalam bentuk nilai atau skor yang merupakan penilaian pengetahuan dan pengalaman terhadap ilmu yang dipelajari. Hasil belajar tiap anak tentulah tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya, ada yang tinggi, sedang dan ada yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang pada garis besarnya dapat datang dari dalam dan dari luar yang sedang belajar. Dan prestasi belajar yang dicapai antara yang satu dengan yang lainnya tentu tidak sama, karena kemampuan dan kesempatan setiap orang adalah berbeda.
Prestasi belajar yang gemilang diperoleh seseorang sehingga dia menjadi nomor satu mengalahkan kawan-kawannya, dan juga bisa dicapai karena banyak faktor yang mendorong atau mendukung serta menunjang, sebagai contoh, usaha yang sungguh-sungguh tanpa kenal putus asa, maksudnya adalah tidak mudah merasa cepat puas dengan apa yang diperoleh tetapi terus memacu diri untuk selalu meningkatkan prestasinya.
Prestasi belajar yang sedang adalah banyak ditemui, dalam suatu kelas. Maksudnya dari sekian banyak siswa, prestasi belajar yang sedang menduduki posisi yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berprestasi tinggi maupun kurang. Bisa banyak faktor yang mendukung seseorang untuk belajar dengan baik tetapi hasil yang dicapai biasa-biasa saja, maka bisa dikatakan itulah hasil kemampuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang.
Prestasi belajar yang rendah, yang dicapai oleh seseorang sehingga tampak punya kekurangan dibanding dengan teman-temannya yang lain. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor yang tidak menunjang karena kemalasan, keretakan rumah tangga orang tua, kondisi fisik yang lemah, tidak adanya kesempatan dan waktu belajar dengan baik dan lain sebagainya. 
 
2.      Faktor – faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang sangat komplek dan rumit, maksudnya semua orang mempunyai cara-cara tersendiri dalam melakukan belajar. Belajar juga sebagai proses yang aktif yang memerlukan dorongan dan bimbingan agar tercapainya tujuan yang dikehendaki yaitu berupa prestasi belajar.
Sebagaimana diketahui bahwa prestasi antara orang satu dengan orang lain sangat berbeda-beda walaupun semangat belajarnya sama. Hal ini disebabkan karena prestasi belajar itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehubungan dengan hal ini Slameto (2003:54) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a). Faktor Interen
Yaitu faktor yang berasal dari individu, dalam arti hal ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu faktor jasmani, psikologi dan faktor kelelahan.
b). Faktor Ekstern
                 Yaitu faktor di luar individu, dalam hal ini dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.
Adapun macam-macam faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
a.      Faktor dari dalam yang bersifat jasmani
1)      Faktor Kesehatan
Kondisi fisik si anak pada umumnya melatar belakangi hasil akhir dari pada aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang sehat, segar dan kuat berpengaruh baik terhadap prestasi belajar. Demikian juga sebaliknya apabila kondisi fisik kurang sehat atau mengalami gangguan akan mempengaruhi proses belajar yang mengakibatkan prestasi belajarnya kurang memuaskan. Oleh karena itu, agar siswa dapat belajar dengan baik untuk mencapai prestasi yang terbaik maka siswa harus memperhatikan kesehatan badannya dan mentaati aturan tentang waktunya jam belajar, istirahat, olahraga dan rekreasi secara baik dan teratur.
2)      Cacat Tubuh
Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga akan terganggu, dan prestasinya pun juga akan ikut terganggu (Slameto, 2003: 55).
b.      Faktor dari dalam yang bersifat psikologis
Dalam kaitannya dengan faktor psikologis ini ada enam faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, yaitu:
1)      Intelegensi
Menurut William Stren (dalam Purwanto, 1984:54), yang dimaksud dengan intelegensi adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat yang sesuai dengan tujuannya.
Dengan demikian maka intelegensi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, pengaruh ini dapat dilihat pada anak yang intelegensinya rendah maka prestasinya akan rendah. Namun demikian siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi tidak menjamin mutlak bahwa prestasinya akan tinggi, sebab siswa yang intelegensinya normal atau sedang bisa berhasil dengan baik dalam belajarnya selama ia belajar dengan baik, artinya menerapkan metode belajar dengan baik dan tercipta kondisi yang positif dari lingkungannya.
Intelegensi ini dikatakan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap prestasi belajar karena mempunyai tiga aspek kemampuan yaitu:
a)      Kemampuan untuk menghasilkan hubungan-hubungan abstrak
b)      Kemampuan memanfaatkan pendidikan verbal dan teknik
c)      Kemampuan verbal dan kemampuan individu untuk bekerja dengan angka
d)         Kemampuan spesifik yang dapat disamakan dengan sel-sel struktur intelek (Slameto, 2003 :130).
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa dengan intelegensi, siswa dapat mengkaji, memahami dan menginterpretasikan pelajaran yang diterima dari guru mereka.
2)      Perhatian
Menurut Ghazali (dalam Slameto, 2003 :56) perhatian adalah aspek yang penting dalam proses belajar. Perhatian merupakan “keaktifan siswa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal) atau sekumpulan obyek.
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, usahakanlah bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya (Slameto, 2003: 56).

3)      Minat
Minat adalah kecendrungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat sangat erat hubungannya dengan perasaan individu, obyek, aktivitas dan situasi. Jadi jelaslah bahwa minat mempelajari sesuatu, maka hasil yang diharapkan lebih baik dari seseorang yang tidak berminat dalam mempelajari sesuatu tersebut. (Slameto, 2003: 57).
4)      Bakat
Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa bakat itu mempengaruhi belajar. Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih baik karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya itu. Adalah penting untuk mengetahui bakat siswa dan menempatkan siswa belajar di sekolah yang sesuai dengan bakatnya (Slameto, 2003: 57-58).
5)      Motivasi
Menurut MC. Donald (dalam Sardiman A.M, 2005:73), definisi tentang motivasi sebagai berikut: “Sebagai perubahan energi dalam diri/pribadi seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Jadi, motivasi erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Di dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya (Slameto, 2003: 58).
Orang yang termotivasi, membuat reaksi-reaksi yang mengarahkan dirinya kepada usaha untuk mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh penambahan tenaga dalam dirinya. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan, sehingga kemungkinan sukses belajarnya lebih besar orang yang mempunyai motivasi daripada orang yang tidak mempunyai motivasi atau dorongan. Orang yang memiliki motivasi akan memiliki ciri-ciri giat berusaha, tampak gigih, tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalahnya. Sebaliknya orang yang motivasinya rendah akan bersikap acuh tak acuh, mudah putus asa, tidak menaruh perhatian pada pelajaran dan tidak memperdulikan prestasi belajarnya.
6)      Kematangan
Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Misalnya anak dengan kakinya sudah siap untuk berjalan, tangan dengan jari-jarinya sudah siap untuk menulis, dan lain-lain (Slameto, 2003: 58).
7)      Kesiapan
Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi response atau bereaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik (Slameto, 2003: 59).
c.       Faktor dari dalam yang bersifat kelelahan
Kelelahan pada diri manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan jasmani yang terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh, sehingga akan menyebabkan lemahnya fisik dan kecenderungan suka tidur. Sedangkan kelelahan kedua adalah kelelahan rohani, yang dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan. Hal ini terjadi karena jiwa terus menerus memikirkan sesuatu yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi sesuatu tanpa ada variasi, dan mengerjakan sesuatu yang dipaksakan. Kedua macam kelelahan ini sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar (Slameto, 2003: 59).
d.      Faktor dari luar yang berasal dari keluarga
Keluarga adalah bentuk masyarakat kecil yang mempunyai pengaruh terhadap prestasi siswa. Karena lingkungan keluargalah yang pertama-tama membentuk kepribadian siswa, apakah keluarga akan memberikan pengaruh positif atau negatif. Pengaruh ini terlihat dari cara orang tua mendidik, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, perhatian keluarga dan sebagainya (Slameto, 2003: 60).
e.      Faktor dari luar yang berasal dari sekolah
Untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik, maka faktor selanjutnya yang mempengaruhi adalah faktor sekolah. Siswa akan mempunyai prestasi yang baik apabila sekolah yang ditempati menggunakan metode belajar yang baik, kurikulum yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, adanya hubungan yang harmonis antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, terwujudnya disiplin sekolah, lengkapnya alat-alat belajar, serta tersedianya sarana dan prasarana untuk belajar (Slameto, 2003: 64).
f.        Faktor dari luar yang berasal dari masyarakat
Masyarakat merupakan faktor eksternal yang juga berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaan siswa di tengah-tengah masyarakat, faktor dari masyarakat ini antara lain tentang kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat, yang semuanya mempengaruhi belajar siswa (Slameto, 2003: 69-70).

3.      Cara Menentukan Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan gambaran dari suatu tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sekaligus menentukan keberhasilan dalam belajar ini, yang antara lain telah dijelaskan di atas.
Guru yang sering memberikan latihan-latihan dalam rangka pemahaman materi akan menghasilkan siswa yang lebih baik bila dibandingkan dengan guru yang hanya sekedar menjelaskan dan tidak memberi tindak lanjut secara kontinyu. Dengan kata lain, prestasi belajar siswa sangat ditentukan oleh cara mengajar guru yang akan menciptakan kebiasaan belajar pada siswa (http:google/artikelmotivasi.com).
Berkaitan dengan prestasi belajar ada tiga tujuan penelitian dalam proses belajar mengajar, yaitu:
a.       Pengambilan keputusan tentang hasil belajar.
b.      Pemahaman tentang peserta didik.
c.       Perbaikan dalam pengembangan program pengajaran (Sudirman A. Tabrani Rusyam Zainal Arifin, 1991:242).
Pengambilan keputusan tentang hasil belajar ini merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan oleh guru untuk menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa. Di samping itu penilaian terhadap prestasi belajar siswa juga untuk memahami dan mengetahui tentang siap dan bagaimana peserta didik itu. Pemahaman tentang peserta didik ini untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, agar mempermudah dan membantu guru dalam mengembangkan program pengajaran yang harus diberikan.
Sedangkan untuk menentukan nilai akhir dan mengukur prestasi belajar siswa, maka perlu evaluasi yang bisa berupa tes formatif maupun tes sumatif. Akan tetapi sebelum melakukan evaluasi perlu disusun standar penilaian terlebih dahulu untuk menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dengan harapan mendapat data sebagai bahan informasi guna mempermudah dalam melaksanakan evaluasi terhadap kegiatan pengajaran.
Oleh karena itu, dengan adanya evaluasi atau tes tersebut maka akan diketahui sejauh mana kemajuan siswa setelah menyelesaikan suatu aktivitas dan juga untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajarnya atau dengan kata lain siswa akan mengetahui prestasi belajarnya dalam kurun waktu yang tertentu.



     

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger news

Blogroll

 
Design by Automotive | Bloggerized by Free Blogger Templates | Hot Deal